Indonesia, seperti banyak negara-negara Dunia Ketiga lainnya, berada di bawah dominasi kapital asing lewat investasi-investasi mereka dan perangkat-perangkat internasional seperti IMF, Bank Dunia, Asian Bank Development, dan banyak lainnya. Selama ratusan tahun, sejak jaman penjajahan Belanda sampai hari ini, kekayaan alam kita diborong ke luar untuk memperkaya kapitalis-kapitalis asing. Buruh kita diperas keringatnya lewat politik upah murah untuk memproduksi produk-produk merek luar negeri. Pemerintahan kita lemah di hadapan negara-negara besar. Hutang luar negeri yang begitu besar membuat bangsa kita bergantung pada belas kasihan IMF dan Bank Dunia. Inilah potret kenyataan Indonesia di dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.

Namun, potret ini hanyalah satu gambaran permukaan saja, dan ini tidak lengkap. Bila kita bersandar hanya pada gambaran di atas tanpa memahami perkembangan imperialisme, maka kita akan terjebak pada sentimen anti-imperialisme yang vulgar yang bukannya membawa kita lebih dekat pada pembebasan nasional yang sesungguhnya tetapi justru menjadi halangan terbesar bagi perjuangan anti-imperialisme. Sayangnya, sejarah perjuangan kita penuh dengan kegagalan dalam memahami karakter imperialisme yang sesungguhnya.

Dengan dalih bahwa Indonesia didominasi oleh kapital asing, maka kesimpulan yang diambil oleh sejumlah kaum Kiri adalah bahwa imperialisme oleh karenanya adalah musuh utama rakyat hari ini. Pembebasan nasional menjadi agenda utama dan perjuangan kelas menjadi sekunder dan dikesampingkan. Elemen-elemen nasionalis – darimanapun ia datang, apa dari kapitalis nasional atau bahkan militer – harus dirangkul dan dijadikan sekutu dalam sebuah front nasional. Kebijakan yang diadopsi adalah kolaborasi kelas atas nama melawan modal asing, dimana perjuangan kelas buruh dan tani dilumpuhkan demi front nasional dengan kapitalis nasional. Yang lebih parah adalah ketika para Kiri ini menggunakan nama Marx, Engels, dan Lenin untuk membenarkan taktik front nasional yang oportunis ini. Inilah mengapa kita harus kembali lagi ke dasar-dasar Marxisme untuk memahami apa itu imperialisme sesungguhnya.

Karya ini bermaksud memberikan gambaran yang lengkap mengenai imperialisme. Dimulai dari memahami kapitalisme dan perkembangannya secara historis, kita akan dapat memahami bagaimana imperialisme lahir. Kita akan dapat memahami bagaimana, seperti kata Lenin, imperialisme itu adalah tahapan tertinggi kapitalisme.

Kelahiran Kapitalisme

Lenin dengan ringkas menjelaskan bahwa imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme. Yang dimaksud dengan Lenin adalah bahwa imperialisme itu adalah kapitalisme pada periode hari ini. Dari sini saja sudah jelas kalau perjuangan melawan imperialisme tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme.

Untuk memahami imperialisme, yang merupakan tahapan tertinggi kapitalisme, maka kita harus memahami kapitalisme pada tahapan terendahnya, atau kapitalisme pada kelahirannya. Seperti halnya kita ingin memahami secara penuh seorang yang sudah dewasa, kita juga harus memahami masa mudanya – bahkan dari kelahirannya. Kita ingin tahu siapa orang tua dia, dimana dia dilahirkan dan kapan, bagaimana cara dia dibesarkan, masa remajanya seperti apa, dsbnya. Inilah mengapa tidak ada buku biografi yang hanya merekam hidup seorang saat dia sudah dewasa.

Kapitalisme lahir ketika sistem feodalisme sudah menjadi hambatan bagi perkembangan kekuatan produksi manusia. Feodalisme dengan mode produksi yang berbasiskan tanah perlahan-lahan kalah bersaing dengan mode produksi manufaktur yang berbasiskan pabrik, yang jauh lebih produktif. Kekuatan baru lahir dari dalam masyarakat feodal, yakni kelas-kelas pedagang dan kapitalis. Merekalah yang akhirnya menumbangkan tatanan masyarakat feodal yang mencekik mereka karena tatanan masyarakat feodal yang tidak demokratis dan konservatif adalah halangan bagi perkembangan kapitalisme yang membutuhkan kebebasan dalam semua aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, dan sains.

Kemajuan sains sangatlah penting bagi perkembangan teknologi yang dibutuhkan oleh mode produksi manufaktur yang menggunakan mesin-mesin. Di bawah feodalisme, ilmu alam dan sains dicekik karena monarki dan Gereja -- yang merupakan kekuatan politik besar -- merasa terancam kedudukannya. Sains mengajarkan hukum logika, yang tidak bisa tidak menyerang doktrin Gereja bahwa ada makhluk gaib di atas sana yang memberikan kekuasaan absolut kepada satu dua orang. Inilah mengapa dalam sejarah revolusi borjuis demokratik – yakni revolusi kapitalis – kita temui semua ilmuwan dan pakar sains ada di sisi revolusi.

Fitur utama kapitalisme adalah persaingan bebas antar kapitalis. Hanya dengan terus berkompetisi, para kapitalis bisa mengembangkan teknologi. Mereka yang tidak terus berinovasi akan kalah. Inilah mengapa kapitalisme jauh lebih progresif daripada feodalisme, karena ia terus tumbuh. Sistem pemerintahan feodal adalah sistem yang berdasarkan kesewang-wenangan absolut. Posisi seseorang ditentukan oleh keturunan (dari keluarga bangsawan mana dia datang) dan bukan oleh kesuksesan pribadinya. Tidak ada kepastian hukum akan hak-hak dasar seorang penduduk. Tidak ada demokrasi. Tidak ada perlindungan hukum. Ini semua tidak kondusif bagi kapitalisme, sehingga dibutuhkan sebuah negara republik yang demokratis.

Selain itu kapitalisme membutuhkan sebuah pasar nasional dengan undang-undang perdagangan yang sama. Di bawah feodalisme, tiap-tiap kota dan daerah punya aturan tersendiri dan pajak tersendiri, sehingga ini menyulitkan kaum pedagang. Ada raja-raja kecil di tiap-tiap kota yang menjadi parasit, yang bertindak sewenang-wenang. Kapitalisme yang bersifat ekspansif dan dinamis tidak bisa terkekang oleh kerangka feodal yang kaku. Pembentukan negara bangsa oleh karenanya juga menjadi tugas utama dari revolusi borjuis demokratik, demi terbentuknya pasar nasional. Negara bangsa adalah sebuah fenomena baru di dalam sejarah manusia. Di jaman feodalisme, rakyat mengabdi bukan pada bangsa tetapi kepada bangsawan, kota, dan daerah.

Pembebasan kaum tani – atau reforma agraria – juga menjadi tugas penting bagi lahirnya kapitalisme. Ini bukan karena kaum kapitalis peduli pada nasib kaum tani, tetapi didikte oleh logika kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme, yang sistem produksinya berbasis pabrik, membutuhkan tenaga kerja – atau buruh – yang bebas bergerak. Sementara di bawah feodalisme, kaum tani terikat pada tanah dan tuan bangsawan mereka. Kaum tani atau hamba tidak boleh meninggalkan tanah mereka. Oleh karenanya kaum tani harus dibebaskan dari ikatan feodal mereka mereka supaya mereka dapat pindah ke kota-kota dan menjadi tenaga buruh. Selain itu, untuk menyerang kaum bangsawan, cara terbaik adalah membagi-bagikan tanah mereka – yang merupakan sumber kekuatan ekonomi kaum bangsawan – kepada kaum tani yang lama telah menjadi hamba mereka. Ini juga memberikan dukungan besar dari kaum tani kepada revolusi borjuis demokratik. Dengan reforma agraria ini, kaum kapitalis mendapatkan banyak keuntungan: dukungan politik dari kaum tani, melemahkan musuh mereka, dan tenaga kerja buruh.

Dari sini, maka kita bisa meringkas bahwa sejumlah tugas penting kaum borjuasi nasional di dalam revolusi borjuis demokratik, dalam usaha mereka untuk membentuk kapitalisme, adalah:

1) Pembentukan republik demokratis, menggantikan monarki

2) Pembentukan negara bangsa

3) Reforma agraria

Kapitalisme tumbuh menjadi monopoli dan kartel

Kekuatan produksi manusia tumbuh pesat di bawah kapitalisme. Dengan kompetisi bebas, kapitalis terus menciptakan teknologi-teknologi baru yang membuat manusia menjadi lebih produktif secara keseluruhan. Namun, semakin tingginya kekuatan produksi manusia, semakin besar pula kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Inilah kekonyolan dari kapitalisme. Semakin kaya masyarakat secara keseluruhan, semakin besar pula jurang pemisah antara rakyat pekerja dan kapitalis.

Persaingan bebas adalah motor penggerak kapitalisme. Tiap-tiap kapitalis terus berkompetisi. Awalnya dalam sebuah industri, ada ribuan pengusaha. Mereka terus berseteru untuk merebut pasar. Yang kalah tersingkirkan dan dilahap oleh yang menang. Ini terus menerus berlangsung hingga akhirnya hanya tersisa beberapa pengusaha besar. Dengan cara ini, akhirnya kompetisi berubah menjadi monopoli. Terjadi konsentrasi pasar dan kapital di tangan segelintir pengusaha. Pengusaha-pengusaha kecil tidak mampu lagi bersaing dengan pengusaha-pengusaha besar, yang punya modal besar dan bisa membangun pabrik-pabrik yang lebih besar. Dengan pabrik yang besar, jelas mereka dapat memproduksi lebih murah dan membanjiri pasar. Mereka juga bisa membanting harga sampai pengusaha kecil saingan mereka bangkrut, atau cukup “melahap” saingan mereka dengan membelinya. Inilah yang disebut “ekonomi skala besar”, dimana semakin besar sebuah perusahaan semakin mudah ia meraih laba besar.

Kapitalisme mencapai puncak kompetisi bebas mereka pada 1860-70 dan saat itu monopoli belum menjadi fitur utama. Pada periode 1800an, kapitalisme didominasi perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga atau individu. Hanya pada 1900an akhirnya kapitalisme memasuki fase dimana monopoli menjadi fitur dominan. Pada 1830, perusahaan terbesar di dunia adalah pabrik besi-baja Cyfartha, dengan jumlah pekerja 5000 orang dan aset total $2 juta. Hari ini Walmart memperkerjakan 2,2 juta pekerja, McDonald 1,7 juta, Volkswagen 500 ribu, Siemens 360 ribu. Para pelopor kapitalis tidak akan pernah bermimpi kalau akan ada perusahaan dengan jumlah pekerja 1 juta.

Di dalam kapitalisme monopoli, sebuah pasar dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Kita bisa ambil contoh industri otomobil, yang dikuasai oleh segelintir pemain sejak 1920an. Di Amerika, pusat kapitalisme dunia, industri otomobil dikuasai oleh tiga besar: General Motors, Ford, dan Chrysler. Di Jepang, ini juga dikuasai oleh segelintir saja: Toyoto, Honda, Nissan, Suzuki, Mazda, Daihatsu, Mitsubishi, Subaru. Tetapi lebih penting adalah kenyataan bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan otomobil ini sangatlah kompleks. Misalnya Nissan adalah juga milik Renault dari Prancis. Mazda sahamnya dimiliki oleh Ford. Toyota juga mengontrol saham Daihatsu dan Subaru. Ini hanya beberapa contoh saja yang kita ketahui. Jadi selain ada monopoli, lewat kepemilikan saham semua perusahaan mobil ini saling terkait satu sama lain. Sebuah penelitian tahun 2011 oleh Professor Vitali menunjukkan sebuah jaringan kepemilikan korporasi-korporasi multinasional yang kompleks, dimana “setiap perusahaan punya kepemilikan secara langsung dan/atau tidak langsung perusahaan lainnya”. Dari 43 ribu korporasi multi-nasional, ada 147 korporasi yang mengontrol 40 persen ekonomi dunia dan tiap-tiap perusahaan ini saling terikat kepemilikannya.

Namun jangan kita pikir kalau monopoli ini hanya dilakukan kapitalis asing atau hanya dalam tingkatan korporasi multinasional. Monopoli juga dilakukan oleh kapitalis nasional di bumi Indonesia. Media di Indonesia (koran, majalah, TV, radio, penerbitan buku, dll.) dimonopoli oleh 12 perusahaan: Grup MNC, Kompas Gramedia, Jawa Pos, Mahaka Media, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, MRA Media, Femina, Tempo Inti Media, dan Beritasatu Media Holding. Pasar rokok Indonesia dikuasai tiga pemain: Gudang Garam, Djarum dan Sampoerna; walau belum lama ini Djarum dan Sampoerna sudah dijual ke Imperial Tobacco dan Phillip Morris, yang memonopoli industri rokok dunia.

Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan raksasa ini juga membentuk sebuah kartel, yakni sebuah kerjasama antar monopoli yang mana dengan perjanjian-perjanjian terselubung mereka mengatur harga, membagi pasar, menentukan jumlah produksi, dan lain sebagainya. Pembentukan kartel oleh pemain-pemain besar dilakukan karena mereka sadar bahwa mereka bisa meraup lebih banyak laba kalau mereka melakukan kerjasama ini.  Persaingan bebas -- walau masih terjadi pada tingkatan tertentu -- bukan lagi fitur yang dominan. Kebanyakan persaingan justru terjadi dalam ranah iklan, dimana tiap-tiap perusahaan mencoba meyakinkan kita kalau sambal ABC lebih enak daripada sambal Indofood, kalau motor Honda lebih baik daripada motor Yamaha. Pada kenyataannya mereka sudah membagi pasar dan mengatur harga sedemikian rupa sehingga dapat meraup laba sebanyak mungkin, atau superprofit. Yang dirugikan adalah konsumen.

Selain itu, produksi di bawah kapitalisme juga semakin lama semakin bersifat sosial, yakni tidak ada satu pabrik atau industri yang berdiri sendiri. Tiap industri adalah bagian dari rantai produksi kapitalis yang kompleks dan saling tergantung. Kita ambil contoh saja industri telpon genggam, yang melibatkan puluhan industri dan sub-industri: plastik (untuk komponen-komponennya), tambang (telpon genggam menggunakan banyak mineral langka), informasi teknologi (untuk programnya), enerji (baterai), komunikasi (penggunaan satelit dan antena pemancar), dan lain sebagainya. Tidak ada satupun industri yang berdiri sendiri. Kenyataan ini mendorong kaum kapitalis untuk membentuk konglomerat-konglomerat, yakni sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai macam industri. Kali ini kita tidak perlu melihat ke luar negeri, kita cukup melihat Salim Grup, dengan lebih dari 400 perusahaan yang bergerak di hampir semua industri: Indofood (mie instan), Bogasari (tepung), Indomaret (retail), Indocement (semen), Indosiar (televisi), perkebunan sawit, perhutanan, real estate, perbankan, asuransi, dll. Juga Bakrie Group, sebuah konglomerat multinasional yang bergelut di perkebunan sawit dan karet, tambang batu bara, minyak, dan gas, telekomunikasi, properti, tambang mineral, konstruksi, dll. Djarum Group, yang di atas sudah kita sebut sebagai salah satu monopoli rokok, juga bergerak di perbankan (bank BCA), elektronik, properti, agribisnis, telekomunikasi, dan multimedia. Konglomerasi terus berusaha menguasai berbagai cabang industri dari hulu hingga hilir guna mendapatkan dominasi absolut.

Dengan kartel dan konglomerat, persaingan di dalam kapitalisme hari ini bukan lagi antara perusahaan yang secara teknik lebih maju dengan perusahaan yang secara teknik lebih terbelakang. Pada periode awal kapitalisme, seorang kapitalis yang menemukan metode atau teknik untuk memproduksi sebuah barang dengan lebih murah, lebih cepat, dan lebih berkualitas akan menang. Hari ini yang ada adalah perusahaan raksasa menggilas perusahaan-perusahaan kecil. Ini benar dalam skala nasional, dan juga benar dalam skala internasional. Perusahaan-perusahaan kecil dari negero Dunia Ketiga tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dari negeri kapitalis besar. Mereka hanya jadi bulan-bulanan, jadi roda-roda gir kecil di dalam mesin konglomerasi besar. Sukses sebuah perusahaan tidak lagi ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan inovasi, tetapi oleh besarnya kapital yang ia miliki. Misalnya, sebuah perusahaan yang punya modal besar bisa menghancurkan saingannya yang lebih kecil dengan membanting harga -- bahkan bila ia merugi -- sampai saingannya bangkrut. Dengan modalnya yang besar, walau menjual rugi ia bisa bertahan lebih lama daripada perusahaan yang lebih kecil. Sebuah perusahaan konglomerat, yang juga punya kendali atas industri-industri suplai lain, juga dapat mensabotase saingannya dengan memotong suplai tertentu.

Inilah tahapan kapitalisme hari ini, sebuah tahapan monopoli dan konglomerasi, dimana konsentrasi kapital dan produksi semakin hari semakin terpusat. Persaingan bebas sudah bukan lagi fitur utama kapitalisme. Dengan fakta ini, maka karakter progresif kapitalisme -- yakni persaingan bebas yang merupakan motor perkembangan tenaga produksi -- telah lama hilang. Bila perkembangan umat manusia ditentukan oleh kemampuan manusia untuk terus mengembangkan tenaga produksi, maka kapitalisme sungguh telah menjadi beban bagi perkembangan umat manusia.

Mungkin akan ada orang-orang yang keberatan dengan pernyataan ini. Mereka mengatakan: “Lihatlah perkembangan teknologi 50 tahun terakhir ini, apa ini bukan bukti dari karakter progresif kapitalisme?” Akan tetapi pernyataan bahwa kapitalisme telah menjadi beban bagi perkembangan umat manusia bukan berarti bahwa tidak ada pertumbuhan atau perkembangan sama sekali. Pernyataan tersebut mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme tidak mampu menggunakan secara penuh potensi produksi manusia. Potensi sumber daya manusia dan alam yang begitu besar tidak mampu digunakan untuk menyelesaikan kemiskinan dan kemelaratan mayoritas umat manusia. Setengah dari populasi Indonesia hidup di bawah $2 per hari, atau Rp 18 ribu per hari. Di seluruh dunia, ada 2,6 milyar manusia yang bernasib sama. Setiap 8 detik, seorang anak meninggal karena minum air tidak bersih. 3,6 juta orang mati setiap tahunnya karena tidak mendapatkan akses ke air bersih dan sanitasi. Kita bisa menulis satu buku penuh berisi statistik kemiskinan dan kemelaratan mayoritas manusia. Kapitalisme, kendati katanya telah menemukan berbagai teknologi canggih, tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Justru hari ini ia telah memasuki sebuah krisis besar dimana standar hidup rakyat pekerja bahkan di negara-negara kapitalis maju semakin memburuk, apalagi di negara-negara Dunia Ketiga.

Usaha sia-sia menanggulangi monopoli

Monopoli hari ini telah menjadi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan dan diakui oleh semua ekonom besar borjuis. Mereka-mereka yang mengatakan sebaliknya adalah seorang penipu atau seorang dungu. Akan tetapi, para kapitalis tidak dapat mengakui dengan terus terang kalau persaingan bebas -- yang merupakan pilar dari kapitalisme -- sudah bertekuk lutut di hadapan monopoli. Konsep persaingan bebas bukan hanya pilar ekonomi kapitalisme tetapi juga pilar ideologinya, yakni bahwa dengan saling berkompetisi tiap-tiap manusia akan menjadi semakin lebih baik. Setiap orang yang berusaha dan bekerja keras akan punya kesempatan untuk berhasil dan menjadi pemenang. Manusia yang individualis, yang berdiri untuk kepentingan dirinya sendiri, yang terus bersaing dengan sesamanya dengan bebas, inilah manusia yang sempurna dalam ideologi kapitalisme. Sosialisme, di lain pihak, dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan karakter alami manusia yang individualis dan ingin terus bersaing bebas. Sosialisme, yang menyediakan program-program sosial dan memastikan semua orang dapat bekerja dengan gaji yang layak, akan mematikan karakter manusia untuk terus memperbaiki dirinya dan membuat manusia menjadi malas, bodoh, dan terbelakang. Hanya dengan persaingan bebas maka umat manusia dapat menjadi lebih baik.

Oleh karenanya mengakui dominasi monopoli berarti mengakui bahwa kapitalisme hari ini sudah tidak ada nilai progresifnya lagi. Ternyata apa yang disebut karakter alami manusia untuk bersaing bebas tidak bisa menghentikan laju kapitalisme menuju monopoli, yang pada gilirannya berarti bahwa tidak ada yang namanya itu karakter alami manusia untuk menjadi makhluk yang individualis dan saling bersaing seperti binatang liar. Pada kenyataannya, tidak ada yang namanya karakter alami manusia. Kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya, oleh mode produksi dominan yang ada.

Oleh karenanya, tidak jarang kita temui sejumlah kapititalis -- lewat ideolog mereka -- yang mengeluh mengenai monopoli. Mereka berusaha mengimplementasikan berbagai undang-undang anti-monopoli dan berharap dapat kembali ke masa muda kapitalisme dimana tiap-tiap kapitalis punya kesempatan yang sama dalam persaingan bebas. Akan tetapi, harapan dari jutaan kapitalis kecil ini hanyalah mimpi belaka. Mereka tidak bisa memutar balik roda sejarah. Bahkan pada kenyataannya, para kapitalis kecil ini berharap kalau mereka sendirilah yang menjadi monopoli besar. Mereka hanya kecewa tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk menjadi monopoli besar.

Pemikiran kaum kaum borjuis kecil ini juga merasuki pemikiran-pemikiran Kiri. Sejumlah kaum Kiri borjuis-kecil berpikir kalau masalah utama di dalam kapitalisme adalah para korporasi raksasa ini. Lantas kritik mereka terhadap kapitalisme hanya terbatas pada korporasi raksasa, tetapi tidak pada sistem kapitalisme itu sendiri. Melihat kejahatan-kejahatan besar yang dilakukan oleh korporasi-korporasi raksasa, mereka lantas mengagung-agungkan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, atau UKM. Perusahaan-perusahaan kecil-dan-menengah milik keluarga jadi model kapitalisme yang humanis dan baik hati. Segala yang raksasa dan modal asing adalah sumber dari kejahatan kapitalisme itu, sehingga perspektifnya adalah kembali ke periode awal kapitalisme dimana tidak ada dominasi korporasi raksasa dan modal asing.

Akan tetapi roda sejarah tidak bisa diputar kembali. Ada alasan mengapa di bawah kapitalisme akhirnya monopolilah yang mendominasi. Ini karena ekonomi-skala-besar secara umum lebih efisien dan produktif dibandingkan ekonomi-skala-kecil. Tidak mungkin pedagang-pedagang kecil dapat membangun gedung-gedung besar, membangun dam raksasa, pesawat terbang, kapal tanker, produksi massal komputer dan barang-barang elektronik, dll. Semua ini membutuhkan konsentrasi produksi dan kapital. Ingin memutar roda sejarah kembali berarti ingin mencampakkan semua pencapaian umat manusia dan mengembalikan peradaban kita ke 200 tahun yang lalu. Kita harus melihat ke depan dan bukan ke belakang, bahwa justru konsentrasi produksi dan kapital ini harus direnggut dari segelintir pemiliknya dan diserahkan kepada rakyat pekerja. Kita akan kupas lebih lanjut solusi terhadap kapitalisme monopoli di bagian selanjutnya. Untuk sementara, mari kita lanjutkan diskusi kita mengenai imperialisme.

Bank dan Kapital Finans

“Monopoli! Ini adalah kata terakhir di dalam ‘tahapan tertinggi perkembangan kapitalisme’. Tetapi pemahaman kita akan kekuatan dan signifikansi monopoli moderen yang sesungguhnya tidak akan lengkap dan memadai kalau kita tidak mempertimbangkan peran yang dimainkan oleh bank-bank.” (Lenin, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme)

Bank memainkan peran yang penting di dalam kapitalisme monopoli hari ini. Seperti halnya kapitalisme yang telah berubah, peran bank juga telah berubah. Awalnya peran utama bank adalah sebagai penengah dalam transaksi pembayaran. Ia adalah tempat penyimpanan uang (dari kapitalis sendiri dan juga dari rakyat pekerja), dan dari uang yang tersimpan ini bank lalu dapat memberikan pinjaman kepada kapitalis yang membutuhkan modal. Peran awal bank adalah sebagai penengah dalam sirkulasi kapital.

Telah kita tunjukkan di atas bahwa kecenderungan kapitalisme adalah menuju konsentrasi kapital dan produksi, menuju monopoli. Ini terjadi juga di dalam industri perbankan, dimana bank-bank kecil tergerus dan tersisa segelintir bank-bank raksasa yang mendominasi. Bank-bank kecil yang masih ada pun tidak berdiri secara mandiri, tetapi menjadi semacam “cabang” dari bank-bank besar; seperti halnya banyak perusahaan-perusahaan kecil yang sebenarnya ada di bawah dominasi monopoli raksasa lewat berbagai cara: kepemilikan saham, kontrol suplai dan produksi, kredit, dll.

Dengan semakin terkonsentrasikannya perbankan, maka semakin krusial peran bank di dalam kapitalisme monopoli. Jumlah uang yang masuk ke tiap-tiap bank semakin besar karena hanya ada beberapa bank raksasa. Uang yang masuk bukan hanya dari korporasi besar saja, tetapi dari semua kapitalis – besar atau kecil – dan rakyat pekerja. Lewat segelintir bank ini, mayoritas kapital dari berbagai industri bergerak keluar masuk. Sebagai “penjaga pintu kapital”, bank memperoleh kendali bagaimana mendistribusikan kapital ini. Ia menentukan industri atau perusahaan mana yang akan mendapatkan kredit modal, dengan syarat-syarat apa saja.

Di sini kita bisa menyaksikan perubahaan kuantitas menjadi kualitas. Ketika bank masih kecil dan hanya memberikan pinjaman kredit kepada beberapa kapitalis, ia hanya melakukan fungsi yang murni teknis dan sekunder. Ketika ia menjadi besar dan bertanggungjawab memberikan kredit pada ribuan bahkan ratusan ribu kapitalis dari berbagai sektor -- dari korporasi raksasa sampai pengusaha menengah dan kecil -- maka segelintir bank monopoli ini menundukkan semua operasi ekonomi, komersial dan industrial, di bawah kehendaknya. Ini mereka lakukan dengan berbagai cara, yang dimungkinkan karena koneksi finansial mereka yang merambah seluruh industri, kontrol mereka dalam memberikan kredit, dan operasi-operasi finansial lainnya. Mereka dapat “dengan rinci menentukan posisi finansial dari berbagai kapitalis, dan kemudian mengontrol mereka, mempengaruhi mereka dengan mempersempit atau memperluas, memberikan atau menghentikan kredit, dan akhirnya sepenuhnya menentukan nasib mereka, menentukan pendapatan mereka, mengeringkan kapital mereka, atau mengijinkan mereka untuk meningkatkan kapital mereka dengan cepat dan besar, dsbnya.” (Lenin, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme)

Dengan ini, maka bank hari ini bukan lagi hanya penengah tetapi menjadi pengontrol distribusi kapital utama, atau lebih tepatnya pengontrol distribusi alat-alat produksi. Kalau dulunya bank hanya seperti koperasi simpan pinjam, hari ini ia telah menjadi investor besar yang menentukan jalannya ekonomi kapitalisme.

Pembentukan konglomerat seperti yang telah kita jelaskan di atas, sebagai bagian dari kecenderungan konsentrasi produksi dan kapital, juga mendorong merger antara bank dan industri. Djarum Group misalnya tidak hanya berkutat dengan industri rokok tetapi juga bergerak dalam perbankan dengan kepemilikan bank BCAnya. Inilah yang disebut sebagai era kapital finans. Hari ini, kapitalis yang mendominasi adalah kapitalis yang bergerak di dalam sektor finans (atau kapitalis finans), dari perbankan sampai grup-grup investasi. Kapitalis industrialis -- yakni kapitalis yang murni bergerak di dalam sektor industri -- ada di bawah dominasi kapitalis finans yang mengontrol kapital.

Lenin menjelaskan kapital finans seperti berikut ini:

“Adalah karakteristik dari kapitalisme secara umum bahwa kepemilikan kapital terpisah dari aplikasi kapital di dalam produksi, bahwa uang kapital terpisah dari kapital industri atau produksi, dan bahwa para rentenir yang pendapatan utamanya datang dari uang kapital terpisah dari para pengusaha dan dari semua orang yang terlibat langsung dalam manajemen kapital. Imperialisme, atau dominasi kapital finans, adalah tahapan tertinggi kapitalisme dimana pemisahan ini menjadi sangat luas. Supremasi kapital finans atas semua bentuk kapital berarti dominasi kaum rentenir dan oligarki finans; ini berarti  segelintir negara-negara “yang kuat” secara finans menguasai yang lainnya.” (Lenin, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme)

Inilah kapitalisme hari ini, dimana para pemilik modal yang sesungguhnya sudah terpisah sepenuhnya dari proses produksi itu sendiri. Mereka hanya meminjamkan uang dan melakukan investasi. Sementara para pemilik pabrik -- orang-orang yang secara langsung menjalankan proses produksi tersebut, atau kapitalis industrialis -- sesungguhnya tidak punya kapital sendiri. Mereka mengandalkan kapital dari kaum kapitalis finans dan oleh karenanya terdominasi. Hari ini, bank-bank dan grup-grup investor adalah yang berkuasa atas semua kapitalis, industri atau komersial, dari yang kecil sampai raksasa. Penelitian Profesor Vitali menunjukkan ada 147 korporasi multi-nasional yang mengontrol 40 persen ekonomi dunia. Tabel di bawah mendaftar 10 korporasi terbesar tersebut, dan semua adalah bank dan institusi finansial:

10 Korporasi Terbesar dan Terpenting di Dunia

Rank

Nama

Asal

Aset yang dikelola (dolar AS)

1

Barclays PLC

Inggris

2,3 trilyun

 

2

Capital Group Companies

AS

1 trilyun

 

3

FMR Corp

AS

1,5 trilyun

4

AXA

Prancis

1,4 trilyun

5

State Street Corporation

AS

2,2 trilyun

6

JPMorgan Chase & Co

AS

2,3 triltun

7

Legal & General Group PLC

Inggris

590 miliar

8

Vanguard Group

AS

1.7 trilyun

9

USB AG

Swiss

1,4 trilyun

10

Merrill Lynch & Co.

AS

2,2 trilyun

Kapital yang ada di bawah kendali tiap-tiap institusi finansial raksasa ini jauh melebihi GDP (total output produksi) mayoritas negara-negara di dunia. Bandingkan dengan Indonesia yang punya GDP 840 milyar dolar AS, secara kasar kita dapat mengukur kekuatan ekonomi dari kapital finans.

Jaringan investasi mereka juga sangat luas. Tabel di bawah akan memberikan ilustrasi singkat akan kompleksnya kepemilikan beberapa perusahaan besar AS yang kita kenal sehari-hari:

Kepemilikan Saham Perusahaan-Perusahaan AS

Kapital Finans

Apple

Microsoft

Coca Cola

Nike

Exxon

Google

Barclays PLC (Inggris)

X

X

X

X

X

X

FMR Corp

X

X

X

X

X

X

AXA

X

X

 

 

X

 

State Street Corporation

X

X

 

X

X

X

JPMorgan Chase & Co

X

X

X

 

X

X

Vanguard Group

X

X

X

X

X

X

Goldman Sachs

X

 

 

X

 

X

Morgan Stanley

 

X

X

 

 

 

Deutsche Bank (Jerman)

X

X

X

 

X

 

Dari tabel yang ringkas di atas kita bisa melihat bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan besar ini, yang bergelut di berbagai bidang dari komputer, minuman, sepatu, sampai tambang minyak, ada di tangan institusi-institusi finansial. Bukan hanya satu dua, tapi banyak institusi finansial. Inilah gambaran kapitalisme hari ini, yang didominasi oleh kapital finans.

Sampai di sini, kita telah saksikan bagaimana kapitalisme telah berkembang ke tahapan tertingginya: monopoli dan kapital finans. Selanjutnya kita akan kupas karakter lainnya, yakni ekspor kapital.

Ekspor kapital

Ketika persaingan bebas masih merupakan fitur dominan kapitalisme, ekspor komoditas adalah fitur utama kapitalisme. Marx menulis: “Kebutuhan untuk terus memperluas pasar untuk produk-produknya mendorong kaum borjuasi menyebar ke seluruh permukaan bumi. Ia harus bersarang dimana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.”

Periode awal kapitalisme adalah kapitalisme merkantilisme (komersial), yang mengakumulasi kapital lewat perdagangan. Perdagangan antar negara-negara Eropa menghasilkan profit yang besar bagi para kapitalis. Tetapi hubungan perdagangan ini tidak hanya antar negara-negara Eropa, tetapi juga meluas ke koloni-koloni. VOC adalah perusahaan saham-gabungan kapitalis pertama di dunia yang tujuannya adalah pergi ke Hindia Timur untuk melakukan perdagangan. Dengan dominasi militer, VOC membeli dengan harga sangat murah -- atau yang lebih tepatnya disebut sebagai perampokan -- hasil-hasil perkebunan dan pertanian kaun tani Jawa. Perusahaan kapitalis VOC menggunakan sistem produksi feodal di Jawa, dimana kaum hamba adalah budak para raja Jawa, untuk meraup nilai-lebih. Tidak hanya VOC dari Belanda, tetapi hampir semua negara penjajah besar saat itu melakukan hal yang sama: Spanyol, Inggris, Portugal, Amerika Serikat, Prancis. Kapitalisme awal meraup nilai-lebih yang besar dengan menggunakan mode produksi feodal dan perbudakan yang ada di negara-negara koloni. Bahkan AS mengimpor budak negro dan melakukan perbudakan di tanahnya sendiri sejak abad ke-16, dan hanya dihapus pada 1860an.

Nilai-lebih atau kapital yang diperoleh lewat kebijakan merkantilisme menjadi dasar bagi perkembangan kapitalisme selanjutnya, yakni kapitalisme industri yang berdasarkan manufaktur di pabrik-pabrik besar. Revolusi Industri dari 1750-1850 menempatkan kaum kapitalis industrialis sebagai pemain utama dalam kapitalisme. Revolusi industri ini memberikan dorongan besar pada perkembangan tenaga produksi, yang pada gilirannya berarti semakin cepat dan semakin besar nilai-lebih atau kapital yang diraup oleh kapitalis. Seperti yang telah kita jabarkan di atas, terjadilah proses konsentrasi produksi dan kapital dimana tahapan selanjutnya yang dimasuki kapitalisme adalah tahapan monopoli dan kapital finans.

Kapital yang diakumulasi oleh monopoli-monopoli raksasa tidak bisa lagi membawa keuntungan besar bila diinvestasikan di negaranya masing-masing, karena sudah terjadi over-saturasi kapital atau banjir kapital. Untuk bisa terus meraup profit, maka dilakukanlah ekspor kapital ke seluruh penjuru dunia, tidak hanya dari negara-negara kapitalis maju ke negara-negara terbelakang tetapi juga antar negara-negara kapitalis maju. Ekspor kapital ini dilakukan dengan banyak cara: investasi, membeli saham, pemberian kredit, surat obligasi, dan berbagai operasi finansial lainnya.

Ekspor kapital menjadi fitur dominan di tahapan tertinggi kapitalisme. Kapital diekspor ke negara-negara yang miskin kapital -- atau sektor industri di sebuah negara yang miskin kapital -- untuk membangun infrastruktur (rel, jalan raya, pelabuhan, sekolah), pabrik, tambang, perkebunan, dll. dengan tujuan meningkatkan nilai-lebih yang dapat diraup. Ekspor kapital ke negara-negara terbelakang biasanya memberikan profit yang lebih tinggi karena mereka miskin kapital, harga tanah murah, upah buruh murah, sumber daya alam murah. Inilah bagaimana kapitalisme dicangkokkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di negara-negara koloni. Tidak seperti kaum borjuasi Eropa yang bangkit sendiri dan menumbangkan sistem sosial dan ekonomi feodal, kaum borjuasi negara-negara koloni lahir dari kapital asing. Mereka lahir terlambat dan secara artifisial, dan menjadi tergantung pada modal asing. Ini menentukan karakter mereka dan dengan itu karakter revolusi di negara-negara koloni, bahkan sampai hari ini.

Dengan menyebarkan kapital, kapitalis menyebar kontradiksi kapitalisme ke setiap sudut dunia dan mengikat seluruh dunia ke dalam sistem kapitalisme, dimana hari ini krisis di satu negara dengan mudah menyebar ke seluruh dunia. Inilah watak krisis finansial 2008 baru-baru ini, yang masih terus berlanjut dengan “contagion” yang terus menyebar. Bayangkan, krisis di Yunani, sebuah negara kecil yang jumlah penduduknya hanya 11 juta, kurang lebih sebesar Jakarta, dapat menyeret seluruh perekonomian dunia. Selama 2 tahun belakangan ini, perhatian semua negara terpaku pada Yunani. Mengapa? Karena kapital negara-negara besar seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan Amerika ada di Yunani. Jatuhnya Yunani akan berimbas pada negara-negara pengekspor kapital ini dan lalu tentunya menyebar ke seluruh dunia. Yunani sekarang sudah ada di ruang gawat darurat, dan di ruang tunggu kita temui Italia dan Spanyol, dua negara yang jauh lebih besar daripada Yunani.

Ekspor kapital juga harus dilihat dalam koneksinya dengan kapitalisme monopoli yang sudah berkembang, yang tujuan utamanya adalah dominasi absolut. Dengan ekspor kapital yang berupa pinjaman kredit, negara penerima kredit biasanya harus menyetujui sejumlah syarat yang menguntungkan pemberi kredit, seperti akses ke sumber daya alam, konsesi-konsesi pembangunan jalur transportasi dan komunikasi, penghapusan tarif bea masuk, dan berbagai kebijakan lainnya yang tujuannya adalah memperkuat dominasi monopoli. Ekspor kapital juga menciptakan pasar bagi negara pengekspor kapital, karena negara penerima kapital akan menggunakan kapital ini untuk membeli jasa dan barang dari negara pengekspor kapital.

Pembagi-bagian dunia oleh monopoli dan negara-negara kapitalis maju

Monopoli, kartel, konglomerasi, dan kapital finans pertama-tama membagi-bagi pasar nasional di antara mereka. Tetapi seperti yang telah kita jelaskan, kapitalisme harus terus menyeruak, “bersarang dimana-mana”. Setelah selesai membagi-bagi pasar nasional, kapitalis-kapitalis raksasa dari berbagai negara besar lalu membagi-bagi pasar dunia di antara mereka. Pembagian ini, pada analisa terakhir, tergantung dari kekuatan kapital dari perusahaan-perusahaan monopoli tersebut.

Tiap-tiap negara, demi kepentingan kapitalis finans nasional mereka sendiri, bersaing memperebutkan koloni-koloni, yang merupakan pasar untuk produk mereka, daerah tujuan ekspor kapital mereka, dan sumber bahan mentah. Ekspansi koloni dan perseteruan ini mencapai puncaknya pada Perang Dunia I (1914-18) yang berlanjut ke Perang Dunia II (1938-1945). Perang-perang ini bukanlah perang untuk demokrasi seperti yang tertulis di buku-buku sejarah, tetapi perang imperialis untuk membagi-bagi dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis besar.

Pada masa-masa damai, negara-negara kapitalis besar dengan monopoli-monopoli mereka mencapai persetujuan di antara mereka bagaimana membagi-bagi pasar dunia. Tetapi persetujuan ini hanyalah genjatan senjata sementara. Dengan perubahan relasi kekuatan, terjadi pembagian ulang pasar dunia di antara negara-negara besar ini. Pembagian ulang ini bisa terjadi dengan lambat atau bisa terjadi dengan cepat, secara tertutup atau secara terbuka, dengan proses yang relatif “damai” atau dengan proses yang penuh kekerasan dan darah. Dari lembar-lembar sejarah kita bisa saksikan pembagian-pembagian ulang ini. Sampai akhir abad ke-19, kapitalis Inggris dan Prancis mendominasi pasar dunia. Namun, pada permulaan abad ke-20, muncullah pemain-pemain baru, yakni AS, Jerman, dan Jepang, yang mulai menggeser kedudukan Inggris. Pemain-pemain baru ini menginginkan bagian pasar mereka, dan berkobarlah dua Perang Dunia. Perang Dunia ini mengubah tatanan ekonomi dan politik dunia, atau lebih tepatnya mengubah pembagian pasar dunia, dimana AS akhirnya keluar sebagai pemenang utama. Di pihak lain Uni Soviet juga keluar sebagai pemenang Perang Dunia Kedua. Akan tetapi karena Uni Soviet serta negara-negara satelitnya bukan bagian dari kapitalisme dunia, kita tidak akan berbicara mengenainya. Namun harus dicatat, ini bukan berarti perkembangan di Uni Soviet dan negara-negara “komunis” lainnya terpisah atau terisolasi dari perkembangan kapitalisme dunia. Justru pada analisa terakhir, nasib mereka tergantung pada perkembangan kapitalisme dunia dan ini sudah dibuktikan oleh sejarah. Karya ini bukan tempatnya untuk berbicara mengenai Uni Soviet. Ini akan dibicarakan di kesempatan yang lain.

Setelah lebih dari setengah abad dominasi absolut AS, hari ini kita lihat China mulai muncul sebagai kekuatan kapitalis baru. Ia baru saja menggeser Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua dunia, dan dalam 10 tahun diramalkan akan menjadi ekonomi terbesar nomor satu. China bukan lagi hanya daerah tujuan investasi dan sumber buruh murah, tetapi telah melakukan ekspor kapital besar-besaran ke Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara, Australia, dan bahkan Eropa dan AS. Melihat ini, kapitalis Barat dan politisi-politisi mereka mengeluh mengenai China yang katanya bermain kotor dalam permainan perdagangan, dengan subsidi besar untuk perusahaan-perusahaan China, kebijakan dumping (banting harga untuk menghancurkan saingannya), kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan perusahaan nasional ketimbang asing, secara artifisial mengontrol nilai mata uang Yuan, dan lain sebagainya. Kapitalis-kapitalis Barat ini lupa kalau mereka menjadi monopoli-monopoli dunia raksasa hari ini karena dulu pemerintahan mereka juga mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang sama. Kemunafikan mereka hanya menutupi ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan posisi superior mereka di dunia. Pembagian ulang pasar dunia sedang terjadi di depan mata kita.

Selain pasar dunia untuk ekspor kapital dan produk, yang terus diincar oleh para monopoli adalah kontrol terhadap bahan-bahan mentah: minyak, gas, tambang, dll. Untuk menjaga dominasi absolut terhadap seluruh industri, dari hulu hingga hilir, maka monopoli harus menguasai suplai-suplai bahan mentah. Dengan menguasai suplai bahan mentah, sebuah monopoli dapat mengontrol distribusi dan harga bahan mentah tersebut dan mendominasi industri-industri hilir yang membutuhkannya. China, misalnya, menguasai mayoritas tambang mineral-mineral langka yang dibutuhkan untuk industri panel surya. 95% suplai mineral-mineral langka datang dari China. Untuk mengalahkan kompetitor-kompetitor industri panel surya dari AS dan Eropa, China membatasi ekspor mineral-mineral langka tersebut. Pada saat yang sama, China juga melakukan dumping panel-panel surya di bawah harga pasar untuk menghancurkan kompetitornya. Dalam waktu 10 tahun, China yang sebelumnya sama sekali tidak memproduksi panel surya hari ini memproduksi 50% panel surya di dunia. Jadi, kebijakan untuk mendominasi, secara ekonomi dan politik, daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya datang dari kenyataan bahwa kapitalisme hari ini telah memasuki epos monopoli.

Monopoli tidak hanya tertarik pada wilayah-wilayah yang sudah diketahui ada sumber daya alamnya, tetapi juga pada wilayah-wilayah yang berpotensi punya sumber daya alam. Karena perkembangan teknologi yang begitu pesat, sepetak tanah yang hari ini mungkin tampak tidak punya nilai esok hari dapat memberi profit milyaran rupiah. Inilah mengapa setiap sudut dunia diperebutkan dengan begitu gigih.

Konsentrasi kapital dan produksi yang akhirnya menyebabkan banjir kapital di negara asal juga mengharuskan monopoli-monopoli untuk melakukan ekspor kapital ke negara-negara miskin kapital, dan dengannya mendominasi negara-negara tersebut. Dunia dibagi-bagi untuk tujuan ekspor kapital. Seperti yang dijelaskan Lenin:

“Kaum kapitalis membagi-bagi dunia, bukan karena nafsu jahat mereka, tetapi karena konsentrasi [kapital dan produksi] telah mencapai tingkatan yang sedemikian rupa sehingga memaksa mereka untuk mengadopsi metode ini guna mendapatkan laba. Dan mereka membagi-baginya ‘sesuai dengan besarnya kapital’, ‘sesuai dengan besarnya kekuatan’, karena di bawah produksi komoditas dan kapitalisme tidak ada cara lain untuk membagi-bagi dunia.” (Lenin, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme)

Dan lagi:

“Kepentingan-kepentingan untuk mengekspor kapital juga memberikan sebuah dorongan untuk menaklukkan koloni-koloni, karena di pasar negeri koloni metode-metode monopoli lebih mudah digunakan (dan kadang-kadang inilah satu-satunya metode yang bisa digunakan) untuk mengeliminasi kompetisi, menjaga suplai, mengamankan ‘koneksi-koneksi’ yang dibutuhkan, dsbnya. Superstruktur non-ekonomik yang tumbuh di atas basis kapital finans, politiknya dan ideologinya, mendorong keinginan untuk penaklukan koloni. ‘Finans kapital tidak menginginkan kebebasan, ia menginginkan dominasi,” seperti yang dikatakan dengan sangat tepat oleh Hilferding.” (Lenin, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme)

Imperialisme

Kita akhirnya tiba pada kesimpulan mengenai apa itu imperialisme. Imperialisme adalah tahapan tertentu dalam perkembangan kapitalisme, yakni kapitalisme yang telah “membusuk” dimana persaingan bebas telah digantikan dengan monopoli. Persaingan bebas, yang merupakan karakter utama kapitalisme, terus mendorong konsentrasi kapital dan produksi, menciptakan industri-industri besar yang terus melumat industri-industri kecil. Proses konsentrasi kapital dan produksi ini akhirnya mendorong perubahan kuantitas menjadi perubahan kualitas, yakni terciptanya monopoli-monopoli, kartel, konglomerasi, yang bersatu dengan kapital bank-bank -- yang sendirinya juga mengalami konsentrasi kapital -- dan menjadikan kapital finans sebagai tuan raja dari semua kapital.

Monopoli yang lahir dari kompetisi bebas tidak menghilangkan sepenuhnya kompetisi bebas, tetapi eksis di atasnya dan bersamanya. Yang kita saksikan hari ini bukan lagi persaingan bebas seperti periode awal kapitalisme, antar pengusaha-pengusaha yang terus bersaing untuk bagaimana memproduksi barang dengan lebih efisien lewat perkembangan teknik. Yang ada hari ini adalah antagonisme yang tajam dan brutal antara monopoli-monopoli raksasa, yang dilakukan dengan pembenturan kapital-kapital, dengan saling mencaplok, dengan kebijakan dominasi, penjajahan, dan sampai ekspresi terakhirnya, peperangan yang menyeret seluruh umat manusia ke barbarisme yang paling berdarah-darah. Inilah imperialisme.

Kalau ingin diringkas, ada 4 karakter utama imperialisme adalah:

1) Monopoli, dengan kartel dan konglomerasi

2) Kapital finans, yakni dimana bank-bank dan institusi-institusi finansial adalah tuan dari semua kapitalis

3) Ekspor kapital menjadi dominan

4) Pembagian dunia di antara monopoli-monopoli raksasa dan negara-negara kapitalis maju

Sampai sini, kita telah mendefinisikan kapitalisme dengan cukup dalam dan detil, dengan mempertimbangkan basis ekonominya. Dengan melakukan ini, kita telah menghindari penggunaan kata imperialisme secara serampangan oleh banyak sejarahwan untuk mendefinisikan kebijakan penaklukan secara umum. Kebijakan ekspansionis dan penaklukan Aleksander Agung dari Makedonia, Julius Cesar dari Roma, Napoleon Bonaparte dari Prancis, dan George Bush dari Amerika dengan sekali sapu bersih oleh para sejarahwan cetek ini didefinisikan sebagai imperialisme. Terdengar sangat sederhana sekali pemahaman ini. Selama ada yang menaklukkan dan ada yang ditaklukkan maka ini adalah imperialisme. Namun teori “imperialisme” ini keliru karena ia menjelaskan semuanya dan pada saat yang sama tidak menjelaskan apapun. Imperialisme adalah kebijakan penaklukan. Tetapi tidak semua kebijakan penaklukan adalah imperialisme. Secara fundamental, basis ekonomi dari kebijakan penaklukan di tahapan tertinggi kapitalisme hari ini berbeda dengan kebijakan penaklukan di masyarakat feodal, perbudakan, atau bahkan kebijakan penaklukan pada periode awal kapitalisme (misalnya penjajahan Indonesia di bawah VOC pada abad ke-17 dan 18). Basis ekonominya sudah kita jabarkan di atas, yakni dominasi monopoli, kapital finans, dan ekspor kapital.

Mungkin akan ada yang mengeluh bahwa ini hanyalah masalah semantik saja, masalah definisi remeh temeh. Tetapi tidak demikian. Ini berkaitan dengan bagaimana kita dapat mengobarkan perjuangan anti-imperialisme yang sejati dan revolusioner.

Dari kapitalisme imperialis menuju sosialisme

Fakta bahwa kapitalisme telah memasuki tahap imperialisme berarti bahwa situasi objektif untuk sosialisme sudah menjadi semakin matang. Secara objektif, tugas-tugas menuju sosialisme menjadi lebih sederhana. Semakin matang kapitalisme, maka semakin dekat gerbang sosialisme.

Konsentrasi kapital dan produksi telah menciptakan perusahaan-perusahaan monopoli skala raksasa -- yang tergabungkan dalam konglomerasi-konglomerasi global -- dengan produktivitasnya yang sangat tinggi. Di bawah kapitalisme, produktivitas yang begitu tinggi justru melempar ratusan juta rakyat pekerja ke jurang pengangguran, dan melempar lebih banyak lagi ketika terjadi krisis overproduksi. Inilah kekonyolan sistem kapitalisme, bahwa semakin banyak barang-barang yang terproduksi maka semakin banyak orang-orang yang menjadi tidak berguna. Namun bila monopoli-monopoli raksasa ini diambil kepemilikannya dari segelintir kapitalis dan diserahkan kepada rakyat pekerja untuk dijalankan dengan sistem ekonomi terencana, maka produktivitas yang begitu tinggi ini dapat digunakan sepenuhnya untuk membebaskan manusia dari kerja yang memperbudaknya. Kita harus ingat, bahwa yang menjadi kontradiksi utama dalam kapitalisme bukanlah monopoli raksasa itu sendiri, tetapi kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Monopoli di tangan segelintir kapitalis adalah dominasi mereka atas mayoritas rakyat pekerja miskin. Monopoli di tangan mayoritas rakyat pekerja adalah dominasi rakyat pekerja atas nasib mereka sendiri, atas alam, atas dunia untuk kebahagiaan mereka.

Dengan ekonomi yang sudah begitu terkonsentrasilkan -- dan juga dalam bentuk kapital finans dengan jejaring yang luas -- kita cukup menasionalisasi 100 perusahaan dan bank terbesar untuk merebut tuas-tuas ekonomi kapitalisme yang terutama. Kita sama sekali tidak perlu menyentuh ribuan UKM-UKM yang ada, karena dalam kapitalisme mereka ada di bawah dominasi dan merupakan roda-roda gir kecil perusahaan-perusahaan monopoli raksasa. Kapitalis-kapitalis monopoli tidak perlu menguasai 100% kepemilikan alat-alat produksi untuk mendapatkan dominasi absolut atas perekonomian. Bahkan tidak perlu lebih dari 50%, karena mereka cukup menguasai tuas-tuas ekonomi terpenting: suplai, jaringan distribusi utama, komunikasi, dan sektor-sektor krusial lainnya. Bayangkan ada 100 hektar tanah pertanian di lapang yang luas. Seorang tuan tanah yang pintar hanya perlu menguasai 40 hektar tanah yang ada sumber airnya, lebih subur, dan lokasinya strategis dekat dengan jalan raya. 60 hektar lainnya bisa diserahkan kepada tuan-tuan tanah kecil lainnya, yang akan ada di bawah dominasi sang tuan tanah besar karena mereka butuh air, butuh akses ke jalan raya, dan produktivitasnya lebih rendah. Inilah kapitalisme monopoli. Dengan cara yang sama, kaum buruh cukup menguasai “40 hektar” tersebut untuk meraih dominasi absolut. Ini bukan berarti bahwa kapitalis-kapitalis yang lebih kecil adalah sekutu buruh dalam melawan kapitalisme monopoli. Posisi mereka yang terdominasi tidak membuat membuat mereka kapitalis yang lebih baik. Kita akan berbicara lebih banyak mengenai kapitalis-kapitalis yang terdominasi ini dan bagaimana posisi kelas buruh terhadap mereka.

Signifikansi monopoli-monopoli raksasa dalam perjuangan menuju sosialisme juga sesuai dengan kekuatan lapisan-lapisan buruh itu sendiri. Secara umum, buruh yang bekerja untuk monopoli-monopoli raksasa lebih kuat daripada buruh-buruh UKM. Ini karena jumlah mereka yang besar dan terkonsentrasikan, dan juga karena mereka menopang industri yang sangat penting bagi ekonomi bangsa. Aksi-aksi mereka akan lebih mengguncang ekonomi. Bandingkan aksi buruh petrokimia dengan aksi buruh pabrik mainan UKM, mana yang akan lebih memukul kapitalisme? Mana yang akan berimbas lebih besar pada kantong-kantong kaum kapitalis? Jawabannya jelas. Ini bukan berarti kita hanya perlu melakukan pengorganisiran buruh di monopoli-monopoli raksasa saja. Gambaran di atas memberikan kita pemahaman akan medan perang yang ada di hadapan kita, bahwa kapitalisme monopoli telah menciptakan batalion proletar yang besar, kuat, dan terkonsetrasikan, yang posisi ekonominya sangat penting dan strategis.

Satu fakta lainnya mengenai kapitalisme monopoli adalah ia telah menciptakan sebuah sistem produksi yang terpadu. Tidak ada satupun pabrik yang berdiri sendiri. Monopoli-monopoli bersatu menjadi konglomerasi-konglomerasi, yang bergerak di berbagai industri dari hulu sampai hilir. Kapital finans menyatukan semua industri menjadi sebuah organisme tunggal yang saling terkait. Dalam kata lain, kapitalisme imperialis atau kapitalisme monopoli telah menyiapkan pondasi untuk sistem ekonomi terencana sosialis. Dengan pondasi yang sudah disiapkan ini, tugas buruh untuk membangun sosialisme -- setelah merebut kekuasaan politik dan ekonomi secara revolusioner -- akan menjadi seratus kali lebih mudah dibandingkan jamannya Lenin dan Trotsky.

Ekspor kapital yang menjadi karakter utama dari kapitalisme imperialis ini juga telah menciptakan batalion proletar yang besar di seluruh penjuru dunia. Dengan nafsunya yang besar untuk meraup profit, kapital finans membangun pabrik, tambang, perkebunan, pelabuhan di semua sudut dunia. Mereka menyebar kapital seperti menyebar injil. Tetapi “injil kapital” yang mereka sebarkan tidak akan menyelamatkan mereka. Dengan ekspor kapital ini mereka telah menciptakan penggali kubur mereka sendiri, yakni kelas buruh yang semakin besar, kuat dan tersebar luas. Intelektual-intelektual yang mengatakan sebaliknya, bahwa kelas buruh semakin mengecil dan tidak relevan, lupa kalau laptop, rokok, kopi, dan semua kemewahan yang mereka nikmati untuk bisa duduk berpikir dan berfilsafat ria tanpa harus memeras keringat datang dari kerja buruh dan bukan jatuh dari langit.

Terakhir tetapi sama pentingnya adalah globalisasi, yakni karakter kapitalisme imperialis hari ini yang terus menyeruak dan “bersarang dimana-mana”. Globalisasi kapitalisme membuat perspektif revolusi dunia menjadi semakin relevan hari ini. Seorang revolusioner -- terlebih lagi sebuah partai -- yang serius ingin mengobarkan revolusi di Indonesia harus punya perspektif revolusi dunia. Walaupun untuk alasan-alasan praktis kaum buruh harus mengorganisir diri mereka sebagai sebuah kelas dengan negaranya sendiri sebagai panggung perjuangan yang segera, isi sesungguhnya dari perjuangan  kelas adalah internasional. Ini didikte oleh kapital itu sendiri yang telah menjadi internasional, yang telah menembus batas-batas nasional. Globalisasi telah menyiapkan pondasi untuk kemenangan sosialisme sedunia.

Situasi objektif untuk sosialisme telah matang, dan bahkan sudah mulai membusuk. Pilihan antara sosialisme atau barbarisme menjadi semakin nyata bagi rakyat pekerja seluruh dunia. Yang dibutuhkan sekarang adalah faktor subjektif, yakni kepemimpinan revolusioner. Kaum buruh yang paling maju harus segera mempersenjatai dirinya kembali dengan Marxisme, satu-satunya ideologi yang dapat menerangi jalan mereka ke sosialisme.

Indonesia dan Perjuangan Anti Imperialisme

Dalam kapitalisme hari ini, yakni kapitalisme yang imperialis, Indonesia adalah negara yang tertindas. Monopoli-monopoli raksasa asing mendominasinya. Mayoritas perekonomiannya ada di tangan kapital finans asing lewat jejaring investasinya. Akan tetapi ini tidak berarti kalau di Indonesia tidak ada monopoli-monopoli besar dan kapital finans lokal. Sebut saja Bakrie Group, Djarum Group, Salim Group, Sinar Mas Group, Lippo Group, dan Humpuss Group. Namun dalam struktur ekonomi dunia, mereka hanyalah roda-roda gir kecil yang pada gilirannya didominasi oleh monopoli-monopoli yang lebih besar. Inilah fakta kapitalisme hari ini, yakni dominasi yang besar atas yang kecil di tiap-tiap industri, dalam skala nasional hingga skala internasional.

Apakah hari ini mungkin ada kapitalisme tanpa dominasi monopoli? Apakah kapitalis-kapitalis yang terdominasi lantas menjadi sekutu bagi kaum buruh dalam perlawanannya melawan kapitalisme monopoli? Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini akan menentukan garis politik kita.

Pertama, kita mulai dari fakta bahwa imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme, dan oleh karenanya perjuangan melawan imperialisme yang sesungguhnya akan bersandar pada kepemimpinan kelas buruh dalam menumbangkan kelas borjuasi dan sistem kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi yang merupakan dasar dari kapitalisme. Hanya persatuan kelas proletar seluruh dunia dengan rakyat pekerja tertindas lainnya -- dan bukan persatuan dengan kelas-kelas penindas, apapun posisi mereka di dalam hirarki kapitalisme monopoli -- yang dapat menjamin pembebasan nasional yang sesungguhnya.

Karena imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme, maka perjuangan melawan imperialisme tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme. Perjuangan melawan dominasi asing tidak bisa dipisahkan dari perjuangan kelas. Kedua perjuangan ini adalah satu kesatuan. Perjuangan melawan imperialisme membutuhkan sebuah program perjuangan kelas yang lengkap, tegas, dan tidak berkompromi, yang dalam setiap langkahnya selalu menyerang kepemilikan pribadi kaum borjuasi.

Kekeliruan dari mereka-mereka yang meletakkan perjuangan melawan imperialisme di atas perjuangan kelas adalah karena mereka melihat imperialisme sebagai sesuatu yang terpisah dari kapitalisme itu sendiri. Mereka tidak memahami bagaimana fitur utama dari tahapan kapitalisme hari ini adalah imperialisme itu sendiri, yakni monopoli, kapital finans, ekspor kapital, dan pembagian pasar dunia. Mengharapkan kapitalisme tanpa imperialisme adalah mimpi para borjuasi kecil yang ingin kembali ke kapitalisme muda yang “lebih adil”, agar nantinya mereka diberikan kesempatan sekali lagi untuk menjadi monopoli.

Kekeliruan ini sudah terbukti dari kemerdekaan-kemerdekaan parsial yang diraih oleh hampir semua negara-negara eks-koloni, yang mengobarkan perjuangan anti-imperialisme tanpa perspektif perjuangan kelas. Tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar merdeka. Pengecualian justru datang dari negara-negara yang mengobarkan perjuangan sosialis, seperti Cina, Vietnam, Kuba, dan Korea Utara, yang mandiri karena justru menumbangkan kapitalisme. Tetapi kemandirian ini pun terbatas, hanya sementara dan hanya pada tingkatan tertentu, karena pada akhirnya mereka adalah pulau-pulau kecil sosialisme di lautan luas kapitalisme global. Kenyataan kalau Vietnam, China, dan Kuba hari ini telah membuka pintu ekonomi mereka dan membiarkan kapital membanjiri tanah  mereka adalah bukti bahwa bahkan negara yang sudah menumbangkan kapitalisme pun pada akhirnya tidak akan bisa menghindari dominasi kapitalisme imperialis. Hanya Korea Utara yang masih mandiri, tetapi ini dibayar dengan harga mahal oleh rakyat Korea Utara dengan terbentuknya sebuah kerajaan agung keluarga Kim, yang keagungannya bahkan menandingi raja-raja dalam dongeng Mahabarata.

Kesimpulannya jelas, tidak mungkin kita membentuk sebuah kapitalisme yang mandiri di Indonesia. Ini hanyalah mimpi kapitalis nasional yang sendirinya ingin menjadi monopoli, yang menggonggongi tuan-tuannya karena tidak kebagian kue jarahan yang lebih besar.

Kedua, kita harus melihat karakter borjuasi nasional yang terdominasi ini. Borjuasi Indonesia -- seperti borjuasi negara-negara Ketiga lainnya -- lahir terlambat di panggung sejarah. Mereka lahir bukan dari proses organik seperti borjuasi Eropa, tetapi dicangkokkan lewat ekspor kapital dari negara-negara kapitalis maju. Karena fakta historis ini, mereka tidak mandiri, lemah, tergantung pada modal asing, dan tidak progresif. Mereka tidak bisa menyelesaikan sepenuhnya tugas-tugas demokratik nasional (reforma agraria, pembubaran feodalisme, pembentukan republik yang demokratis, pembentukan negara bangsa yang mandiri dan utuh). Bahkan tugas-tugas demokratik nasional tersebut hari ini setengah tercapai berkat dorongan perjuangan rakyat pekerja. Bukan kaum borjuasi nasional yang menggedor pintu kediktaturan Soeharto dan akhirnya mendobraknya guna membawa reforma demokrasi. Justru mereka berbaris rapi di belakang Soeharto ketika ia membantai jutaan rakyat dan menegakkan kediktaturan brutal.

Hari ini ada selapisan kaum borjuasi yang berbicara mengenai kedaulatan Indonesia, ambillah Prabowo dengan Gerakan Indonesia Raya dan Surya Paloh dengan “Restorasi Indonesia”nya. Seperti seorang anti-imperialis tulen, Surya Paloh berujar: “Indonesia haruslah berdaulat di bidang politik dan mandiri di bidang ekonomi … Kita sebenarnya mampu berdikari di bidang ekonomi. Kenyataannya pada hari ini sejujurnya Indonesia tidak lagi mampu berdiri di atas kaki sendiri. Itu karena Indonesia memberikan kesempatan kepada dunia luar untuk membuat Indonesia sendiri tidak mampu berjaya, berdaya, berdiri, berdaulat di bidang ekonomi, maupun di bidang politik.” Inilah Surya Paloh yang sama, pemilik monopoli media Indonesia, yang memberangus serikat pekerja dan yang editorial koran Media Indonesianya baru-baru saja mengecam aksi buruh: “Kita tidak ingin Indonesia menjadi negeri yang ditinggalkan investor. Kita tidak mau negeri ini gagal memberikan kesejahteraan bagi kaum pekerja, tetapi kita juga tidak mau para pekerja justru membaut bangkrut perusahaan.” (23/11/12). Pejuang anti-imperialis kita tidak ingin bangsa Indonesia ditinggalkan investor asing.

Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, anggota dewan pembina Gerindra, adalah pemilik jutaan hektar tanah di Indonesia dari Aceh hingga Papua. Visi kedaultan nasional Gerindra tidak meliputi kedaulatan tanah bagi para petani miskin, tetapi hanya meliputi kedaulatan pemillik tanah besar seperti Prabowo dan Hashim untuk mendominasi jutaan petani miskin. Hashim pun sebelumnya adalah pemilik lahan minyak di negara-negara eks Uni Soviet, di Kazakhstan dan Azerbaijan. Para Gerindrais anti-imperialis ini adalah kekuatan monopoli di negaranya sendiri dan monopoli imperialis terhadap negara-negara yang lebih kecil.

Perjuangan anti-imperialis kaum borjuasi nasional -- kalaupun bisa disebut perjuangan -- tidak konsisten, penuh keraguan, dan penuh pengkhianatan. Mereka lebih takut pada buruh daripada tuan-tuan mereka. Mereka lebih takut kehilangan kepemilikan mereka daripada kehilangan rantai yang mengikat mereka pada monopoli dunia. Mereka menggeram pada tuan mereka sembari menjilati tangannya. Borjuasi nasional tidak bisa menjadi sekutu kaum buruh dalam perjuangannya melawan imperialisme, karena ia justru akan melemahkan gerakan anti-imperialisme. Tidak semua lawan dari lawan kita adalah sekutu. Pembentukan front nasional antara buruh dan kaum borjuis yang katanya “progresif” hanya akan menumpulkan perjuangan kelas dan pada gilirannya menumpulkan perjuangan anti-imperialisme. Dengan front nasional “anti-imperialisme”, Kaum Kiri hanya akan menjadi penjaga perdamaian kelas.

Sejumlah Kesimpulan

Kita sampai pada penghujung analisa kita, yang mana sejumlah kesimpulan umum dapat kita rangkum:

1) Setelah menganalisa asal-usul imperialisme, dengan menggunakan metode Materialisme Dialektis-Historis, kita mencapai kesimpulan bahwa imperialisme hanya bisa dilawan dengan perjuangan kelas yang konsisten.

2) Kelas buruh, yang semakin hari semakin besar dan kuat, adalah satu-satunya kelas yang bisa menumbangkan kapitalisme imperialis hari ini.

3) Kaum borjuasi nasional negara-negara eks-koloni, karena fakta perkembangan historis mereka, tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sekutu dalam perjuangan melawan imperialisme. Kaum buruh tidak boleh mengikat kaki-tangannya dalam front nasional dengan kaum borjuasi.

4) Sekutu buruh dalam perjuangan melawan imperialisme adalah lapisan rakyat pekerja tertindas lainnya: tani, nelayan, dan kaum miskin kota. Dengan mempertahankan kemandirian kelasnya, kelas buruh harus memimpin perjuangan seluruh rakyat pekerja tertindas dalam melawan kapitalisme imperialis.

5) Program utama kaum buruh untuk melawan kapitalisme imperialis adalah:

a) Nasionalisasi 100 Perusahaan Terbesar yang memegang tuas-tuas ekonomi penting

b) Nasionalisasi seluruh perbankan dan institusi kapital finans

c) Batalkan semua hutang luar negeri dan perjanjian-perjanjian ekonomi yang membelenggu Indonesia

d) Jalankan ekonomi di bawah kontrol rakyat pekerja secara demokratis dan dengan sistem ekonomi terencana

e) Bergerak menuju Federasi Sosialis Asia Tenggara, sebagai bagian dari Federasi Sosialis Dunia, yang akan menggantikan sistem ekonomi dominasi imperialisme dengan sistem ekonomi yang berdasarkan persaudaraan seluruh umat manusia.

Setiap usaha harus dilakukan oleh kaum revolusioner untuk menghubungkan perjuangan sehari-hari buruh dengan program ini, untuk menjembatani kesadaran buruh hari ini ke tugas-tugas historisnya dengan sistem program transisional.

6) Terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, perjuangan melawan kapitalisme imperialis harus berperspektif internasional dan mendobrak batas-batas nasional. Nasib revolusi Indonesia terikat pada perspektif revolusi di Asia dan di dunia. Revolusi harus menyebar karena tidak akan ada satupun negara yang bisa mandiri di tengah lautan kapitalisme imperialis.

Berpegang teguh pada poin-poin di atas, kaum buruh akan menemukan jalan menuju sosialisme tanpa terjebak pada prasangka-prasangka nasionalisme sempit dan anti-imperialisme vulgar. Kebuntuan kapitalisme imperialis sedang menciptakan badai-badai konflik yang semakin hari semakin tajam. Bila kaum buruh revolusioner tidak punya pegangan ideologi yang mantap, ia akan terseret ke dalam badai ini dan menjadi bingung. Oleh karenanya, buruh harus terus mempersenjatai dirinya dengan teori Marxisme. Ia harus dengan seksama memperhatikan semua peristiwa politik yang berlangsung di sekitarnya. Tidak terpukau pada fenomena-fenomena di permukaan, pada prasangka-prasangka terbelakang yang ada di dalam masyarakat, tetapi memeriksa dengan jeli setiap fenomena dan prasangka, mampu membedakan mana yang revolusioner dan mana yang reaksioner, mana yang baik untuk kemajuan kesadaran kelas dan mana yang buruk.

Sungguh cocok kalau kita tutup risalah ini dengan seruan Bapak Republik Indonesia kita, Tan Malaka, sosok yang mana kita banyak berhutang budi atas perjuangan revolusionernya dalam melawan imperialisme di Indonesia:

Wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar. Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide.