facebooklogocolour

europe general strike“Kiri membutuhkan narasi baru.” Inilah gagasan yang telah mencengkeram pikiran banyak orang kiri di seluruh dunia saat ini, ketika banyak upaya telah dilakukan untuk membangun alternatif bagi partai-partai borjuis yang dominan. Apa substansi di balik gagasan “narasi baru” ini? Dan dapatkah gagasan ini membantu memajukan kelas pekerja dan pemuda? Artikel di bawah akan menjelaskan bahwa bermain-main dengan kata-kata bukanlah pengganti perjuangan kelas.

Gagasan bahwa kaum kiri membutuhkan “narasi “ yang lebih baik – dan terkait dengan ini, bahwa kita memerlukan semacam “populisme kiri” – telah menarik perhatian partai-partai dan organisasi-organisasi sayap kiri di seluruh Eropa dan sekitarnya. Untuk mengutip satu contoh, Jörg Schindler, sekretaris jenderal Partai Kiri di Jerman, menulis, “Agar kita berada di garis depan gerakan iklim – dan di sanalah tempat kita – kita membutuhkan narasi KIRI yang meyakinkan.”[1]

Katja Kipping, ketua partai yang sama, menjelaskan, “Saya percaya kita membutuhkan populisme kiri untuk memperjelas bahwa ada alternatif. Dan kita harus memperkuat pola penjelasan alternatif dan melawan narasi [kanselir Jerman Angela Merkel]… dengan narasi yang berbeda.”[2]

Akhirnya, di sebuah acara pada 2019 di Wina, yang diselenggarakan oleh Transform Europe – sebuah proyek dari Partai-partai Kiri Eropa yang terdiri dari berbagai partai seperti SYRIZA (Yunani), Die LINKE (Jerman), Rifondazione Comunista (Italia) dan Bloco de Esquerda (Portugal) – di mana Young Lefts, Partai Komunis Austria, dan organisasi lainnya hadir, istilah “narasi kiri” digunakan oleh semua pembicara selama dua jam diskusi ini. Ini hanyalah contoh-contoh kecil yang menjadi saksi sejauh mana gagasan ini telah mengakar di kalangan kiri di berbagai negara.[3]

Ide “narasi kiri” telah beredar cukup lama di kalangan universitas. Namun, ide ini baru benar-benar mulai populer dengan lonjakan dukungan yang tiba-tiba untuk partai-partai kiri baru seperti SYRIZA di Yunani dan Podemos di Spanyol, yang menjadi titik acuan bagi sebagian besar kaum kiri secara internasional. Tokoh-tokoh terkemuka dari kedua partai ini sering menggunakan istilah “narasi kiri” di banyak pidato mereka beberapa tahun yang lalu. Dan memang, ide tersebut memiliki “teoretikus-teoretikusnya”, dan salah satu yang paling menonjol adalah akademisi Belgia Chantal Mouffe.

Bersama dengan mendiang rekannya, Ernest Laclau, Mouffe berusaha mengembangkan teori “populisme kiri” berbasis naratif. Dalam ucapan terima kasih di buku terbarunya, For a Left Populism, Mouffe begitu bersemangat mengucapkan terima kasih pada Íñigo Errejón (Podemos) dan Jean-Luc Mélenchon (La France Insoumise) atas kontribusi mereka dan percakapan pribadi dengan mereka.

Ada apa di balik “narasi”?

Fondasi teori Mouffe bahwa kita perlu membangun “populisme kiri” berdasarkan “narasi kiri baru”, adalah gagasan bahwa realitas terdiri dari narasi-narasi – dalam kata lain, kisah-kisah. Menurut pengertian ini, jika politisi berhasil menuangkan pengalaman rakyat dalam istilah-istilah yang menawan – secara efektif “membingkai narasi” – ini pada gilirannya akan mempengaruhi tindakan rakyat, sehingga menghasilkan realitas itu sendiri.

Maka, realitas tidak terdiri dari keberadaan material yang objektif yang membentuk basis dari ide-ide kita. Sebaliknya, ide-ide kitalah yang membentuk dunia. Jadi, kapitalisme bukanlah sebuah sistem ekonomi yang darinya muncul kelas buruh dan kelas kapitalis, melainkan sebuah narasi, sebuah konstruksi. Mouffe menyebut pendekatan teoretisnya “anti-esensialis”. Ini berarti bahwa, menurut dia, tidak ada tujuan, tidak ada dunia nyata (apa yang dia istilahkan “esensi”) yang berkorespondensi dengan konsep-konsep kita. Dia percaya bahwa “masyarakat selalu terbagi dan dikonstruksi secara diskursif melalui praktik hegemonik”, dan bahwa masyarakat “tidak pernah merupakan manifestasi dari objektivitas yang lebih dalam”.[4]

Dari sini, mengalir bahwa tidak ada kelas-kelas yang riil dalam masyarakat. Kelas buruh hanyalah salah satu dari banyak identitas yang diciptakan oleh narasi, diskursus, dan bahasa: “Melalui representasi, subjek politik kolektif diciptakan; mereka tidak ada sebelumnya.”[5]

Oleh karena itu, tujuan dari narasi kiri – dari populisme kiri – adalah untuk mengonstruksi identitas kolektif dengan memberi tahu orang-orang bahwa mereka memiliki kepentingan yang sama dan bahwa “elite” adalah musuh mereka. Ini adalah “strategi diskursif untuk mengonstruksi sebuah perbatasan politik yang membagi masyarakat menjadi dua kubu dan menyerukan mobilisasi dari ‘kaum underdog [yang tertindas]’ melawan ‘mereka yang berkuasa’.”[6]

Dalam sebuah buku yang baru-baru ini diterbitkan, Deeply Red and Radically ColourfulFor a New Left Narrative oleh Julia Fritzsche, kita diberitahu bahwa narasi seperti itu, “pertama-tama harus terhubungkan dengan pengalaman sehari-hari rakyat, ‘mengambilnya’. Ini harus memberi kesan bahwa narasinya sesuai dengan pengalaman bersama. Tidak masalah jika mereka benar-benar memiliki pengalaman ini.”[7]

Maka tidak heran, setiap saat para pembela narasi kiri ini berbicara tentang perubahan sosial, tentang aksi praktis, mereka tidak menyebut perjuangan kelas atau aksi kelas. Jika mereka membicarakan perjuangan kelas, itu hanya sebagai pemikiran sambil lalu, sebagai tambahan ekstra yang kurang-lebih mereka sepakati. Sebaliknya, mereka menyerukan kita untuk “mengartikulasikan”, “berbicara tentang”, “menggambarkan”, “menunjukkan”, dll.

Dalam konteks inilah kita harus mempertimbangkan komentar seorang pendukung ide ini dari Sosial Demokrasi Austria, Max Lercher. Lercher berpendapat bahwa Sosial Demokrasi membutuhkan kongres pendirian baru sebagai awal baru untuk partai, dan menulis:

“Apa persamaan antara buruh industri Ceko dan buruh tambang Styria [Styria adalah daerah tambang biji besi di Austria]? Atau seorang reformis sosial Wina dan seorang sosialis radikal Hongaria? ... Lagi pula, kita semua adalah orang-orang yang berbeda dan memiliki sudut pandang yang berbeda. Dan ini adalah hal yang baik. Tetapi di Hainfeld, [lokasi berdirinya Partai Buruh Sosialis Demokratik Austria pada 1888] kami berhasil menyepakati beberapa ide sentral dan umum. Dan sebuah partai untuk menegaskan ide-ide ini didirikan.”

“Kelas buruh baru adalah mereka yang tidak memiliki akses yang adil terhadap kemakmuran. Ini juga termasuk perusahaan kecil dan menengah. Di sini, kita dapat mendefinisikan garis konflik baru.” (Penekanan kami).

Mari kita perhatikan di sini bahwa, pertama, bagi Lercher, dasar persatuan bukanlah kepentingan kelas bersama, tetapi gagasan. Dan kedua, bahwa baginya garis-garis konflik dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang eksis secara objektif, tetapi dapat “didefinisikan”, sehingga tiba-tiba kapitalis “kecil dan menengah” juga menjadi bagian dari kelas buruh!

Dari sudut pandang Marxis, seorang buruh Ceko dan seorang buruh Styria sebenarnya memiliki banyak kesamaan – keduanya melakukan kerja upahan dan dieksploitasi oleh seorang kapitalis, dan dengan demikian secara objektif menjadi bagian dari kelas buruh. Namun, jika Anda berasumsi bahwa identitas kita dibangun oleh kisah-kisah emosional yang mencekam, kesimpulan logisnya adalah bahwa kapitalisme tidak dapat digulingkan oleh perjuangan kelas melawan kapitalis, tetapi hanya dengan menulis kisah-kisah baru.

Kisah ini kemudian menjadi kuat (‘hegemonik’) dalam benak masyarakat. Seperti yang ditulis Mouffe:

“[Setiap] tatanan yang ada oleh karenanya rentan untuk ditantang oleh praktik-praktik kontra-hegemoni, praktik-praktik yang berusaha untuk men-disartikulasi-nya [menghancurkannya] guna mendirikan bentuk hegemoni lain.”[8]

Dan Fritzsche setuju:

“Narasi tidak akan menjadi jalan keluar tercepat dari kondisi masa kini yang mengganggu… Narasi kiri yang baru akan memiliki celah dan lubang, tetapi dalam jangka panjang, ini adalah satu-satunya jalan keluar dari masa kini yang menindas.”[9]

Sebenarnya, ini berarti menolak revolusi, menolak pecah dari sistem yang berkuasa. Para pendukung narasi kiri, Lercher, Herr, dkk., secara sadar atau tidak, mengambil sikap yang jelas-jelas anti-Marxis. Mouffe adalah seorang anti-Marxis yang sadar. Dia menulis bahwa “mitos komunisme… harus ditinggalkan”, dengan mengklaim bahwa komunisme telah gagal dalam praktiknya karena reduksionisme kelasnya, yakni bahwa komunisme mereduksi semua perjuangan menjadi perjuangan kelas, sedangkan Mouffe dan rekan-rekannya menganggap kelas buruh hanya sebagai salah satu di antara gerakan-gerakan lainnya seperti feminisme, lingkungan, aktivisme LGBT, dsb.

Dia lebih lanjut menyatakan: “akan selalu ada antagonisme, perjuangan dan ketidakjelasan parsial dari sosial”. Dengan ini, maksud dia, ketidaksetaraan, penindasan, dan sebagainya tidak dapat dihindari, dan tidak akan pernah dapat sepenuhnya diatasi. Atas dasar pesimistis seperti inilah dia mengusulkan “praktik anti-hegemonik”-nya. Ini adalah alternatif dari komunisme; meskipun dia mengakui bahwa praktik anti-hegemonik ini “tidak akan pernah mencapai masyarakat yang sepenuhnya bebas dan proyek emansipatoris tidak dapat dipahami lagi sebagai penghapusan negara.”[10] Dalam lampiran teoretisnya, dia dengan tegas menyatakan bahwa pendekatannya “menutup kemungkinan terbentuknya sebuah masyarakat yang melampaui divisi dan kekuasaan.”[11] Pendeknya, di balik bahasanya yang kompleks dan terdengar radikal, dia menolak revolusi, dan menganut reformisme. Ini mempertentangkan perjuangan-perjuangan seperti perjuangan perempuan dan LGBT dengan perjuangan kelas, yang justru merupakan upaya pendekatan kolaborasi kelas. Artinya, bersatu dengan sejumlah lapisan kapitalis tertentu dan kelas menengah, untuk memperjuangkan bentuk kapitalisme yang “lebih adil”.

Beberapa di antara pendukung gagasan “narasi kiri” yang lebih berani mungkin membahas kapitalisme, tetapi gagasan untuk menghapusnya tetap menjadi hal terjauh dari pikiran mereka. “Kritik cerdas terhadap kapitalisme adalah tepat, kita harus mengangkat masalah ini,” kata Lercher, dan dalam wawancara yang sama menyatakan pandangannya dengan lebih akurat: “Yang kita butuhkan adalah pasar tenaga kerja yang secara parsial milik-negara yang berkesesuaian dengan pasar dan non-profit.”[12]

Gado-gado tidak-karuan kapitalisme dengan kebijakan-kebijakan kontrol setengah-hati ini seperti mencoba mengubah harimau menjadi vegetarian. Ini lebih utopis daripada ide sosialis mana pun tentang ekonomi terencana yang dinasionalisasi, yang dikendalikan oleh kelas buruh.

Kita dapat melihat dengan cukup jelas di sini bagaimana landasan filsafat dari ide-ide ini mengarah pada pembenaran bahwa kapitalisme itu sendiri tidak dapat disentuh. Inilah sebabnya mengapa sangat penting bagi kaum Marxis untuk berdiri di atas dasar filosofis yang kokoh, yang membongkar keragu-raguan kaum reformis, dan mempertentangkan mereka dengan jawaban revolusioner.

“Untuk menjadi negara”

Orientasi utama para pendukung “narasi kiri” bukanlah perjuangan kelas melawan kapitalisme, tetapi pemenuhan tuntutan-tuntutan demokrasi. “Kita harus berani menuntut lebih banyak demokrasi,” tulis Lercher dalam artikelnya, For what do we need Social Democracy today? Mantan pemimpin Young Socialist Austria, Julia Herr, mengatakan: “Sosial Demokrasi pada 1970-an berjuang untuk demokratisasi sistem ekonomi dan untuk mendistribusikan kekayaan yang diperoleh secara adil. Kemudian kita entah bagaimana, pada titik tertentu, kehilangan kepercayaan diri.”[13]

Lembaga think tank Institut Solidarische Moderne (ISM), yang terkait erat dengan Partai Kiri Jerman, menjelaskan bahwa masalah sosial “harus diajukan secara radikal, dalam arti yang belum didefinisikan, sebagai masalah demokrasi.” Menurut ideologis ISM dan anggota dewan Rosa Luxemburg Foundation dari Partai Kiri, Thomas Seibert, perjuangan yang sebenarnya adalah untuk demokrasi “sejati”.

Dan Mouffe menulis: “Permasalahan dengan masyarakat demokratis modern, dalam pandangan kami, adalah bahwa prinsip-prinsip konstitutif-nya tentang ‘kebebasan dan kesetaraan untuk semua’ tidak dipraktikkan… ‘Demokrasi radikal dan plural’ yang kami anjurkan oleh karena itu dapat dipahami sebagai radikalisasi institusi demokrasi yang ada…”[14]

Perspektif yang disajikan di sini adalah perspektif status quo! Kita diberitahu, superstruktur lembaga-lembaga “demokrasi” yang ada, yang berulang kali telah terbukti dicurangi untuk memihak kepentingan kelas penguasa, tidak boleh dihapuskan, tetapi hanya “diperbaiki”. Sementara itu, penyebab sesungguhnya dari ketidaksetaraan dan eksploitasi tersebut – yaitu kapitalisme – bahkan tidak diakui.

Garis demarkasi yang krusial di sini adalah konsepsi kita tentang negara dan apa-yang-disebut lembaga-lembaga demokrasi. Bagi kaum revolusioner, kejelasan tentang watak negara sangatlah penting. Ini adalah masalah hidup dan mati bagi sebuah gerakan revolusioner. Ada perbedaan yang menentukan antara keinginan untuk menghapuskan negara melalui revolusi, dan keyakinan bahwa negara dapat diubah dan direforma untuk kepentingan kaum tertindas. Pandangan yang kedua selalu diterjemahkan ke dalam kolaborasi dengan negara yang ada, dan dengan demikian kolaborasi dengan kepentingan kelas penguasa yang dilayani oleh negara tersebut.

Mari kita bandingkan pemahaman Marxis tentang negara dengan para pendukung “narasi kiri”. Mouffe dan “para narator kiri” lainnya yang memahami negara seperti berikut:

“[Negara adalah] kristalisasi relasi-relasi kekuasaan dan sebagai medan perjuangan. […] Dibayangkan sebagai permukaan untuk intervensi agonistik, ruang publik ini dapat menyediakan medan untuk kemajuan demokrasi yang penting. Inilah mengapa strategi hegemonik harus melibatkan aparatur negara yang beragam untuk mengubah mereka, sehingga menjadikan negara sebagai kendaraan untuk ekspresi tuntutan-tuntutan demokrasi yang beragam. […] Dalam artian tertentu, baik jenis politik revolusioner maupun yang hegemonik dapat disebut ‘radikal’ karena menyiratkan suatu bentuk perpecahan dengan tatanan hegemonik yang ada. Namun, perpecahan ini tidak bersifat sama dan tidaklah tepat untuk menempatkan mereka dalam kategori yang sama, dengan label ‘kiri ekstrem’, seperti yang biasanya dilakukan. Bertentangan dengan apa yang sering diklaim, strategi populis kiri bukanlah pengejawantahan dari ‘kiri ekstrem’ tetapi cara yang berbeda untuk membayangkan perpecahan dengan neoliberalisme melalui pemulihan dan radikalisasi demokrasi.”[15]

Seperti yang bisa kita lihat, Mouffe sangatlah jelas dalam membedakan antara pendekatan “revolusioner” dan pendekatannya sendiri, yang disebutnya pendekatan “hegemonik”. Baginya, negara adalah sebuah jaringan institusi dan “fungsi” yang tidak sesuai dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, ada ruang bagi populisme kiri untuk mempengaruhi, mengubah, dan mengotak-atik mereka.

Bagi kaum Marxis, sebaliknya, negara bukanlah medan perjuangan yang netral tetapi instrumen kelas penguasa yang perlu dihancurkan dan digantikan oleh negara buruh. Setelah menghapus tatanan kapitalis yang tua ini dan membuka jalan bagi masyarakat komunis tanpa kelas, negara buruh ini akan melayu karena kelas-kelas dalam masyarakat juga menghilang. Sudut pandang ini diejek sebagai “terlalu sederhana” oleh para teoretikus postmodern seperti Mouffe. Tetapi dengan menganalisis bagaimana negara lahir secara historis, dan bagaimana negara berkembang untuk melayani tujuan kelas tertentu, kita dapat mengatakan dengan keyakinan mutlak bahwa definisi ini menangkap esensi dari apa itu negara.

Marx dan Engels menjelaskan bagaimana negara muncul secara historis seiring dengan munculnya masyarakat kelas. Masyarakat kelas muncul ketika umat manusia mengembangkan kekuatan produktif yang diperlukan untuk menghasilkan lebih dari yang mereka butuhkan untuk kelangsungan hidup segera. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, selapisan kecil masyarakat tidak harus bekerja seperti sebelumnya. Tetapi tingkat produksi ini tidak cukup maju untuk memastikan agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati privilese tersebut. Ini menciptakan kondisi untuk munculnya kelas-kelas sosial. Muncul kelas penguasa yang memiliki alat produksi, dan kelas tertindas yang dieksploitasi dan menghasilkan kekayaan yang diapropriasi oleh kelas penguasa.

Akan tetapi, kepentingan-kepentingan kelas yang antagonistis ini perlu dikelola. Kaum tertindas harus dibuat percaya bahwa tatanan yang ada saat ini adalah keramat, dan siapa pun yang berani mempertanyakannya harus dihukum. Pada saat yang sama, kaum penindas itu sendiri harus dicegah dari menghancurkan diri sendiri melalui perang terus-menerus satu sama lain. Negara lahir persis untuk tujuan itu. Engels menjelaskan:

“Tetapi agar antagonisme-antagonisme ini, kelas-kelas dengan kepentingan-kepentingan ekonomi yang bertentangan, tidak menghancurkan diri mereka sendiri dan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, sebuah kekuatan, yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, menjadi perlu untuk memoderasi konflik ini dan menjaganya dalam batas-batas ‘ketertiban’; dan kekuatan ini, yang muncul dari masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atasnya dan semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara.”[16]

Pada analisa terakhir, negara adalah organ penindas yang terdiri dari badan-badan khusus orang-orang bersenjata (militer dan polisi), penjara, pengadilan, dsb., yang tampaknya berdiri di atas masyarakat tetapi secara fundamental membela sistem ekonomi yang melahirkannya. Dengan bangkitnya borjuasi sebagai kelas dominan, dan kapitalisme sebagai mode produksi yang dominan dalam skala dunia, borjuasi juga menciptakan negaranya sendiri.

“Demokrasi liberal” yang dibela Mouffe adalah produk dari revolusi-revolusi yang diluncurkan demi kepentingan borjuasi itu sendiri. Untuk percaya, seperti yang dia dan “para narator kiri” lainnya lakukan, bahwa bentuk negara ini adalah institusi tertinggi, terbaik dan paling akhir yang pernah ada, dan karena itu tidak boleh disentuh, adalah mengadopsi pandangan yang sepenuhnya ahistoris. Ini juga berarti membela instrumen kelas penguasa saat ini: kaum kapitalis.

Tentu saja, fakta bahwa negara adalah instrumen penindas dari kelas penguasa tidak selalu terlihat jelas. Karakter sejatinya dengan sengaja disembunyikan oleh kaum kapitalis. Mustahil, dan juga tidak efisien, bagi kaum kapitalis untuk memerintah dengan kekerasan dan represi saja. Kaum tertindas adalah mayoritas dalam masyarakat. Jika mayoritas kaum tertindas memahami fakta ini, maka masyarakat kapitalis akan dengan segera menatap kematiannya.

Dalam masa-masa normal, sejauh mereka mampu mempertahankan ini, kelas penguasa mencoba untuk terus memperagakan adanya keadilan, “kesetaraan kesempatan”, dll. Oleh karena itu, kaum kapitalis umumnya lebih menyukai negara-negara yang memiliki pemilu bebas, yang menjamin semacam kebebasan pers, dengan sistem multi-partai politik, dsb. Negara-negara seperti ini juga memberikan ruang tertentu untuk bermanuver. Tetapi kelas penguasa tidak akan pernah membiarkan peran fundamental mereka sebagai pemilik alat-alat produksi ditantang. Negara hadir justru untuk menegakkan peran ini.

Tidak mengherankan bahwa satu-satunya hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB yang tidak pernah diabaikan dan dilanggar, tetapi dilindungi dengan hati-hati dengan seluruh kekuatan hukum yang ada, adalah Pasal 17: “setiap orang berhak memiliki properti “ dan “tidak seorang pun yang boleh dirampas propertinya secara sewenang-wenang.” Pada akhirnya, inilah tujuan negara, hukum-hukumnya, dan seluruh sistem peradilan. Inilah juga mengapa kaum Marxis menjelaskan bahwa negara borjuis harus dihancurkan melalui revolusi. Negara borjuis secara fundamental terhubungkan dengan borjuasi dan kekuasaannya sebagai sebuah kelas.

Dari sudut pandang Marxis, kita mengenal demokrasi sebagai sebuah rezim politik – sebuah superstruktur politik, yang mengangkat dirinya sendiri di atas sistem kapitalis. Kapitalisme menghasilkan berbagai jenis rezim: dari rejim borjuis-demokratis sampai rejim kediktatoran. Namun, mereka semua adalah beragam rupa negara kapitalis, yang terhubungkan melalui seribu benang ke borjuasi. Adalah untuk alasan yang baik bahwa Marx dan Engels menulis dalam Manifesto Komunis: “Badan eksekutif negara modern hanyalah sebuah komite untuk mengatur urusan-urusan bersama seluruh kelas borjuasi.”[17]

Tentu saja, bentuk sebuah rezim – bagaimana aparatur negara secara konkret memanifestasikan dirinya – jelas menentukan sejauh mana kebebasan kita dan hak-hak yang dimiliki rakyat. Inilah mengapa perjuangan untuk tuntutan demokrasi seperti ‘satu orang, satu suara’ memainkan peran yang begitu penting dalam sejarah gerakan revolusioner. Kaum Marxis secara konsisten memajukan dan mendukung tuntutan-tuntutan demokratis, yang dapat memobilisasi mayoritas rakyat luas dalam melawan kelas yang berkuasa dan membentuk persatuan antara berbagai lapisan yang tertindas dan yang dieksploitasi, dengan demikian memfasilitasi kondisi terbaik untuk berkembangnya perjuangan kelas.

Dan kaum Marxis tidak mengabaikan atau menafikan pemilu demokratis. Pemilu dapat berfungsi sebagai indikator penting dari suasana hati dalam masyarakat, dan partisipasi di dalamnya dapat digunakan sebagai sarana perjuangan kelas. Tetapi kontradiksi inti kapitalisme – yaitu eksploitasi kelas buruh oleh kapitalis; krisis dan perang tanpa-akhir – akan terus ada di bawah setiap jenis rezim borjuis, betapapun demokratisnya. Inilah mengapa “kebebasan dan kesetaraan untuk semua” tidak dapat diterapkan dalam kapitalisme.

Bagi kaum revolusioner, pemilihan umum dan perwakilan parlementer dapat digunakan untuk menyajikan ide-ide politik revolusioner kepada khalayak massa. Mereka juga dapat digunakan untuk mengekspos kemunafikan kelas kapitalis dan lembaga-lembaganya. Misalnya, jika kaum revolusioner di parlemen menuntut agar kesetaraan dan keadilan sosial yang sejati ditegakkan dengan mengambil alih industri besar dan bank – yaitu, dengan menantang kepemilikan kapitalis atas alat-alat produksi – seluruh tatanan negara akan digunakan untuk melawan tuntutan ini.

Jika perlu – seperti yang akan kami tunjukkan di bawah – mereka akan mengabaikan “demokrasi” dan mayoritas di parlemen, dan melupakan semua celoteh mereka sebelumnya tentang ‘kebebasan’, untuk menyelamatkan kapitalisme. Jika kaum revolusioner hanya berhenti di situ, mengangkat tangan mereka dan berkata, “bagaimana lagi, tidak ada yang bisa kita lakukan tentang hal itu, kita hanya belum memenangkan pertempuran hegemonik di dalam negara,” mereka bukanlah kaum revolusioner sama sekali. Mereka akan menjadi kaum reformis. Tapi inilah justru yang disarankan oleh “para narator kiri”. Dengan menerima limit sistem ekonomi (kapitalisme) dan superstruktur politiknya (demokrasi borjuis), mereka tidak dapat melangkah lebih jauh dari ini.

Kaum revolusioner, di sisi lain, memandang aktivitas massa sebagai elemen kunci dalam melampaui limit-limit ini dan mengubah masyarakat. Parlemen dan pemilu hanyalah salah satu elemen yang berguna dalam memperkuat dan mendorong aktivitas mereka. Lenin menunjukkan bahwa “banyak, jika tidak semua, revolusi,” menunjukkan kegunaan besar dari, “kombinasi aksi massa di luar parlemen reaksioner dengan oposisi yang bersimpati (atau, lebih baik lagi, secara langsung mendukung) revolusi di dalamnya.” Pada saat yang sama, ia menjelaskan: “[Aksi] massa, pemogokan besar, misalnya, lebih penting daripada aktivitas parlemen di setiap saat, dan tidak hanya selama revolusi atau dalam situasi revolusioner.”[18]

Pendekatan kaum Marxis terhadap negara dengan demikian dapat diringkas sebagai berikut: negara adalah instrumen penindas dari kelas penguasa. Itu harus dihapuskan dan diganti dengan negara buruh. Setelah revolusi sosialis yang sukses, akhirnya semua bentuk negara akan lenyap, bersama dengan kelas-kelas. Tetapi ini tidak berarti bahwa kami menganggap hak dan kebebasan demokratis hari ini adalah hal yang tidak diperlukan. Sebaliknya, kami memperjuangkan kebebasan ini dan memanfaatkannya. Tapi pada saat yang sama, kami tidak menabur ilusi apapun bahwa demokrasi dapat memecahkan akar fundamental penindasan, kemiskinan dan ketidaksetaraan. Ini hanya dapat dilakukan dengan menghapus kapitalisme.

Para ahli teori “narasi kiri” dengan tegas menolak teori negara Marxis dan memfokuskan argumen utama mereka pada masalah demokrasi. Menurut mereka: “jelas tidak ada hubungan antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Sangat disayangkan bahwa Marxisme telah berkontribusi pada kebingungan ini dengan menghadirkan demokrasi liberal sebagai superstruktur kapitalisme.”[19]

“Kebingungan yang disayangkan” ini sebenarnya terletak sepenuhnya pada para filsuf bahasa ini. Bagi mereka, negara hanyalah konstruksi “diskursif” – institusi yang dapat diubah oleh “narasi baru”. Negara, kata mereka, adalah “medan perjuangan”. Dan untuk ‘mengartikulasikan kembali’ ‘medan’ yang menurut mereka netral dan mandiri-dari-kelas ini, seseorang harus menjadi bagian darinya. “Tujuannya bukanlah perebutan kekuasaan negara,” kata mereka kepada kita, “tetapi ‘menjadi’ negara.”[20]

Sekali lagi jelas mengapa teori ini begitu populer di kalangan reformis. Menjadi bagian dari aparatur negara – sebaiknya dengan sesedikit mungkin campur tangan massa – adalah raison d’etre (alasan keberadaan) kaum reformis. Dalam “medan perjuangan” yang diwakili oleh aparatur negara, tujuannya adalah membentuk kemitraan yang setara dengan kaum kapitalis guna mencapai kesepakatan tentang perbaikan kehidupan bagi para pemilih.

Max Lercher menjelaskan hal ini sebagai berikut: “Sosial Demokrasi harus membuat kapital tahu diri dan menjinakkan pasar. […] Saya membayangkan sebuah negara kesejahteraan sosial yang mendistribusikan kemakmuran secara adil dan menyisakan ruang untuk manuver.”

Tapi hati-hati menurut Mouffe! Dalam konfrontasi dengan musuh kelas (istilah yang tidak akan mereka gunakan), adalah penting “ketika konflik muncul, ini tidak lalu mengambil bentuk ‘antagonisme’ (perseteruan antara musuh),” sebaliknya, “lawan tidak dianggap sebagai musuh untuk dihancurkan tetapi musuh yang keberadaannya dianggap sah.”[21]

Ini tidak lain “kemitraan sosial” dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan kelas, yang diterjemahkan ke dalam bahasa akademis. Jika mungkin untuk memperoleh reforma dan perbaikan terus-menerus melalui “kerja sabar dan damai di atas paradigma baru” (Fritzsche), mayoritas kelas buruh tentu tidak akan menentangnya.

Namun, masalahnya adalah kapitalisme – karena kontradiksi-kontradiksinya – berulang kali terlempar ke dalam krisis. Penghematan brutal oleh kaum neoliberal “jahat” tidak muncul dari dorongan batin mereka yang tiba-tiba untuk menimbulkan penderitaan manusia. Ini adalah hasil dari tekanan sistem kapitalis, di mana peningkatan profit (dan bagaimanapun, ini adalah satu-satunya tujuan kapitalis) hanya dimungkinkan dengan serangan yang lebih keras dan lebih intensif terhadap kelas buruh.

Masalahnya bukanlah tiba-tiba Sosial Demokrasi “kehilangan kepercayaan” sejak tahun 1970-an, seperti yang dikatakan Herr. Reformisme telah berbenturan dengan batas-batas objektif kapitalisme. Hari ini, sudah tidak ada lagi ruang untuk reformasi yang langgeng dan bermakna di dalam kapitalisme.

Tanggung jawab kepemimpinan

Massa rakyat Yunani telah melalui pengalaman menyakitkan dari batas-batas reformisme. Menanggapi krisis yang memukul negeri ini dengan sangat keras setelah 2012, massa Yunani terlibat dalam perjuangan sengit selama bertahun-tahun. Pertama, ada aksi okupasi (sit-ins) besar-besaran di alun-alun kota. Kemudian kelas buruh terjun ke dalam perjuangan dan memimpin banyak pemogokan dan pemogokan umum. Ketika semua ini gagal membuahkan hasil (paling tidak karena peran obstruktif dari kepemimpinan serikat pekerja), massa Yunani mengekspresikan kemarahan mereka melalui pemilu dengan memilih partai kiri, SYRIZA, yang berdiri di atas program anti-penghematan.

Namun, dalam waktu singkat, pemimpin SYRIZA Alexis Tsipras mengsubordinasikan Yunani di bawah kediktatoran Uni Eropa dan kebijakan penghematan yang dipaksakan oleh IMF. Ini adalah pengkhianatan terbuka terhadap referendum Juli 2015 yang dengan mayoritas besar menolak persyaratan yang dipaksakan oleh Troika untuk bailout, dengan 61 persen memilih ‘Tidak’. Kebijakan penghematan ini berarti penghancuran standar hidup bagi massa. Bertentangan dengan kehendak rakyat Yunani, kapitalisme dan perwakilan setianya di UE memaksakan agenda mereka.

Apa yang dikatakan “kaum populis kiri” tentang kekalahan ini?

“Perjuangan SYRIZA kalah karena hanya perlawanan dari sebagian besar negeri-negeri inti Zona Euro yang dapat menopang ide-ide SYRIZA. Hanya dengan cara ini, mereka dapat membuat sebuah terobosan dan mengubah krisis ekonomi dan politik Yunani menjadi krisis seluruh UE.”[22]

Dan: “Malangnya, SYRIZA belum dapat menerapkan program anti-penghematannya karena respons brutal dari Uni Eropa yang menjawab dengan ‘kudeta finansial’ dan memaksa partai [SYRIZA] untuk menerima diktat Troika.”[23]

“Respons brutal” UE sama sekali tidak mengejutkan. Namun Tsipras masih menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk bertemu dengan paus dan sejumlah kepala negara penting Eropa untuk ‘secara diskursif’ memenangkan mereka ke sisinya. Ketika dia gagal ‘meyakinkan’ mereka, dia bertekut lutut pada Troika, mengkhianati harapan mayoritas besar rakyat Yunani yang memobilisasi untuk mendukung program anti-penghematan SYRIZA. Kamerad-kamerad Yunani, yang merupakan bagian dari komite pusat SYRIZA pada waktu itu, menulis pernyataan ini segera setelah pemilu:

“Tidak boleh ada ilusi dalam bernegosiasi dengan kapital Eropa dan institusinya! Lawan kita adalah kepentingan kapitalis, domestik maupun asing, yang bersembunyi di balik troika dan bukan pejabat-pejabat teknokrat mereka. Satu-satunya sekutu sejati kita adalah kelas buruh Eropa! SYRIZA sekarang harus menyerukan program aksi massa di seluruh Eropa untuk membuat Eropa menjadi ‘Puerta del Sol’ yang luas ! [Mengacu pada gerakan indignados yang meletus di seluruh Spanyol pada 2011-12]”[24]

Kamerad-kamerad Yunani menyarankan sejumlah langkah untuk Yunani, seperti pembatalan hutang negara dan nasionalisasi bank – langkah-langkah yang menyentuh inti permasalahan: pecah dari kapitalisme atau tunduk pada kehendak Troika.

Klaim bahwa ada berbagai faktor “malang” yang harus disalahkan atas kekalahan SYRIZA – semua faktor kecuali kepemimpinan partai itu sendiri – adalah tipikal reformisme. Dalam situasi politik yang kritis, peran kepemimpinan sangat menentukan. Pemimpin memiliki telinga massa dan otoritas untuk mengusulkan dan mengorganisir langkah selanjutnya yang tepat. Setelah kekalahan gerakan massa, sangatlah penting untuk mempelajari peran kepemimpinan dengan cermat. Apakah mereka memiliki gagasan yang benar? Mengapa mereka tidak berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan? Jika kita mengabaikan pertanyaan-pertanyaan ini, kita hanya menutup-nutupi kepemimpinan yang buruk dan menyamarkan peran yang mereka mainkan dalam kekalahan ini. Hasilnya adalah menyalahkan massa atas kekalahan ini.

Fritzsche, misalnya, mengatakan ini mengenai kegagalan gerakan rompi kuning di Prancis, gerakan ‘Occupy’, dan bahkan Musim Semi Arab:

“[Mereka gagal] karena orang-orang yang berpotensi tertarik menganggap mereka terlalu akademis, atau karena mereka pikir tenda [mereka] bagus dan imut, tetapi kapitalisme entah bagaimana lebih baik. Karena orang-orang yang menduduki alun-alun kota menyerah untuk kembali ke pekerjaan mereka, atau karena mereka menduduki tempat di mana mereka tidak mengganggu siapa pun. Dan pada akhirnya juga, karena jika mereka mengganggu, polisi dan militer membersihkan mereka dari alun-alun, memukuli dan memenjarakan mereka.”[25]

Ini murni sinisme. Massa rakyat di negeri-negeri seperti Mesir atau Tunisia telah mempertaruhkan nyawa mereka, mengatasi perpecahan sektarian dan bersedia mempertaruhkan segalanya untuk meraih kebebasan. Mari kita catat juga bahwa gerakan rompi kuning tidak hanya berhasil memenangkan tujuan awalnya untuk membatalkan kenaikan pajak bahan bakar yang regresif dari pemerintah Macron, tetapi para pekerja dan pemuda yang terlibat juga belajar lebih banyak melalui gerakan ini tentang peran negara dan “demokrasi” borjuis daripada yang dapat mereka peroleh dari semua buku tentang “narasi kiri”. Garis argumen Friztsche adalah garis yang sangat nyaman bagi politisi yang tidak ingin melawan kaum kapitalis. Sangat menenangkan bagi mereka yang ingin membenarkan kebimbangan dan keragu-raguan mereka sendiri dengan menyalahkan ‘kurangnya hegemoni dalam masyarakat.’

Ide revolusioner – praktik revolusioner

Konsep narasi kiri adalah contoh yang baik dari hubungan antara filsafat dan praktik politik. “Narasi” yang terkesan radikal ini, yang diusung oleh tokoh-tokoh yang dibahas di sini, sesungguhnya adalah kedok politik reformisme yang sama sekali tidak mengancam kapitalisme. Karena konsep ini mengasumsikan bahwa tidak ada realitas di luar kisah, maka “narasi kiri” mengarah pada banyak ocehan, dan itu saja.

Para pendukung “narasi kiri” baru ingin “berbicara mengenai” masalah-masalah kaum tertindas dan tereksploitasi, dan menggalang suara untuk partai-partai reformis, tetapi mereka hanya menyampaikan sedikit saran atau tuntutan konkret. Kalau pun ada yang mereka tuntut, ini semata terbatas pada masalah demokrasi, atau tidak lebih dari harapan naif untuk negara kesejahteraan sosial. Tuntutan semacam itu tidak selalu salah dalam dirinya sendiri, tetapi mereka tidak menekankan perlunya perjuangan kelas melawan kapitalis untuk mencapainya. Ketika tuntutan-tuntutan yang lembek seperti ini lalu hancur berkeping-keping saat berbenturan dengan oposisi nyata dari kelas penguasa – seperti yang kita lihat dengan jelas dengan SYRIZA – tanggung jawab kekalahan ini dibebankan ke pundak massa; atau, ‘hegemoni neoliberalisme’ yang disalahkan.

Apakah pembela “narasi kiri” secara sadar mempromosikan premis filosofis teori mereka (seperti yang dilakukan Mouffe), atau apakah mereka secara tidak sadar memilih konsep ini sebagai sesuatu yang berguna untuk membenarkan tindakan mereka sendiri, ini tidak relevan. Tugas kaum revolusioner adalah mengekspos ide-ide semacam itu dan praktik yang mengalir darinya, dan mengajukan solusi nyata bagi kesengsaraan kapitalisme. Inilah alasan mengapa kaum Marxis sangat mementingkan pertanyaan-pertanyaan filosofis.

Pada akhirnya, ide-ide adalah ekspresi dari kepentingan-kepentingan kelas dalam masyarakat dan panduan aksi. Kita harus bertanya: apakah ide-ide tertentu membantu kelas penguasa dan mereka menebar debu ke mata kaum buruh dan aktivis kiri? Atau apakah mereka membantu kita mengubah masyarakat?

Mari kita hadapi kenyataan dengan mata terbuka. Mari kita berjuang untuk dunia tanpa eksploitasi dan penindasan – untuk penggulingan kapitalisme secara revolusioner.

[1] Jörg Schindler, “Warum der Klimawandel ein linkes Thema ist”, Die Linke, July 9, 2019, https://www.die-linke.de/detail/warum-der-klimawandel-ein-linkes-thema-ist/

[2] Katja Kipping & Bernd Riexinger, “Wir brauchen einen linken Populismus,” interview by Ingo Stützle & Jan Ole Arps, Analyse & Kritik, September 21, 2012, https://archiv.akweb.de/ak_s/ak575/31.htm

[3] “About us,” Transform Europe, accessed June 3, 2021, https://www.transform-network.net/about-us/

[4] Chantal Mouffe, For a Left Populism, (London & New York: Verso, 2018), pg 12.

[5] Ibid., pg 35.

[6] Ibid., pg 13.

[7] Julia Fritzsche, Tiefrot und Radikal Bunt: Für eine neue linke Erzählung, (Hamburg: Edition Nautilus, 2019), pg 20.

[8] Mouffe, For a Left Populism, pg 49.

[9] Fritzsche, Tiefrot und Radikal Bunt, pg 177-8.

[10] Mouffe, For a Left Populism, pg 9.

[11] Ibid., pg 49.

[12] Max Lercher, “Wir müssen ein System zerschlagen," interview by Florian Gasser, Zeit, October 10, 2019,

https://www.zeit.de/2019/42/max-lercher-spoe-sozialdemokratie-neugruendung

[13] Julia Herr & Josef Cap, “Julia Herr und Josef Cap über die Defizite der Sozialdemokratie,” interview by Rosemarie Schwaiger, Profil, September 25, 2019, https://www.profil.at/oesterreich/julia-herr-josef-cap-gespraech-sozialdemokratie-11146436

[14] Mouffe, For a Left Populism, pg 27.

[15] Ibid., pg 30-1.

[16] Frederick Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State

[17] Karl Marx & Frederick Engels, “The Communist Manifesto,” in The Classics of Marxism: Volume One, (London: Wellred Books, 2013), pg 5.

[18] Vladimir Lenin, “‘Left-Wing’ Communism: an Infantile Disorder”

[19] Mouffe, For a Left Populism, pg 31.

[20] Ibid.

[21] Mouffe, For a Left Populism, pg 51.

[22] Thomas Seibert, “Erste Notizen zum Plan A einer neuen Linken (nicht nur) in Deutschland,” Marxistische Linke, December 8, 2015, https://kommunisten.de/rubriken/meinungen/6010-thomas-seibert-erste-notizen-zum-plan-a-einer-neuen-linken-nicht-nur-in-deutschland

[23] Mouffe, For a Left Populism, pg 17.

[24] Communist Tendency of Syriza, “The ruling class is terrified of ‘the virus’ of SYRIZA - Time to move forward!,” In Defence of Marxism, February 9, 2015, https://www.marxist.com/the-ruling-class-is-terrified-of-qthe-virusq-of-syriza-time-to-move-forward.htm

[25] Fritzsche, Tiefrot und Radikal Bunt, pg 25.