facebooklogocolour

Sekitar sebulan yang lalu saya membaca buku Kondisi Kelas Pekerja Inggris: Embrio Sosialisme Ilmiah. Karya Frederick Engels ini, yang ditulisnya lebih dari 150 tahun yang lalu, disadur dengan apik ke dalam bahasa Indonesia oleh Kawan Hidayat Purnama. Saya peroleh buku itu dari toko buku Buruh Membaca. Saya anjurkan Kawan-kawan sekalian membacanya pula karena banyak pelajaran yang bisa dipetik darinya, yang sangatlah relevan bagi perjuangan kelas pekerja Indonesia hari ini.

Engels menulis buku ini dalam kurun waktu 6 bulan, setelah “menghabiskan” 21 bulan untuk melakukan penelitian. Adapun penelitian Engels meliputi pengamatan tak langsung dan  pengamatan langsung. Dalam pengamatan langsung, Engels meneliti dokumen-dokumen resmi dan tak resmi yang menggambarkan kondisi buruh di Inggris dalam paruh pertama Abad XIX. Dalam pengamatan langsung, Engels melakukan live in di lingkungan buruh Inggris.

Dari membaca buku tersebut saya mendapatkan tiga hal yang sampai hari ini masihlah relevan dalam perjuangan kelas buruh dalam melawan kapital.

Pertama, betapa mengerikannya kondisi kaum buruh Inggris pada masa itu, dan – dari sisi baliknya – betapa kejamnya Kapitalisme. Laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan anak-anak rata-rata bekerja 14 jam sehari dengan upah rendah dan kondisi-kondisi kerja yang sangat buruk. Benar-benar perbudakan demi mengisi pundi-pundi para burjuis manufaktur. Inilah bagaimana kapitalisme Inggris yang jaya dibangun, dengan keringat, air mata, dan bahkan darah para buruh Inggris.

Mendapati hal itu, saya jadi teringat akan perkataan seorang teman yang burjuis-liberal: “Kami, para kapitalis dan pendukung kapitalisme, merasa harus berterimakasih kepada Sosialisme. Sebab, kritik-kritik yang dilontarkan kaum Sosialis telah membuat kaum kapitalis memperbaiki Kapitalisme.”

Suatu perkataan yang kedengaran simpatik, sarat dengan kerendahan hati. Tapi isinya dingin dan kejam. Ya, dingin dan kejam terhadap sekian banyak korban yang telah berjatuhan di pihak kaum buruh sebelum “kaum kapitalis memperbaiki Kapitalisme”. Bukan hanya korban materiil, juga korban moril!

Betapa tidak, Tuan! Sementara kalian menghisap nilai lebih dari hasil kerja kami, kalian menjerumuskan kami ke dalam jurang alienasi (keterasingan) dari kerja kami, hasil kerja kami, kondisi kerja kami, bahkan kondisi hidup kami. Tuan telah menyangkali kemanusiaan kami. Betapa tidak, Nyonya! Sementara kalian terus melakukan akumulasi kapital dan memupuk kekayaan berkat nilai-lebih yang kalian hisap dari kami, kami harus mempertahankan dan menyambung hidup kami dengan upah yang dalam perhitunganmu cukup untuk membuat kami terus bekerja bagimu – ya, kami dan anak-anak kami.

Ketika korban-korban semakin banyak berjatuhan di pihak buruh dan kesengsaraan itu semakin tak tertahankan, kami bergerak. Kami mengkritik. Tapi kami mengkritik tidak sekadar dengan kata-kata. Kami mengkritik dengan kritik yang memungkinkan kami untuk melawan penghisapan dan penindasan kalian. Itu bukan sekali dua kali. Tanpa mengenal lelah, demi hak-hak kami dan demi suatu kehidupan yang lebih baik, lebih adil-manusiawi, kami terus melancarkan kritik dan perlawanan kami. Tidak tanpa korban, Tuan dan Nyonya! Itulah kritik-kritik yang membuat “kaum kapitalis memperbaiki kapitalisme.” Karena gemetar menghadapi perlawanan kami, terpaksalah Tuan dan Nyonya “memperbaiki kapitalisme”, sehingga kapitalisme itu “berwajah manusiawi.” Apakah “perbaikan” (yang sebenarnya muslihat) itu akan Tuan dan Nyonya lakukan bila tidak ada kritik dan perlawanan yang kekuatannya laksana serbuan malaikat dari langit?

Kedua, negara adalah badan yang eksis untuk menjamin kepentingan kelas penguasa. Negara moderen yang terdiri dari holy trinity legislatif-eksekutif-yudikatif tidak lain adalah lembaga-lembaga yang dibangun untuk menjaga berlangsungnya penindasan.

Melalui parlemen (legislatif), kelas kapitalis mengegolkan berbagai undang-undang dan peraturan yang mengesahkan dan mengamankan kepentingannya, yang secara hakiki berpangkal pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Melalui pemerintah (eksekutif), kelas kapitalis mengimplementasikan undang-undang dan peraturan itu. Melalui kekuasaan kehakiman (yudikatif), kapitalis “menegakkan hukum” yang pada dasarnya melindungi kepemilikan pribadi atas kapital dan menghukum siapapun yang menjadikan dirinya lawan bahkan ancaman terhadapnya.

Dalam konteks ini, aparat keamanan (polisi, juga tentara) adalah alat-alat kekerasan resmi untuk melindungi kepemilikan pribadi atas kapital dengan menjaga dan mengawal pabrik-pabrik, “mengamankan” demonstrasi-demonstrasi, menangkapi, menganiaya, bahkan – bila perlu – membunuh kaum buruh yang berusaha melawan penindasan dan penghisapan kapitalis atas mereka.

Tentu saja selalu ada dialektika perjuangan kelas yang tercermin dalam negara – baik dalam produk perundang-undangannya, kebijakan pemerintah, maupun penegakan hukum. Ketika burjuasi begitu dominan dan proletariat sangat lemah, burjuasi bisa mengatur negara sekehendak hati mereka. Ruang bagi hak-hak kaum buruh dan rakyat pekerja nyaris tidak ada. Ketika kesadaran kelas proletariat tergugah dan secara terorganisir mereka melakukan perlawanan yang hebat hingga kaum kapitalis merasa perlu memberikan konsesi atau bersiasat untuk mengamankan kepentingan fundamental mereka, barulah mereka mendapatkan ruang yang agak sedikit lebih luas bagi hak-hak mereka. Hal itu tercermin dalam beberapa produk perundang-undangan yang mengakomodir kepentingan buruh dan rakyat pekerja, kebijakan pemerintah yang agak ramah terhadap buruh, dan penegakan hukum yang sedikit berkurang kadar kebiadabannya terhadap kaum buruh. Bila sekarang buruh memiliki hak untuk berserikat, hak untuk memilih (dan secara teoritis dipilih) dalam Pemilu, bekerja 8 jam sehari, mendapat kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja, dsb., itu semua sama sekali bukan karena kemurahan hati burjuasi. Itu mereka dapatkan lebih perjuangan menyabung nyawa.

Demikianlah, sebagaimana dikatakan Marx: “Kelas penguasa tidak akan melepaskan kekuasaannya dengan sukarela.” Bahkan dalam konsesi dan akomodasi yang diberikan pun kelas kapitalis tetap mempertahankan kepentingan fundamentalnya mati-matian. Apakah kepentingan fundamental burjuasi? Ini: kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi serta logika yang menjadi garis hidupnya (yakni eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi).

Dalam batasan tertentu, negara kapitalis dapat memberikan sejumlah konsesi dan ruang perjuangan bagi buruh. Tetapi ini hanya dalam batasan tertentu yang akan menjadi semakin sempit justru dengan semakin menguatnya gerakan kelas buruh dan semakin dekatnya ia ke tugas historisnya untuk menumbangkan kapitalisme. Perjuangan kelas buruh, oleh karenanya, tidak hanya bertujuan merebut kekuasaan negara, tetapi juga menghancurkan negara kapitalis itu dan membentuk sebuah negara yang baru, yakni Negara Buruh. Kelas buruh tidak bisa serta-merta menggunakan mesin-mesin negara kapitalis – yang sudah dibentuk sedemikian rupa untuk menindas buruh – untuk kepentingan-kepentingannya. Ia harus membangun sebuah bentuk negara yang baru, sebuah negara yang tujuannya adalah melenyapkan penindasan kelas, yang tujuan akhirnya adalah membangun sebuah masyarakat tanpa kelas, dan sebuah negara yang semenjak ia lahir tujuannya adalah untuk pupus dan mati.

Ketiga, nasib kelas buruh ada di tangannya sendiri. Kelas buruh atau kaum proletar tidak dapat menyandarkan nasib mereka kepada negara burjuis, atau kepada beberapa orang kapitalis yang dermawan, atau kepada para burjuis kecil intelektual yang atas nama moralitas yang idealistik  mengecam kapitalisme “yang jahat”, seolah ada kapitalisme “yang baik”.

Baik negara burjuis maupun para kapitalis yang dermawan memiliki kepentingan fundamental yang sama. Mungkin mereka berbelaskasihan kepada orang miskin dan senang beramal. Tapi kecuali mereka melakukan apa yang disebut “bunuh diri kelas” oleh Almilcar Cabral, mereka tidak akan melepaskan kepentingan fundamental mereka kendati kepentingan fundamental itulah yang telah menjadi sebab hakiki dari kemiskinan sebagian terbesar orang.

Para burjuis kecil intelektual – baik akademisi maupun pekerja seni – adalah orang-orang yang nafkahnya bergantung pada “jatah” yang dengan satu dan lain cara merupakan bagian dari nilai lebih yang dihisap kaum kapitalis dari hasil kerja kaum buruh. Secara langsung mereka tidak menghisap kaum buruh, tapi mereka juga dihisap oleh kapitalis dengan cara kapitalis menghisap kaum buruh. Tidak heran bila banyak di antara mereka yang menghamba kepada kelas kapitalis dengan menjadi produsen dan propagandis ideologi yang mengesahkan dan melestarikan kekuasaan yang eksploitatif dari burjuasi.

Bergantung pada latar belakang dan pergaulan dengan kaum buruh, di antara burjuis kecil intelektual itu ada yang bersimpati kepada kaum buruh. Tak heran bila mereka melontarkan kritik-kritik sosial, berbicara dan menulis membela buruh, bahkan ikut dalam gerakan buruh. Tapi karena kepentingan fundamental mereka (hidup dari “jatah” hasil penghisapan nilai lebih), para intelektual ini senantiasa berada dalam posisi gamang. Pada dasarnya, mereka tidak mau kehilangan “jatah” itu. Karena itu para burjuis kecil itu akan melakukan berbagai akomodasi.

Misalnya, mereka membedakan antara kapitalisme yang jahat dan kapitalisme yang baik, seakan secara hakiki kapitalisme itu baik atau setidaknya netral lalu bisa dibuat menjadi baik atau jahat. Mereka mengecam kesewenang-wenangan boss yang membayar buruhnya dengan upah rendah, namun menutup mata terhadap logika penghisapan yang ada di balik sistem upah itu sendiri. Berkenaan dengan hal ini, para burjuis kecil intelektual ramai-ramai mengutuki Yuki si pemilik pabrik kuali di Tangerang yang memperlakukan buruh-buruhnya sebagai budak, seakan si fosil kapitalis primitif ini adalah satu-satunya penjahat besar di dunia kapitalis yang sejatinya seindah taman sorga. Atau, mereka mengucapkan belasungkawa atas tewasnya lebih dari seribu pekerja tekstil (sebagian terbesar perempuan) karena ambruknya bangunan tempat mereka bekerja di Savar, Bangladesh, baru-baru ini, tanpa melihat peristiwa itu sebagai harga yang harus dibayar kelas buruh demi pertumbuhan kapitalisme di negeri itu. Ya, burjuis kecil intelektual itu gencar bicara tentang keadilan dan perikemanusiaan sambil terus mengukuhkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.

Para pencari “jalan tengah” ini senang bicara tentang cara-cara yang damai (“beradab”) dalam memperjuangkan keadilan untuk menyembunyikan kegalauan mereka sendiri. Bagi mereka jalan tengah itu adalah Sosial demokrasi (Marxisme yang secara fundamental sudah direvisi sehingga tidak revolusioner lagi) atau mungkin Kapitalisme Keynesian yang konon berwajah lebih manusiawi. Lewat para intelektual burjuis kecil ini, para cendekiawan yang baik hati terhadap rakyat pekerja miskin, yang “kritis” terhadap kapitalisme, gagasan-gagasan asing masuk ke dalam gerakan buruh dan menelikung buruh dari kesadaran sejati mereka. Dalam semuanya itu, ketika nafkah mereka terancam oleh pergerakan buruh yang masif di satu sisi dan reaksi kapitalis di sisi lain, mereka dengan mudah akan membelakangi kaum buruh. Kecuali mereka melakukan “bunuh diri kelas”, burjuis kecil intelektual adalah sekutu kelas burjuis dan seteru proletariat.

Proletariat tidak bisa dan tidak boleh mengandalkan kemurahan hati negara burjuis dan kelas burjuis, juga simpati burjuis kecil. Sebagai kelas, kaum buruh atau proletariat harus mengandalkan kekuatan mereka sendiri. Mereka harus meyakini takdir historis mereka: sebagai kelas revolusioner yang akan memimpin umat manusia mengakhiri tatanan yang menghisap dan menindas yang bernama kapitalisme serta menggantikannya dengan tatanan baru yang di dalamnya kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan antarmanusia lebih bisa diwujudnyatakan. Proletariat harus meyakini bahwa tenaga-tenaga produktif yang sudah berkembang hingga masak di dalam kapitalisme sudah seharusnya menumbangkan hubungan produksi yang tidak memungkinkan segenap umat manusia dan alam mengalami kesejahteraan, dan menggantikannya dengan hubungan produksi yang demokratis, yang manusiawi, yang berkeadilan.

Untuk itu, kaum buruh harus mengorganisir diri dalam organisasi-organisasi perjuangan yang revolusioner. Kaum buruh harus memiliki organisasi perjuangannya sendiri. Di situ mereka mendidik diri dalam teori, program, dan metode perjuangan revolusioner yang alamiah bagi mereka, yakni Marxisme, dan berlatih melakukan perjuangan di tempat-tempat kerja – demi tuntutan normatif sampai tuntutan politis.

Demikianlah permenungkanku. Satu hal kian berakar di dalam hatiku: dalam kebangkitan revolusionernya, sebagaimana dikatakan Marx dan Engels, “kaum buruh tidak akan kehilangan apa-apa kecuali rantai-rantai yang telah membelenggunya.”

Kaum buruh di seluruh Indonesia, kaum buruh di seluruh dunia: Bersatulah! ***

Yogyakarta, 13 Mei 2013