Program Transisional adalah sebuah dokumen perspektif politik yang ditulis oleh Leon Trotsky untuk Kongres Pembentukan Internasionale Keempat pada tahun 1938. Depresi Hebat 1929, kebangkitan Hitler tahun 1933, cekaman Perang Dunia baru yang kemudian pecah tahun 1939, Perang Sipil Spanyol, inilah periode yang dimasuki oleh masyarakat kita ketika Leon Trotsky menggagaskan dan mempersiapkan sebuah Internasionale yang baru dengan tugas sejarah “menumbangkan kapitalisme, bukan mengubahnya ... dan penaklukkan kekuasaan oleh kelas proletariat guna menyita hak kepemilikan kelas borjuis.”
Dalam perjuangannya melawan konter-revolusi birokrasi di dalam Uni Soviet dan Partai Bolshevik, Trotsky tidak pernah mengambil jalan sektarian, yakni dia tidak memisahkan diri dari organisasi perjuangan massa. Semenjak pembentukan faksi Oposisi Kiri pada tahun 1923, sampai ia dipecat dari Partai Komunis Uni Soviet dan lalu diasingkan, Leon Trotsky tetap menganggap kelompoknya sebagai faksi oposisi di dalam Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) dan Komunis Internasional (Komintern atau Internasionale Ketiga) dengan tujuan mengembalikan PKUS dan Komintern ke jalan komunisme yang sejati. Selama bertahun-tahun, Trotsky dan pengikutnya berjuang di dalam kondisi yang sulit ini, dicemooh, dipukuli, bahkan sampai dibunuh oleh agen-agen Stalinis. Semua ini demi meraih telinga kaum buruh dan komunis sejati di dalam PKUS dan Komintern.
Namun ketika Komintern tidak sanggup melawan kebangkitan Hitler -- dan bahkan tidak mampu belajar dari kekalahan tersebut yang akhirnya menyiapkan Perang Dunia Kedua -- Trotsky menganggap bahwa secara de fakto Komintern telah mati dan tidak bisa dihidupkan kembali. Oleh karenanya, pada tahun 1938 ia membentuk Internasionale Keempat sebagai Internasional baru. Analisanya tidak keliru. Lima tahun kemudian pada tahun 1943, Stalin meresmikan secara formal apa yang telah menjadi kenyataan secara de fakto, yakni ia membubarkan Komintern untuk menyenangkan hati negara-negara Sekutu dan memastikan kepada mereka tidak ada lagi agenda revolusi sosialis dunia.
Dokumen perspektif Program Transisional bertujuan mempersiapkan kader-kader yang mampu menghubungkan program-program tuntutan sehari-hari dengan tugas historis kaum buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme. Metode ini dinamakan program transisional, sebuah jembatan penghubung antara program minimum, yakni reforma-reforma dalam batasan kapitalisme, dan program maksimum, yakni perebutan kekuasaan ekonomi dan politik oleh kaum buruh. Selama program minimum masih memiliki vitalitasnya dalam menyerang pondasi kapitalisme, kaum revolusioner tidak boleh mencampakkannya. Pertimbangan apa yang menjadi tuntutan transisional harus dilakukan dengan memperhatikan situasi sosial dan politik yang konkrit. Pada satu saat, apa yang sebelumnya adalah tuntutan transisional dapat menjadi tuntutan yang justru ada di belakang kesadaran rakyat dan menghalangi perkembangan kesadaran kelas.
Di dalam situasi krisis kapitalisme, apa yang biasanya adalah tuntutan-tuntutan yang mungkin dipenuhi di dalam batasan kapitalisme dapat menjadi tuntutan-tuntutan revolusioner. Krisis kapitalisme baru-baru ini pada tahun 2008 telah membuat banyak pencapaian-pencapaian kelas buruh negara-negara maju, seperti 8-jam-kerja, pensiun, dll., menjadi hal yang semakin sulit dipertahankan. Kapitalis menyerang pencapaian-pencapaian buruh-buruh negara maju ini. Di dalam situasi seperti ini, bahkan tuntutan jaminan pensiun di umur 65 tahun dan tuntutan 8-jam-kerja dapat menjadi tuntutan revolusioner yang mampu membantu kelas buruh memahami tugas historisnya.
Di Indonesia, dimana hak-hak dasar buruh saja masih belum terpenuhi, perjuangan untuk 8-jam kerja, upah layak, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dsbnya. dapat menjadi tuntutan revolusioner, selama setiap usaha dilakukan untuk selalu menghubungkannya dengan tugas historis kelas buruh. Tidak seperti kaum reformis yang kerap berhenti pada tuntutan reforma saja dan tidak berani maju lebih lanjut ketika dihadapkan dengan momen revolusi yang menentukan, kaum revolusioner justru menggunakan tuntutan reforma sebagai batu pijakan menuju revolusi.
Apa itu program? Sebuah program adalah sebuah instrumen partai, seperti halnya sebuah perkakas adalah instrumen seorang buruh untuk melakukan tugasnya. Program partai tidak jatuh dari langit. Ia bukanlah hasil dari sebuah dorongan moral yang abstrak, tetapi adalah hasil pengalaman historis bersama dari perjuangan kelas buruh. Program memberikan sebuah ekspresi terorganisir bagi perjuangan massa. Program partai adalah satu daftar tuntutan yang tugasnya adalah untuk menguatkan kelas buruh di dalam kapasitasnya untuk berorganisasi dan berjuang. Ia bukan serta merta sebuah daftar tuntutan untuk dipenuhi, yang lalu disoraki setelah terpenuhi. Program partai adalah sebuah tuntutan perjuangan. Ia dikedepankan untuk "mendidik ulang" rakyat massa mengenai kekuatan mereka di dalam masyarakat ini. Ia dirancang untuk mengubah buruh menjadi sebuah kelas untuk dirinya sendiri, dan bukan kelas dalam dirinya sendiri (to be a class for itself, not just class in itself). Inilah yang membedakan seorang reformis dari seorang revolusioner. Yang pertama melihat sebuah program hanya sebagai daftar tuntutan untuk dipenuhi, yang belakangan melihat lebih jauh dari itu, yakni sebagai cara untuk menuju revolusi sosial.
Sebuah program dapat menjadi daftar tuntutan reforma di dalam kerangka kapitalisme selama periode non-revolusioner (gaji lebih tinggi, kepastian Jamsostek, jaminan pensiun, perbaikan THR, dll.), atau di ujung yang lain, ia dapat menjadi daftar tuntutan yang mengedepankan masalah perebutan kekuasaan selama periode revolusioner. Semua ini tergantung pada tingkat kesadaran kelas massa dan kondisi objektif umum (situasi ekonomi dan politik). Yang belakangan ini (kondisi objektif umum) adalah pemandu umum bagi bentuk dan isi program, sementara kesadaran kelas memiliki hubungan dialektika dengan program tersebut. Tugas program adalah untuk membawa kesadaran kelas menjadi harmonis dengan kondisi objektif umum, inilah hubungan antara program dengan kesadaran buruh. Program tidak boleh dibangun hanya berdasarkan tingkat kesadaran buruh pada saat itu. Ini mengekor namanya. Seperti yang dijabarkan oleh Leon Trotsky:
"Kesadaran massa bisa saja ketinggalan; maka dari itu tugas politik dari partai ini adalah untuk mengharmoniskan kesadaran massa dengan kondisi objektif, untuk membuat rakyat pekerja mengerti tugas objektif mereka. Tetapi kita tidak boleh mengadaptasikan program kita pada kesadaran terbelakang kaum pekerja. Kesadaran adalah faktor sekunder – faktor yang utama adalah situasi objektif." (Leon Trotsky, Diskusi dengan Trotsky Mengenai Program Transisional)
Setelah kita memahami pentingnya sebuah program di dalam gerakan, kita harus tahu bagaimana merancang dan mengantarkannya ke rakyat. Inilah salah satu pelajaran penting dari "Program Transisional" karya Trotsky ini. Jelas kalau tuntutan-tuntutan yang Trotsky kedepankan pada tahun 1938 adalah untuk situasi pada saat itu. Usaha untuk menjiplaknya ke situasi sekarang adalah dogmatis. Kita harus tahu konteks penulisan dokumen tersebut, yang sudah dijabarkan sedikit banyak di pengantar ini. Mari kita ambil contoh tuntutan pembentukan Milisi Pertahanan Buruh. Tuntutan ini tentunya akan konyol sekali kalau dikedepankan di Amerika Serikat sekarang. Leon Trotsky mengajukan tuntutan tersebut sebagai salah satu tuntutan penting ketika fasisme Itali dan Jerman (dan juga kekuatan-kekuatan fasisme di negara-negara lain) sedang menguat dan para fasis ini dengan brutal menyerang kaum buruh. Namun di Indonesia, dimana sering sekali pertemuan-pertemuan Kiri diserang oleh preman-preman semi-fasis (PERMAK, FPI, dsbnya.) dan polisi biasanya diam saja, tuntutan ini dapat dipakai. Tentunya tuntutan ini tidak akan menjadi tuntutan utama pada tahapan sekarang, namun tuntutan tersebut sudah bisa mulai disosialisasikan ke serikat-serikat buruh supaya setidaknya embrio-embrio kelompok pertahanan buruh sudah bisa mulai diorganisir.
Periode pada saat Trotsky menulis dokumen tersebut adalah periode ketika kepemimpinan organisasi-organisasi buruh resmi -- kaum Sosial Demokrat dan kaum Stalinis -- telah menjadi batu penghalang terbesar bagi revolusi sosialis. Di dalam partai-partai massa dan serikat-serikat buruh, para pemimpin ini lagi dan lagi membawa kaum buruh ke kekalahan. "Krisis yang sekarang dihadapi oleh umat manusia adalah krisis kepemimpinan proletarian," begitu ujar Trotsky. Salah satu tugas Internasional Keempat adalah mengekspos kebangkrutan para pemimpin pengkhianat tersebut dan membentuk kepemimpinan yang baru. Namun ini tidak bisa dilakukan dengan memisahkan diri dari perjuangan internal di dalam organisasi-organisasi massa. Dengan keras dan tegas Trotsky memerangi sektarianisme:
"Bagi para sektarian ini, mempersiapkan revolusi berarti meyakinkan diri mereka sendiri akan kehebatan sosialisme. Mereka menganjurkan untuk meninggalkan serikat-serikat buruh yang “lama”, dengan kata lain mereka menganjurkan untuk meninggalkan puluhan juta buruh yang terorganisir – mereka berpikir bahwa rakyat dapat hidup di luar kondisi perjuangan kelas yang sesungguhnya! Kaum sektarian tidak menggubris perjuangan internal di dalam organisasi-organisasi reformis – mereka berpikir mereka dapat memenangkan kepercayaan rakyat tanpa berpartisipasi di dalam perjuangan sehari-harinya rakyat!"
Trotsky dengan tegas menganjurkan kader-kader Internasionale Keempat untuk bekerja di dalam organisasi-organisasi massa buruh -- partai politik maupun serikat buruh -- untuk meraih telinga buruh dan menemani mereka dalam perjuangan mereka melawan sayap-sayap kanan dan elemen-elemen borjuis di dalam organisasi perjuangan mereka. "Dia yang tidak mencari dan tidak menemukan jalan menuju ke Rakyat adalah bukan pejuang, ia adalah beban partai."
Delapan puluh tahun kemudian, kita masih dihadapi dengan kepemimpinan gerakan yang buruk, yang berulang kali telah menjadi penjegal perjuangan kelas. Runtuhnya Uni Soviet memang mengekspos kebangkrutan birokrasi Stalinis, namun tidak mengeksposnya secara revolusioner yang memberikan jalan keluar bagi perjuangan kelas. Yang terjadi justru adalah penguatan paham reformisme. Kelas borjuasi meningkatkan serangan ideologis mereka. Marxisme telah gagal, begitu kata mereka. Post-modernisme, post-Marxis, neo-Marxis, Jalan Ketiga, Akhir-Sejarah, Empire; berbagai ideologi asing ini masuk meracuni gerakan buruh dan kepemimpinannya. Tugas kaum revolusioner dari dulu sampai sekarang masihlah sama: mengobarkan perjuangan ideologi melawan gagasan-gagasan asing ini.
Sayangnya, Trotsky dibunuh oleh agennya Stalin dua tahun setelah pembentukan Internasionale Keempat dan tidak bisa memandu organisasi yang masih muda ini. Perang adalah satu hal yang kompleks dan dapat mengubah relasi-relasi kekuatan kelas dan politik dengan begitu cepat, apalagi perang berskala dunia. Perang Dunia Kedua sebagian besar terjadi di garis depan Timur, yakni antara Nazi Jerman dan Uni Soviet. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Uni Soviet yang dengan ekonomi terencananya -- dan semangat rakyat buruh Uni Soviet untuk mempertahankan Revolusi Oktober dari serangan Fasisme -- yang mampu menggalang semua sumber dayanya. Kemenangan Uni Soviet ini mengubah tatanan politik dunia. Ini menguatkan Stalinisme, secara politik dan ekonomi. Secara politik, Uni Soviet dilihat oleh kaum buruh sedunia sebagai pembebas kemanusiaan dari cengkraman fasisme, dan ini memberikan otoritas politik yang sangat besar kepada kaum Stalinis. Secara ekonomi Uni Soviet mendapatkan begitu banyak negara-negara satelit di Eropa Timur.
Sementara, pada waktu yang sama, kehancuran Eropa menjadi landasan material untuk boom kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat yang kekuatan produksinya utuh karena peperangan terjadi di dataran Eropa dan bukan di dataran Amerika. Dengan Marshall Plan yang disediakan oleh AS, era rekonstruksi Eropa yang hancur lebur karena kebrutalan Perang Dunia Kedua dimulai dan kapitalisme Eropa bangkit dengan megah. Kapitalisme Eropa mampu memberikan konsesi-konsesi kepada buruh dan ini menumpulkan perjuangan kelas. Bilamana buruh selalu bisa mendapatkan konsesi, maka ide reformisme -- ide bahwa kesejahteraan buruh dapat diraih secara perlahan-lahan -- pun menguat.
Tanpa Leon Trotsky, para pemimpin Internasionale Keempat -- James Cannon dan yang lainnya -- tidak mampu menganalisa situasi yang baru ini. Mereka berpegang teguh pada prognosis Trotsky secara dogmatis bahwa revolusi akan berkobar setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, bahwa kapitalisme akan rubuh. Memang banyak revolusi yang terjadi setelah Perang Dunia Kedua berakhir, namun satu per satu mereka dikhianati oleh para pemimpin reformis dan Stalinis. Di Indonesia, kita tahu sendiri bagaimana revolusi Agustus 1945 dijegal oleh kaum sosial demokrat borjuis seperti Hatta dan Syahrir. Kegagalan para pemimpin ini untuk mengorientasikan Internasionale Keempat di situasi yang baru ini akhirnya menyebabkan kehancurannya. Kemampuan untuk bisa mundur secara teratur adalah sama pentingnya dengan kemampuan untuk bisa maju menyerang.
Internasionale Keempat mungkin sudah mati sebagai sebuah organisasi. Namun ide-de revolusioner Leon Trotsky terus hidup. Gerakan Trotskisme secara sejarah adalah satu bagian dari gerakan buruh di sebuah periode yang khusus, yakni periode dimana Marxisme sedang diserbu dari berbagai arah, oleh kaum kapitalis di satu pihak dan oleh kaum birokrat Stalinis dan reformis di pihak lain; periode dimana gerakan buruh sedang diserbu oleh ide-ide asing seperti reformisme, post-modernisme, post-Marxisme, dsbnya. Tugas historis gerakan Trotskisme adalah menjaga redup api Marxisme di tengah badai, sampai suatu saat api ini akan berkobar kembali.