facebooklogocolour

Bagian Keempat: Keteraturan dari Chaos

 

Bab 16. Apakah Matematika Mencerminkan Realitas

“Kenyataan bahwa pemikiran subjektif kita dan dunia objektif tunduk pada hukum-hukum yang sama, dan dengan demikian, juga, bahwa dalam analisa terakhirnya keduanya tidak dapat saling berkontradiksi dalam hasil-hasil mereka, tapi harus bersesuaian, mengatur seluruh pemikiran teoritik kami.” (Engels)

Isi dari “matematika murni” pada akhirnya diturunkan dari dunia material. Ide bahwa kebenaran dalam matematika adalah sejenis pengetahuan yang khusus, yang inheren dalam dirinya sendiri atau merupakan hasil ilham ilahi, tidak layak mendapatkan perhatian yang serius. Matematika menangani hubungan-hubungan kuantitatif dari dunia nyata. Apa yang disebut “aksioma” hanya nampak terbukti dalam dirinya sendiri setelah melalui masa-masa panjang pengamatan dan pengalaman atas realitas. Sayangnya, fakta ini kelihatannya telah dilupakan oleh banyak ahli matematika teoritik jaman sekarang yang menipu diri mereka dengan pemikiran bahwa subjek“murni” mereka sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan dunia material yang kasar di sekeliling mereka. Ini adalah satu contoh yang jelas dari konsekuensi-konsekuensi negatif dari pembagian kerja yang dijalankan ke tingkat ekstrem.

Sejak jaman Pitagoras, klaim-klaim yang paling megah telah dibuat atas nama matematika, yang telah digambarkan sebagai ratu dari segala ilmu pengetahuan, kunci ajaib yang membuka semua pintu ke jagad raya. Setelah melepaskan diri dari dunia fisik, matematika kelihatannya telah terbang melayang ke surga, di mana ia mendapat anugerah untuk berlaku bak dewa, tidak mematuhi aturan apapun kecuali aturannya sendiri. Maka, ahli matematika terkemuka Henri Poincaré, di tahun-tahun pertama abad ke-20, sanggup membuat klaim bahwa hukum-hukum ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan dunia nyata sama sekali, tapi merupakan satu konvensi acak yang ditakdirkan mendorong satu penggambaran yang lebih mudah dan “berguna” atas fenomena yang sedang dibahas. Beberapa fisikawan teoritik tertentu sekarang telah menyatakan dengan terbuka bahwa kesahihan model matematika mereka tidaklah tergantung pada verifikasi empirik, melainkan semata pada kualitas keindahan dari persamaan-persamaannya.

Teori-teori matematika telah, di satu pihak, merupakan sumber kemajuan yang dahsyat dalam sains, dan, di pihak lain, merupakan sumber dari sejumlah besar kesalahan dan kesalahpahaman yang telah, dan masih terus memiliki konsekuensi-konsekuensi negatif yang mendasar. Kesalahan sentralnya adalah upaya untuk mereduksi proses alam yang kompleks, dinamis dan penuh kontradiksi ini menjadi rumus-rumus yang statis, kuantitatif dan teratur. Alam disajikan dalam cara yang formalistik, seperti satu titik berdimensi tunggal, yang kemudian menjadi garis, kemudian menjadi bidang datar, menjadi kubus, menjadi bola, dan seterusnya. Namun, ide bahwa matematika murni adalah pemikiran yang mutlak, tidak dicemari oleh persinggungan dengan benda-benda material, adalah hal yang jauh sekali dari kebenaran. Kita menggunakan sistem desimal, bukan karena deduksi logis atau “kehendak bebas”, tapi karena kita memiliki 10 jari. Kata “digital” datang dari kata Latin untuk jari. Dan sampai hari ini seorang anak sekolah akan dengan diam-diam menghitung jarinya yang material di bawah mejanya yang material, sebelum sampai pada jawaban-jawaban atas soal-soal matematika yang abstrak. Dengan melakukan hal itu, si anak tanpa sadar telah menapak kembali cara yang ditempuh umat manusia ketika baru mulai mengenal hitungan.

Asal-usul material dari abstraksi matematika bukanlah rahasia bagi Aristoteles: “Para ahli matematika,” tulisnya, “menyelidiki abstraksi. Ia mengabaikan segala kualitas yang dapat diraba seperti berat, densitas, suhu, dan lain-lain, dan hanya meninggalkan hal-hal yang kuantitatif dan kontinu (dalam dimensi tunggal, dua atau tiga) dan ciri-cirinya yang hakiki.” Di tempat lain ia menulis: “Objek-objek matematika tidak dapat hadir terpisah dari benda-benda yang dapat diraba (yaitu, material).” Dan “Kita tidak memiliki pengalaman tentang apapun yang terdiri dari garis atau bidang atau titik, seperti yang seharusnya kita miliki jika hal-hal ini adalah zat yang material. Garis, dll., mungkin lebih dahulu dalam definisi daripada benda, tapi mereka tidaklah lebih dahulu dalam keberadaan.”[1]

Perkembangan dari matematika adalah hasil dari kebutuhan manusia yang sungguh material. Manusia-manusia pertama hanya memiliki sepuluh bilangan, persis karena ia menghitung, seperti seorang anak kecil, dengan jarinya. Pengecualian pada orang-orang Maya di Amerika Tengah yang memiliki sistem bilangan berdasarkan duapuluh, mungkin karena mereka menghitung juga jari kaki mereka. Hidup dalam masyarakat berburu-meramu yang bersahaja, tanpa uang atau kepemilikan pribadi, nenek moyang kita tidak memiliki kebutuhan untuk bilangan-bilangan yang lebih besar. Untuk memikirkan bilangan yang lebih besar dari sepuluh, ia menggabungkan beberapa bilangan sepuluhan yang dihubungkan melalui jarinya. Maka, satu lebihnya dari sepuluh dinyatakan sebagai “sepuluh-satu” (undecim, dalam bahasa Latin, atau ein-lifon-- “satu lebihnya”--dalam bahasa Teutonik purba, yang menjadi eleven dalam bahasa Inggris). Semua bilangan lain hanyalah kombinasi dari bilangan sepuluh yang awal, dengan pengecualian lima tambahan lainnya – seratus, seribu, sejuta, semiliar dan setriliun.

Asal-usul sejati bilangan telah dipahami oleh filsuf materialis besar dari Inggris di abad ke-17 Thomas Hobbes: “Dan kelihatannya, ada saat di mana nama-nama bilangan itu tidak digunakan; dan manusia bersusah-payah menerapkan jari-jari dari satu atau kedua tangan, kepada benda-benda yang ingin mereka hitung; dan dari situ mereka maju, bahwa kini kata-kata kita untuk bilangan bukan apa-apa selain sepuluh, di bangsa manapun, dan di beberapa bangsa lain lima, lalu mulai lagi dari awal.”[2]

Alfred Hooper menjelaskan “Hanya karena manusia-manusia primitif menciptakan bilangan yang sama dengan jumlah jari yang dimilikinya, skala bilangan kita sekarang adalah skala desimal, yaitu skala yang didasarkan pada sepuluh, dan terdiri dari pengulangan tak terhingga dari kata-bilangan sepuluh yang pertama.... Jika manusia diberi duabelas jari bukannya sepuluh, tentu kita akan memiliki skala bilangan duodesimalsaat ini, berdasarkan duabelas, terdiri dari pengulangan tak berhingga dari kata bilangan dua belas yang dasar.”[3] Nyatanya, sistem duodesimal memiliki keuntungan dibanding sistem desimal. Sementara sepuluh hanya dapat dibagi genap oleh dua dan lima, duabelas dapat dibagi genap oleh dua, tiga, empat dan enam.

Angka bilangan Romawi adalah gambar yang mewakili jari. Mungkin simbol untuk lima mewakili jarak yang terjadi antara ibu jari dan jari lainnya. Kata “calculus” (dari mana kita menurunkan kata Inggris “calculate”) berarti “kerikil” dalam bahasa Latin, berhubungan dengan metode penghitungan manik batu pada abakus. Ini semua, dan contoh-contoh lain yang tak berhingga banyaknya dapat menggambarkan bagaimana matematika tidaklah muncul dari operasi berpikir manusia yang bebas, tapi merupakan hasil dari sebuah proses berkepanjangan dari evolusi sosial, percobaan dan kegagalan, pengamatan dan eksperimen, yang perlahan-lahan terpisah menjadi satu tubuh pengetahuan yang kelihatannya memiliki sifat yang abstrak. Begitu juga sistem pengukuran kita atas berat dan panjang telah diturunkan dari objek material pula. Asal-usul dari unit panjang Inggris, foot [kaki], tidak perlu dijelaskan lagi, seperti kata yang digunakan bahasa Spanyol untuk inci, “pulgada” yang berarti ibu jari. Asal-usul dari simbol matematika“+” dan “-” tidak memiliki hubungan apapun dengan matematika. Keduanya adalah tanda yang digunakan di Abad Pertengahan oleh para pedagang untuk menghitung kelebihan atau kekurangan jumlah barang di gudang-gudang.

Kebutuhan untuk membangun tempat tinggal untuk melindungi diri sendiri dari berbagai unsur alam memaksa manusia-manusia pertama untuk menemukan cara yang paling baik dan praktis untuk memotong kayu sehingga ujungnya dapat dilekatkan satu sama lain. Ini berarti penemuan sudut siku dan penyiku tukang kayu. Kebutuhan untuk membangun rumah pada tanah yang datar membawa kita pada penemuan alat pengukur kedataran seperti yang digambarkan pada makam-makam Mesir dan Romawi, yang terdiri dari tiga potong kayu yang digabungkan dalam sebuah segitiga sama sisi, dengan seutas tali diikatkan pada puncaknya. Alat yang sederhana dan praktis itu digunakan untuk membangun piramid. Para pendeta Mesir mengumpulkan sejumlah besar pengetahuan matematika yang diturunkan, pada akhirnya, dari aktivitas praktis semacam itu.

Bahkan kata “geometri” mengungkapkan asal-usulnya yang praktis. Ia berarti “pengukuran bumi”, itu saja. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Yunani adalah memberi satu penyataan teoritik yang lengkap terhadap penemuan-penemuan ini. Namun, dengan menyajikan teorema sebagai hasil murni dari deduksi logika, mereka telah membohongi diri sendiri dan generasi-generasi mendatang. Pada akhirnya, matematika diturunkan dari realitas material, dan, sungguh, tidak dapat diterapkan jika bukan demikian halnya. Bahkan teorema Pitagoras yang terkenal itu, yang dikenal oleh semua murid sekolah, bahwa panjang dari sebuah kubus yang digambar pada sisi terpanjang dari sebuah segitiga adalah sama dengan jumlah kubus-kubus yang digambar pada kedua sisi yang lain, telah ditemukan terlebih dahulu lewat praktek oleh orang-orang Mesir.

Kontradiksi dalam Matematika

Engels, dan Hegel sebelum dia, menunjukkan berbagai kontradiksi yang bertumpuk dalam matematika. Kendati klaim dari para ahli matematika tentang kesempurnaan dan kesucian tak bernoda dari “ilmu agung” mereka, matematika selalu penuh dengan kontradiksi. Ini dimulai oleh para pengikut Pitagoras, dengan paham mereka yang mistik tentang Angka, dan keharmonisan jagad raya. Walaupun demikian, mereka dengan cepat menemukan bahwa alam rayamatematika mereka yang harmonis dan teratur dihantui oleh kontradiksi, yang penyelesaian-penyelesaiannya telah membawa mereka ke jurang keputusasaan. Contohnya, mereka menemukan bahwa mustahil bagi kita untuk menyatakan panjang diagonal dari sebuah persegi dalam bentuk bilangan.

Para pengikut Pitagoras yang belakangan menemukan bahwa banyak bilangan, seperti akar kuadrat dari dua, yang tidak dapat dinyatakan dalam bilangan. Ia adalah “bilangan irasional”. Namun, sekalipun akar dua tidak dapat dinyatakan dengan pecahan sekalipun, ia tetap berguna untuk menemukan panjang sisi dari sebuah segitiga. Matematika masa kini mengandung sekawanan besar hewan-hewan aneh itu, yang masih belum terjinakkan, sekalipun selalu diupayakan untuk mendomestifikasi mereka, tapi, jika kita menerima mereka sebagaimana adanya, mereka tetap memberikan kegunaan yang besar bagi kita. Maka kita memiliki bilangan irasional, bilangan transendental[4], bilangan transfinit, yang semuanya menunjukkan fitur-fitur yang aneh dan kontradiktif, dan semuanya tidak dapat diabaikan dalam sains modern.

Pi (p) yang misterius itu telah dikenal baik oleh orang Yunani kuno, dan seluruh generasi anak-anak masa kini yang telah tahu menghubungkan bilangan itu sebagai rasio antara keliling dan diameter dari sebuah lingkaran. Namun, anehnya, nilai tepat dari bilangan ini tidak akan pernah dapat ditemukan. Archimedes menghitung nilai kira-kira dari bilangan ini dengan sebuah metode yang dikenal sebagai “exhaustion”. Nilainya berada antara 3,14085 dan3,14286. Tapi jika kita mencoba menuliskan nilai persisnya, kita akan mendapatkan nilai yang aneh: p = 3,14159265358979323846264338327950... dan seterusnya sampai tak berhingga. Pi, yang dikenal sebagai bilangan transendental, mutlak diperlukan untuk menemukan keliling lingkaran tapi tidak dapat dinyatakan sebagai solusi untuk satu persamaan aljabar. Lalu kita memiliki akar kuadrat dari minus satu, yang bukan merupakan bilangan aritmetika sama sekali. Para ahli matematika merujuknya sebagai “bilangan imajiner”, karena tidak ada bilangan riil yang, jika dikalikan dengan dirinya sendiri, akan menghasilkan minus satu, karena dua bilangan minus akan menghasilkan bilangan plus. Ini adalah satu makhluk yang sangat aneh – tapi sama sekali bukan khayalan belaka, sekalipun ia memanggul nama “imajiner”. Dalam Anti-Dühring, Engels menjelaskan:

“Ada satu kontradiksi bahwa sebuah besaran yang negatif dapat merupakan kuadrat dari bilangan tertentu, karena tiap besaran negatif yang dikalikan dengan dirinya sendiri akan menghasilkan kuadrat yang positif. Akar kuadrat dari minus satu, dengan demikian, bukan hanya sebuah kontradiksi, tapi merupakan kontradiksi yang absurd, absurditas sejati. Namun demikian, akar kuadrat dari -1 dalam banyak kasus merupakan hasil yang niscaya dari sebuah operasi matematika yang tepat. Lebih jauh lagi, bagaimana mungkin matematika – tingkat tinggi atau rendah – bisa ada jika ia tidak diperkenankan bekerja dengan akar minus satu?”[5]

Pernyataan Engels semakin terdengar tepat saat ini. Kombinasi kontradiktif antara plus dan minus memainkan peran yang mutlak krusial dalam mekanika kuantum, di mana ia muncul dalam sejumlah besar persamaan, yang merupakan hal yang fundamental bagi sains modern.

Bahwa matematika melibatkan kontradiksi yang mengejutkan semacam ini bukanlah sesuatu yang dapat diragukan. Inilah yang ditulis Hoffman tentang hal itu:

“Bahwa rumus semacam itu dapat memiliki hubungan dengan dunia eksperimen yang ketat, yakni dunia fisika itu sendiri, adalah hal yang sulit dipercaya. Bahwa ia menjadi landasan yang sangat dalam untuk fisika baru, dan bahwa ia dapat menjelajah jauh lebih mendasar daripada segala sesuatu yang ada sebelumnya menuju inti terdalam dari sains dan metafisika adalah hal yang sama menakjubkannya, seperti pertama kali orang menemukan doktrin bahwa bumi ini bulat.”[6]

Di masa kini, penggunaan bilangan “imajiner” telah dianggap sesuatu yang wajar. Akar kuadrat dari minus satu digunakan untuk serangkaian operasi yang penting, seperti konstruksi sirkuit listrik. Bilangan transfinit, pada gilirannya, digunakan untuk memahami sifat waktu dan ruang. Sains modern, khususnya mekanika kuantum, tidak akan dapat dikerjakan tanpa penggunaan konsep-konsep matematika yang jelas-jelas kontradiktif sifatnya. Paul Dirac, salah satu pendiri mekanika kuantum, menemukan bilangan “Q”, yang melanggar semua aturan matematika normal yang mengatakan bahwa a dikalikan b adalah sama dengan b dikalikan a.

Apakah Infiniti Benar Ada?

Ide tentang ketakberhinggaan atau infiniti sangat sulit dipahami, karena, sekilas hal itu berada di luar pengalaman manusia. Pikiran manusia terbiasa menangani hal-hal yang finit, yang dinyatakan dalam ide-ide yang finit. Segala sesuatu memiliki awal dan akhir. Ini adalah pemikiran yang akrab dengan kita. Tapi apa yang akrab tidak harus selalu benar. Sejarah pemikiran matematika memiliki beberapa pelajaran penting tentang hal ini. Untuk waktu yang lama, para ahli matematika, setidaknya di Eropa, berusaha mengusir konsep infiniti. Alasan mereka untuk melakukan hal ini sangat jelas. Selain adanya kesulitan untuk mengkonsepkan infiniti, dalam makna yang murni matematikainfiniti merupakan satu kontradiksi. Matematika berurusan dengan besaran yang finit. Infiniti, karena sifat dasarnya, tidak akan dapat diukur atau dihitung. Ini berarti bahwa terdapat konflik yang riil di antara keduanya. Untuk alasan ini, para ahli matematika besar dari jaman Yunani kuno menghindariinfiniti seperti sebuah wabah penyakit. Walau demikian, sejak awal filsafat, orang telah berspekulasi tentang infiniti. Anaximander (610-547 SM) mengambil ini sebagai basis dari filsafatnya.

Paradoks Zeno (hidup ± 450 SM) menunjuk adanya kesulitan yang inheren dalam ide kuantitas yang kecil tak berhingga sebagai penyusun besaran kontinu dengan mencoba membuktikan bahwa pergerakan ke arah kecil tak berhingga adalah satu khayalan. Zeno “membuktikan secara terbalik” pergerakan itu dengan cara lain. Ia berargumen bahwa satu benda yang bergerak, sebelum mencapai satu titik tertentu, harus pertama-tama menjalani separuh jarak. Tapi, sebelum ini, ia harus juga telah melampaui setengah dari separuh jarak itu, dan seterusnya sampai tak berhingga. Maka, ketika dua benda bergerak dengan jurusan yang sama, dan yang satu, yang berada pada satu jarak tertentu di belakang yang lain, bergerak lebih cepat dari benda di depannya itu, kita menganggap bahwa ia akan menyalip benda di depannya itu.Tidak demikian, kata Zeno. “Yang lebih lambat tidak akan dapat disalip oleh yang lebih cepat.” Inilah paradoks tentang Achilles si Gesit yang terkenal itu. Bayangkan sebuah lomba lari antara Achilles dengan seekor kura-kura. Jika Achilles dapat berlari sepuluh kali lebih cepat dari kura-kura itu, sedangkan kura-kura itu mendapat keuntungan berada 1000 meter di depan Achilles. Ketika Achilles telah menempuh 1000 meter, kura-kura itu akan berada 100 meter di depannya; ketika Achilles telah menempuh 100 meter itu, kura-kura itu akan berada 1 meter di depannya; ketika Achilles menempuh satu meter itu, kura-kura akan berada sepersepuluh meter di depannya, dan terus demikian sampai tak berhingga.

Paradoks Zeno tidaklah membuktikan bahwa pergerakan adalah sebuah ilusi, atau bahwa Achilles, dalam praktek, tidak akan pernah menyalip seekor kura-kura, tapi paradoks itu mengungkapkan dengan gemilang keterbatasan dari jenis pemikiran yang kini kita kenal sebagai logika formal. Upaya untuk menyingkirkan kontradiksi dari realitas, seperti yang dilakukan Eleatics [mazhab filsafat pra-Socrates, seperti Zeno], niscaya akan membawa kita pada segala macam paradoks yang tak terpecahkan, atau antinomi, seperti yang disebut Kant di kemudian hari. Untuk membuktikan bahwa sebuah garis tidak terdiri dari titik-titik yang jumlahnya infinit, Zeno mengklaim bahwa, jika benar demikian, maka Achilles tidak akan pernah menyalip kura-kura itu. Ada sebuah masalah logika yang nyata di sini. Seperti yang dijelaskan oleh Alfres Hooper:

“Paradoks ini masih membingungkan bahkan bagi mereka yang tahu bahwa kini dimungkinkan untuk menemukan jumlah dari deret bilangan infinit yang membentuk satu progresi geometris dengan rasio umum kurang dari 1, dan yang bergerak secara berurutan semakin lama semakin kecil dan 'berkonvergensi' pada satu nilai batas.”[7]

Nyatanya,Zeno telah mengungkapkan satu kontradiksi dalam pemikiran matematika yang harus menunggu dua ribu tahun untuk diselesaikan. Kontradiksi ini berhubungan dengan penggunaan bilangan infinit. Sejak Pitagoras sampai penemuan kalkulus diferensial dan integral di abad ke-17, para ahli matematika berusaha keras untuk menghindari penggunaan konsep infiniti. Hanya Archimedes, sang jenius besar itu, yang berani mendekati persoalan ini, tapi tetap menghindarinya dengan menggunakan metode memutar. Para penganut teori atom awal, dimulai dari Leukippus, yang mungkin salah satu murid Zeno, menyatakan bahwa atom “tidak dapat dibagi dan tidak berhingga jumlahnya, bergerak tanpa henti dalam ruang hampa, yang luasnya tak berhingga.”

Fisika modern menerima bahwa jumlah saat antara dua detik adalah infinit, seperti jumlah saat dalam satu rentang waktu yang tidak memiliki awal maupun akhir. Jagad ini sendiri terdiri dari rantai sebab-akibat yang tak berhingga, terus-menerus berubah, bergerak dan berkembang. Ini tidak ada kesamaannya dengan paham infiniti yang kasar dan sepihak yang terkandung dalam deret infinit dari aritmetika sederhana, di mana “infinit” selalu “dimulai” dengan bilangan 1! Inilah apa yang oleh Hegel disebut “Bad Infinity” (Infiniti yang buruk).

Ahli matematika Yunani terbesar Archimedes (287-212 SM) menggunakan angka-angka yang tidak bisa dibagi (indivisibles) dalam geometri, tapi ia menganggap ide tentang besar atau kecil tak berhingga sebagai ide yang tidak memiliki landasan logis. Seperti itu pula, Aristoteles berpendapat bahwa, karena satu benda harus memiliki bentuk, ia harus bersifat finit, dan dengan demikian tidak dapat menjadi infinit. Sambil menerima ada dua macam “potensi”infiniti– penambahan berturutan dalam aritmetika (besar tak berhingga), dan pembagian berturutan dalam geometri (kecil tak berhingga) – ia tetap berpolemik melawan para ahli geometri yang berpandangan bahwa satu potong garis terdiri dari titik-titik yang jumlahnya tak berhingga, atau indivisibles.

Penyangkalan terhadap infiniti merupakan halangan bagi perkembangan matematika Yunani klasik. Sebaliknya, para ahli matematika India tidak memiliki kesulitan semacam ini dan menghasilkan perkembangan-perkembangan besar, yang, melalui orang-orang Arab, kemudian memasuki Eropa. Upaya untuk menyingkirkan kontradiksi dari pemikiran, sesuai dengan skema-skema logika formal, menghalangi perkembangan matematika.Tapi jiwa-jiwa petualang dari jaman Renaisans membuka pikiran manusia pada kemungkinan-kemungkinan baru yang, kenyataannya, tak berhingga. Dalam bukunya The New Science (1638), Galileo menunjukkan bahwa tiap integer (bilangan bulat) hanya memiliki satu kuadrat sempurna, dan tiap kuadrat sempurna adalah kuadrat dari hanya satu integer positif. Maka, dalam makna tertentu, terdapatlah sejumlah kuadrat sempurna sebanyak jumlah integer positif. Ini segera membawa kita pada kontradiksi logika. Ia berkontradiksi dengan aksioma bahwa yang keseluruhan selalu lebih besar dari bagian-bagian apa yang menyusunnya, di mana tidak semua integer positif merupakan kuadrat sempurna, dan tidak semua kuadrat sempurna adalah bagian dari integer positif.

Ini hanya salah satu dari sejumlah besar paradoks yang telah menghantui matematika sejak Renaisans ketika orang mulai menempatkan pemikiran-pemikiran dan asumsi-asumsi mereka ke dalam analisis yang kritis. Sebagai hasilnya, perlahan-lahan, dan terus dibayangi oleh perlawanan keras kepala dari kepala-kepala yang konservatif, satu demi satu aksioma-aksioma yang nampaknya tak dapat dipatahkan dan merupakan “kebenaran kekal”matematika mulai tergulingkan. Kita sampai pada titik di mana seluruh bangunan matematikaterbukti tidak kokoh dan membutuhkan rekonstruksi yang menyeluruh di atas landasan yang lebih solid, tapi sekaligus lebih fleksibel, yang sekarang ini sedang diusahakan, yang niscaya akan memiliki karakter yang dialektik.

Kalkulus

Banyak dari apa-yang-disebut aksioma-aksioma dari Yunani klasik kini telah digerogoti oleh penemuan kalkulus diferensial dan integral, terobosan terbesar dalam matematika sejak Abad Pertengahan. Salah satu aksioma dari geometri bahwa garis lurus dan kurva adalah dua hal yang bertentangan mutlak, dan keduanya tidak dapat dibandingkan, yaitu, yang satu tidak dapat dinyatakan dalam bentuk yang lain. Namun, pada analisa terakhir, garis lurus dan kurva dalam kalkulus diferensial dianggap sebagai hal yang sama. Seperti yang ditunjukkan Engels, dasar untuk hal ini telah diletakkan lama sebelum hal itu dikembangkan oleh Leibniz dan Newton: “Titik balik dalam matematika adalah besaran variabel dari Descartes. Bersamanya datanglah gerakdan dengan itu dialektika dalam matematika, dan sekaligus juga, keniscayaan akan munculnya kalkulus integral dan diferensial, yang kemudian dimulai segera, dan yang pada keseluruhannya diselesaikan oleh Newton dan Leibniz, bukannya ditemukan oleh mereka.”[8]

Penemuan kalkulus membuka cakrawala yang sama sekali baru bagi matematika dan sains secara umum. Sekali tabu-tabu dan pantangan-pantangan lama disingkirkan, para ahli matematika dibebaskan untuk menyelidiki wilayah-wilayah yang sama sekali baru. Tapi mereka menggunakan bilangan besar dan kecil tak berhingga secara tidak kritis, tanpa memandang implikasi-implikasi logis dan konseptual mereka. Penggunaan kuantitas yang besar dan kecil tak berhingga dianggap sebagai semacam “fiksi yang berguna”, yang, untuk beberapa alasan yang sama sekali tidak jelas, selalu memberikan hasil yang benar. Dalam bagian Quantity dalam jilid pertama The Science of Logic, Hegel menunjukkan bahwa, walaupun dimasukkannya bilangan infinit dalam matematika membuka cakrawala baru bagi matematika, dan membawa pada hasil-hasil yang penting, bilangan-bilangan itu tetap tidak terjelaskan, karena mereka tetap berbenturan dengan tradisi dan metode yang ada:

“Tapi dalam metode infinit, matematikamenemukan sebuah kontradiksi yang radikal darimetode tersebut yang merupakan cirinya sendiri, dan yang merupakan sandarannya selaku sebuah ilmu. Karena penghitungan bilangan infinit merupakan, dan menuntut, mode-mode prosedur yang harus ditolak sepenuhnya oleh matematika ketika ia bekerja dengan besaran infinit, dan pada saat yang sama ia memperlakukan besaran infinit ini sebagai Quanta yang finit, berusaha menerapkan pada bilangan infinit itu metode-metode yang valid untuk bilangan finit.”[9]

Akibatnya adalah sebuah periode kontroversi yang lama tentang kesahihan kalkulus. George Berkeley mengecam kalkulus sebagai sebuah kontradiksi terbuka terhadap hukum-hukum logika. Newton, yang menggunakan metode baru itu di dalam bukunya Principia, merasa terpaksa menyembunyikan fakta itu dari publik, karena takut akan reaksi buruk terhadap metodenya. Di awal abad ke-18, Bernard Fontenelle akhirnya mendapat keberanian untuk menyatakan secara kategoris bahwa sebagaimana halnya terdapat sejumlah tak berhingga dari bilangan natural, maka satu bilangan infinithadir senyata bilangan finit, dan bahwa kebalikan dari besar tak berhingga adalah kecil tak berhingga (infinitesimal). Namun, ia ditentang oleh Georges de Buffon (1707-1788), yang menolak infinit karena dianggapnya sebagai khayalan belaka. Bahkan kejeniusan D'Alambert (1717-1783) tidak dapat membantunya memahami dan menerima ide ini. Dalam artikel yang termuat dalam bukunya Encyclopaedia tentang Diferensial, ia menyangkal adanya infiniti, kecuali dalam makna negatif sebagai limit dari satu kuantitas finit.

Konsep “limit” pada nyatanya dimasukkan sebagai satu upaya untuk mengatasi kontradiksi yang inheren dalam infiniti. Hal ini khususnya populer di abad ke-19, ketika para ahli matematika tidak lagi mau sekedar menerima kalkulus tanpa berpikir lagi, seperti yang dengan senang hati dilakukan oleh generasi sebelumnya. Kalkulus diferensial mempostulatkan keberadaan besaran yang kecil tak berhingga dengan tingkatan yang bermacam-macam – turunan pertama, turunan kedua dan seterusnya sampai tak berhingga. Dengan memasukkan konsep “limit” mereka setidaknya menciptakan satu tampilan bahwa infiniti yang sesungguhnya tidak terlibat di sini. Tujuannya adalah untuk membuat ide tentang infiniti menjadi subjektif, untuk menyangkal objektivitasnya. Variabel-variabel dikatakan secara potensial kecil tak berhingga, di mana mereka lebih kecil dari bilangan tertentu, dan juga secara potensial besar tak berhingga, di mana mereka lebih besar dari bilangan tertentu. Dengan kata lain, “sebesar atau sekecil yang Anda mau!” Trik ini tidaklah menghilangkan kesulitannya, tapi hanya menyediakan daun pohon ara untuk menutupi kontradiksi logis yang terlibat dalam perhitungan kalkulus.

Ahli matematika besar Jerman, Karl Frederick Gauss (1777-1855), bersedia menerima matematika infinit, namun ia menyatakan kengeriannya pada ide tentang infiniti yang riil. Namun, rekan sezamannya Bernhard Bolzano, berangkat dari paradoks Galileo, telah memulai satu telaah serius tentang paradoks yang implisit dalam ide tentang “infiniti yang terselesaikan”. Karya ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Richard Dedekind (1813-1914) yang mencirikan bilangan infinit sebagai sesuatu yang positif, dan menunjukkan bahwa, pada kenyataannya, himpunan bilangan positif dapat dianggap sebagai negatif (yaitu, sebagai suatu himpunan yang bukan infinit). Akhirnya, George Cantor (1845-1918) berjalan jauh dari definisi himpunan tak berhingga dan mengembangkan satu aritmetika yang sama sekali baru yang disebut “bilangan transfinit”. Karya-karya Cantor, yang dimulai di tahun 1870, adalah sebuah ulasan tentang seluruh sejarah bilangan infinit, dimulai dari Democritus (460 SM - 370 SM). Dari sini, dikembangkanlah satu cabang yang sama sekali baru dalam matematika, yang didasarkan atas teori himpunan.

Cantor menunjukkan bahwa titik-titik dalam satu area, seberapapun besarnya, atau dalam sebuah volume atau sebuah kontinuum yang berdimensi lebih besar lagi, dapat selalu dipadankan dengan titik-titik dalam sepotong garis, tidak peduli berapa kecilnya garis itu. Sebagaimana halnya mustahil ada satu bilangan finit yang terakhir, demikian pula mustahil ada satu bilangan transfinit terakhir. Maka, setelah Cantor, tidak ada lagi argumen mengenai posisi sentral dari bilangan infinit dalam matematika. Lebih jauh lagi, karyanya mengungkapkan serangkaian paradoks yang telah menghantui matematika modern, dan yang masih harus dipecahkan.

Semua analisis ilmiah modern bersandar pada konsep kontinuitas, yakni bahwa di antara dua titik di dalam ruang terdapat titik-titik yang lain yang jumlahnya infinit, dan juga bahwa, antara dua titik dalam waktu terdapat momen-momen lain yang jumlahnya infinit. Tanpa membuat asumsi-asumsi ini, matematika modern tidak dapat berfungsi. Namun konsep yang kontradiktif macam ini pastilah akan ditolak dengan jijik, setidaknya dipandang dengan curiga, oleh generasi terdahulu. Hanya kejeniusan dialektik Hegel (yang juga seorang ahli matematika besar) yang sanggup mengantisipasi semua ini dalam analisisnya tentang yang berhingga dan yang tak berhingga, ruang, waktu dan gerak.

Namun, sekalipun bukti-bukti ini bertumpuk, banyak ahli matematika modern masih bersikeras menyangkal objektivitas ketakberhinggaan, walaupun mereka menerima kesahihannya sebagai sebuah fenomenamatematika“murni”. Pembagian semacam itu sama sekali tidak masuk akal. Karena kalau matematika tidak mencerminkan apa yang ada di dunia objektif, riil, apa lagi gunanya matematika itu? Ada satu kecenderungan tertentu dalam matematika modern (dan, melalui perluasan, menakjubkan, juga dalam fisika teoritik) untuk kembali bersandar pada idealisme dalam bentuknya yang paling mistis, menyatakan bahwa kesahihan satu persamaan adalah murni persoalan nilai estetik, tanpa rujukan apapun pada dunia material.

Fakta bahwa operasi matematika dapat diterapkan pada dunia nyata, dan mendapatkan hasil yang bermakna menunjukkan bahwa terdapat satu afinitas antara keduanya. Kalau tidak demikian, matematika tidak akan memiliki kegunaan praktis, padahal jelas matematika itu berguna. Alasan mengapa infiniti dapat digunakan, dan harus digunakan, dalam matematika modern adalah karena ia berhubungan dengan keberadaan infiniti dalam alam itu sendiri, yang telah menyeruak ke dalam matematika, seperti tamu tak diundang, sekalipun terdapat segala macam upaya untuk memalang pintu agar ia tak dapat masuk.

Alasan mengapa para ahli matematika membutuhkan waktu yang demikian lama untuk menerima ketakberhinggaan dijelaskan dengan sangat baik oleh Engels:

“Jelaslah bahwa sebuah infiniti yang memiliki sebuah akhir tanpa sebuah awal bukanlah infiniti seperti halnya infiniti dengan sebuah awal tapi tanpa akhir. Pemahaman yang sedikit-dikitnya tentang dialektika seharusnya sudah membuat Herr Dühring paham bahwa awal dan akhir adalah dua hal yang sama, seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan, dan bahwa jika ujung akhir dihilangkan, yang awal akan menjadi yang akhir – satu-satunya akhir yang dimiliki oleh deret itu; dan sebaliknya. Seluruh penipuan ini akan nampak mustahil kecuali untuk penggunaan matematika ketika bekerja dengan deret angka infinit. Karena dalam matematika sangat perlu untuk mulai dari titik tertentu, yang finit, untuk sampai kepada infiniti, semua deret matematika, positif atau negatif, harus mulai dengan bilangan 1, atau deret itu tidak dapat digunakan untuk perhitungan. Tapi kebutuhan logis dari para ahli matematika ini sama sekali bukan hukum wajib bagi dunia nyata.”[10]

Krisis Matematika

Sejak kita duduk di bangku sekolah kita diajari untuk menghormati matematika, dengan “aksioma-aksioma” yang tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya dan deduksi-deduksi logisnya sebagai kuasa tertinggi dalam keakuratan ilmiah. Di tahun 1900, semua ini dianggap pasti, sekalipun dalam Kongres Internasional para ahli matematika yang diadakan tahun itu, David Hilbert mengajukan satu daftar yang berisi 23 masalah matematika yang paling penting, yang belum terselesaikan. Sejak saat itu, segala sesuatunya telah menjadi semakin rumit, sampai titik di mana dimungkinkan bagi kita untuk berbicara tentang sebuah krisis riil dalam matematika teoritik. Dalam bukunya yang banyak dibaca orang, Mathematics: The Loss of Certainty, yang diterbitkan di tahun 1980, Morris Klein menggambarkan situasinya sebagai berikut:

“Kreasi-kreasi dari awal abad ke-19, geometri-geometri yang aneh dan aljabar-aljabar yang aneh, telah memaksa para ahli matematika, walau mereka ogah-ogahan dan penuh gerutu, untuk menyadari bahwa matematika dan hukum-hukumnya bukanlah kebenaran. Mereka menemukan, contohnya, bahwa beberapa geometri yang berbeda dapat bersesuaian dengan pengalaman spasial dengan sama baiknya. Tidak mungkin semuanya adalah kebenaran. Kelihatannya disain matematika bukanlah sesuatu yang inheren di alam, atau jika memang demikian, matematika yang dibuat manusia tidak harus menjadi penjabaran dari disain itu. Kunci pada realitas telah hilang. Menyadari hal ini adalah bencana pertama yang menimpa matematika.

“Penciptaan geometri-geometri dan aljabar-aljabar baru ini menyebabkan para ahli matematika mengalami kejutan yang berbeda sifatnya. Keyakinan bahwa mereka menggenggam kebenaran telah merasuki diri mereka sedemikian rupa sehingga mereka dengan tergesa-gesa telah mengunci hal-hal yang nampak sebagai kebenaran ini sekalipun tidak memiliki penalaran yang cukup kokoh. Kesadaran bahwa matematika bukanlah wujud dari kebenaran mengguncang keyakinan mereka terhadap apa yang telah mereka hasilkan, dan mereka segera memeriksa kembali ciptaan-ciptaan mereka. Mereka kecewa setelah menemukan bahwa logika matematika ternyata berada dalam keadaan yang menyedihkan.”

Pada awal abad ke-20, mereka berangkat untuk mencoba menyelesaikan masalah-masalah yang belum terselesaikan, menyingkirkan kontradiksi-kontradiksi, dan mengembangkan sistem matematika baru yang tidak akan bisa keliru. Seperti yang dijelaskan Klein:

“Sampai tahun 1900 para ahli matematika percaya bahwa mereka telah mencapai tujuan mereka. Sekalipun mereka harus puas dengan matematika sebagai aproksimasi alam, dan banyak yang bahkan telah menanggalkan kepercayaan pada disain alam yang matematika, mereka masih juga menepuk dada atas rekonstruksi struktur logika matematika mereka. Tapi sebelum mereka selesai saling mengucapkan selamat atas keberhasilan mereka, kontradiksi-kontradiksi ditemukan pada matematika baru hasil rekonstruksi itu. Umumnya kontradiksi ini dinyatakan sebagai paradoks, satu eufemismeuntuk menghindari berhadapan dengan fakta bahwa kontradiksi ini telah mencemari logika matematika.

“Usaha untuk menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi itu dilakukan seketika itu juga oleh para ahli matematikadan para filsuf terkemuka pada masa itu. Empat pendekatan matematika yang berbeda dilahirkan, masing-masing mendapat banyak pengikut. Aliran-aliran mendasar ini semua berupaya tidak hanya untuk menyelesaikan kontradiksi yang dikenal tapi juga memastikan bahwa tidak ada kontradiksi baru yang akan muncul, yaitu, untuk menegakkan konsistensi dari matematika. Isu-isu lain muncul dalam upaya-upaya ini. Mazhab-mazhab ini, yang mengambil posisi yang berbeda-beda, memperdebatkan kesahihan dari beberapa aksioma dan beberapa prinsip logika deduktif.”

Upaya untuk menyingkirkan kontradiksi dari matematika hanya membawa kontradiksi-kontradiksi lain yang baru dan tak terpecahkan. Dunia matematika menerima pukulan terakhirnya di tahun 1930, ketika Kurt Gödel menerbitkan teoremanya yang terkenal, yang memprovokasi sebuah krisis, bahkan mempertanyakan metode dasar dari matematika klasik:

“Bahkan sampai 1930 seorang ahli matematika mungkin puas dengan menerima salah satu dari beberapa fondasi matematika dan menyatakan bahwa bukti-bukti matematikanya setidaknya bersesuaian dengan prinsip-prinsip dari aliran itu. Tapi bencana datang lagi dalam bentuk artikel ternama dari Kurt Gödel di mana ia membuktikan, di antara hasil-hasil lain yang penting dan mengguncangkan, bahwa prinsip logika yang diterima oleh beberapa aliran tidak dapat membuktikan konsistensi matematika. Ini, ditunjukkan oleh Gödel, tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan prinsip logika yang demikian meragukan sehingga kita dapat mempertanyakan seluruh hasilnya. Teorema-teorema Gödel menyebabkan sebuah bencana. Perkembangan selanjutnya justru membawa komplikasi lebih jauh. Contohnya, bahkan metode aksiomatik-deduktif yang dihargai sangat tinggi di masa lalu sebagai satu-satunya pendekatan terhadap pengetahuan eksakta kini dilihat sebagai penuh cacat. Dampak dari perkembangan-perkembangan terbaru ini adalah menambah keberagaman pendekatan-pendekatan matematika dan memecah belah para ahli matematika ke dalam jumlah faksi yang lebih besar daripada sebelumnya.”[11]

Kebuntuan dari matematika telah menghasilkan sejumlah faksi dan mazhab yang berbeda, yang satu tidak mau menerima teori yang lain. Ada kaum Platonis (ya, betul, Platonis), yang menganggap matematika sebagai kebenaran mutlak (“Tuhan adalah seorang ahli matematika”). Ada kaum Konseptualis, yang konsepsinya tentang matematika sepenuhnya berbeda dari kaum Platonis, tapi sebenarnya ini hanya perbedaan antara idealisme subjektif dan idealisme objektif. Mereka melihat matematika sebagai serangkaian struktur, pola dan simetri yang telah diciptakan orang untuk kepentingan mereka sendiri – dengan kata lain, matematika tidak memiliki basis objektif, tapi murni hasil dari pikiran manusia! Teori ini nampaknya populer di Inggris.

Lalu kita memiliki aliran Formalis, yang dibentuk di awal abad ke-20, dengan tujuan spesifik untuk menyingkirkan kontradiksi dari matematika. David Hilbert, salah satu pendiri aliran ini, melihat matematika sebagai sekedar sebuah rekayasa simbol menurut aturan-aturan tertentu untuk menghasilkan sebuah sistem pernyataan tautologi, yang memiliki konsistensi internal, tapi tanpa makna sama sekali. Di sini matematika direduksi menjadi sebuah permainan intelektual, seperti catur – lagi-lagi sebuah pendekatan yang sepenuhnya subjektif. Aliran Intuisionisjuga sama gigihnya dalam keinginannya untuk memisahkan matematika dari realitas objektif. Sebuah rumus matematika, menurut orang-orang ini, tidak seharusnya menyatakan apapun yang hadir independen dari tindakan perhitungan itu sendiri. Ini telah dibandingkan dengan upaya Bohr untuk menggunakan penemuan-penemuan mekanika kuantum untuk memasukkan pandangan bahwa kuantitas fisik dan matematika adalah tercerai dari realitas objektifnya.

Semua aliran ini memiliki satu hal yang sama, yakni pendekatan yang sepenuhnya idealis terhadap matematika. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa para neo-Platonis adalah idealis objektif, yang berpikir bahwa matematika berasal dari pikiran Tuhan, dan yang lainnya – intuisionis, formalis dan konseptualis – percaya bahwa matematika adalah ciptaan subjektif dari pikiran manusia, yang sama sekali tidak memiliki signifikansi objektif. Inilah pemandangan menyedihkan yang disajikan oleh aliran-aliran utama matematika pada dasawarsa terakhir dari abad ke-20. Tapi ini bukan akhir dari kisah ini.

Chaos dan Kompleksitas

Di tahun-tahun terakhir, keterbatasan dari model-model matematika untuk mengekspresikan proses-proses alam yang riil telah menjadi subjek diskusi yang intensif. Persamaan diferensial, misalnya, mengekspresikan realitas sebagai sebuah kontinuum, di mana perubahan dalam ruang dan waktu terjadi secara mulus dan tanpa terputus. Tidak ada ruang di sini bagi patahan-patahan mendadak dan perubahan kualitatif. Namun di alam nyata justru ada patahan-patahan mendadak dan perubahan kualitatif. Penemuan kalkulus diferensial dan integral di abad ke-18 merupakan satu kemajuan besar. Tapi model matematika yang paling maju sekalipun hanyalah merupakan sebuah aproksimasi kasar terhadap realitas, yang hanya sahih dalam batas-batas tertentu. Perdebatan baru-baru ini tentang chaos dan anti-chaos telah berpusat pada wilayah-wilayah yang melibatkan patahan-patahan dalam kontinuitas, perubahan-perubahan“chaotic” yang mendadak yang tidak dapat digambarkan oleh rumus-rumus matematika klasik secara memadai.

Perbedaan antara keteraturan dan chaos berkaitan dengan hubungan yang linear dan yang non-linear. Hubungan yang linear adalah hubungan yang mudah digambarkan secara matematika: ia dapat dinyatakan dalam satu atau lain bentuk sebagai garis lurus dalam sebuah grafik. Matematikanya mungkin kompleks, tapi jawabannya dapat dihitung dan dapat diprediksi. Hubungan yang non-linear, adalah hubungan yang tidak dapat dengan mudah diselesaikan secara matematika. Tidak ada garis lurus yang dapat menggambarkannya. Hubungan non-linear dalam sejarahnya memang sulit atau bahkan mustahil diselesaikan dan mereka sering diabaikan begitu saja sebagai kesalahan eksperimental. Merujuk pada eksperimen yang terkenal dengan pendulum, James Gleick menulis bahwa keteraturan yang dilihat oleh Galileo hanyalah satu aproksimasi. Perubahan sudut dari pergerakan benda yang berayun menghasilkan satu non-linearitas kecil dalam persamaannya. Pada amplitudo kecil, kesalahan ini hampir-hampir tidak kelihatan. Tapi ia ada di sana. Untuk mendapatkan hasil yang mulus, Galileo harus mengabaikan non-linearitas yang ia ketahui terdiri dari gesekan dan resistensi udara.

Kebanyakan mekanika klasik dibangun seputar hubungan-hubungan linear yang diabstraksi dari kehidupan riil sebagai hukum-hukum ilmiah. Karena dunia riil diatur oleh hubungan-hubungan yang non-linear, hukum-hukum ini sering kali tidak lebih dari sekedar aproksimasi yang terus dikembangkan melalui penemuan hukum-hukum “baru”. Hukum-hukum ini adalah model-model matematika, konstruksi-konstruksi teoritik, yang satu-satunya pembenarannya terletak pada pemahaman yang mereka berikan dan kegunaan mereka dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dalam 20 tahun terakhir revolusi dalam teknologi komputer telah mengubah situasi dengan memungkinkan pengerjaan matematika non-linear. Karena alasan inilah kini telah dimungkinkan, di beberapa fakultas dan lembaga riset yang terpisah, bagi para ahli matematika dan ilmuwan lain untuk menghitung sistem “chaotic” yang tidak dapat dihitung di masa lalu.

Buku Gleick, Chaos, Making a New Science, menggambarkan bagaimana sistem yang chaotic dapat diperiksa oleh peneliti yang berbeda dengan menggunakan model matematika yang berbeda-beda, dan meskipun demikian semua telaah menunjuk pada kesimpulan yang sama: bahwa ada “keteraturan” di dalam apa yang semula dianggap sebagai “kekacauan” murni. Kisah ini dimulai dengan telaah atas pola cuaca, dalam sebuah simulasi komputer, oleh seorang ahli meteorologi Amerika, Edward Lorenz. Dengan menggunakan pertama-tama duabelas, selanjutnya hanya tiga variabel dalam hubungan yang non-linear, Lorenz sanggup menghasilkan dalam komputernya satu deret kondisi yang kontinu, yang terus-menerus berubah, tapi secara eksplisit tidak pernah mengulang kondisi yang sama dua kali. Dengan menggunakan matematika yang sederhana, ia telah menciptakan “chaos”.

Dimulai dengan parameter apapun yang dipilih Lorenz sendiri, komputernya akan secara mekanik mengulangi kalkulasi yang sama berulang kali, namun tidak akan pernah menghasilkan hasil yang sama. “Aperiodicity” ini (yaitu, ketiadaan siklus-siklus yang teratur) adalah ciri dari semua sistem chaos. Pada saat bersamaan, Lorenz mencatat bahwa sekalipun hasilnya selalu berbeda, setidaknya di situ ada satu “pola” yang seringkali muncul: kondisi yang mirip dengan apa yang diamati sebelumnya, sekalipun keduanya tidak pernah persis sama. Hal ini bersesuaian, tentu saja, dengan pengalaman setiap orang dengan cuaca yang riil, dan bukannya cuaca dari simulasi komputer: ada “pola”, tapi tidak ada dua hari atau dua minggu yang persis sama satu dengan lainnya.

Ilmuwan-ilmuwan lain juga telah menemukan “pola” dalam sistem-sistem yang nampaknya kacau atau chaos, dari telaah atas orbit galaksi sampai model matematika osilator elektronik. Dalam kasus-kasus ini dan lainnya, catat Gleick, terdapat “petunjuk akan adanya struktur di tengah apa yang kelihatannya merupakan perilaku yang acak.” Semakin jelas bahwa sistem chaos tidak harus merupakan sistem yang tidak stabil, atau dapat bertahan dalam waktu yang tidak berbatas. Apa yang dikenal sebagai “bintik merah” yang terlihat di permukaan Yupiter adalah satu contoh dari sistem yang chaos yang kontinu dan stabil. Lebih jauh lagi, bintik merah itu telah disimulasikan dalam telaah komputer dan model laboratorium. Maka, “sebuah sistem kompleks dapat melahirkan turbulensi dan kohesi pada saat yang bersamaan.” Sementara itu, ilmuwan-ilmuwan lainnya telah menggunakan model matematika yang berbeda untuk menelaah gejala yang sama kacaunya di dalam bidang biologi. Salah satu ilmuwan ini melakukan telaah matematika tentang perubahan populasi di bawah berbagai kondisi yang berbeda. Variabel-variabel standar yang dikenal baik oleh para ahli biologi digunakan dengan beberaparelasi yang dikomputasikan sebagai, seperti halnya di alam, non-linear. Non-linearitas ini dapat bersesuaian, misalnya, dengansebuah karakter unik dari spesies, yang dapat didefinisikan sebagai satu kecenderungan untuk berkembang biak, “kemampuan untuk bertahan hidup”.

Hasil dari penelitian ini dinyatakan dalam sebuah grafik, di mana axis horizontal menyatakan besar populasi dan axis vertikal menyatakan komponen-komponen non-linear. Ditemukan bahwa semakin non-linearitas dipentingkan -- dengan meningkatkan parameter tersebut -- maka nilai populasi akan bergerak melalui beberapa tahap yang berbeda. Di bawah satu tingkatan tertentu, populasi tidak dapat dipertahankan dan, di manapun titik awalnya, kepunahan adalah keniscayaan. Garis pada grafik ini datar saja pada level populasi nol.

Tahap berikutnya adalah tahap steady state (keadaan tetap), digambarkan secara grafis sebagai sebuah garis kurva yang naik. Ini setara dengan populasi yang stabil, pada satu tingkat yang tergantung pada kondisi-kondisi awalnya. Dalam tahap berikutnya terdapat dua populasi yang berbeda tapi tetap, dua keadaan tetap. Hal ini diperlihatkan sebagai percabangan dalam grafik, atau satu “bifurcation”. Ini setara dengan periode osilasi atau naik-turun dalam populasi, dalam siklus dua tahunan. Ketika tingkatan non-linearitas dinaikkan lagi, terdapat peningkatan tajam dalam bifurcation, pertama pada kondisi yang bersesuaian dengan empat keadaan tetap (berarti siklus reguler empat tahunan), dan dengan cepat jumlah cabang bertambah menjadi 8, 16, 32 dan seterusnya.

Maka, di dalam satu rentang nilai-nilai yang pendek dari parameter non-linear, berkembanglah satu situasi yang, untuk keperluan-keperluan praktis, dapat dianggap tidak memiliki keadaan tetap atau memiliki periodisitas yang dapat dikenali -- populasi ini telah menjadi “chaos”. Telah ditemukan juga bahwa jika non-linearitas ditingkatkan lebih jauh sepanjang tahap “chaos”, akan terjadi masa-masa di mana keadaan tetap nampaknya kembali, berdasarkan siklus 3 atau 7 tahun, tapi pada tiap kasus langsung menghilang lagi sejalan dengan peningkatan non-linearitas, menjadi percabangan lebih lanjut mewakili siklus 6, 12 dan 24 tahun pada kasus pertama, atau 14, 28 dan 56 tahun pada kasus kedua. Maka, dengan presisi matematika, dimungkinkan untuk membuat model atas sebuah perubahan dari stabilitas dengan sebuah keadaan tetap yang tunggal atau perilaku periodik yang reguler, ke satu keadaan yang acak atau aperiodik.

Ini mungkin adalah satu jawaban untuk perdebatan di dalam bidang ilmu populasi antara para teoretikus yang percaya bahwa variasi populasi yang acak adalah sebuah penyimpangan dari “norma-norma keadaan tetap” dan para teoretikus lain yang percaya bahwa keadaan tetap adalah penyimpangan dari “keadaan chaos”. Interpretasi yang berbeda ini mungkin lahir karena periset yang berbeda pada dasarnya telah “mengiris” satu bagian vertikal dari grafik itu, yang bersesuaian dengan hanya satu nilai non-linearitas tertentu. Maka, populasi dari sebuah spesies dapat menunjukkan norma keadaan tetap atau norma periodik yang naik turun, sementara spesies yang lain menunjukkan keragaman yang acak. Perkembangan dalam bidang biologi ini adalah indikasi lain, seperti yang dijelaskan oleh Gleick, bahwa “chaos adalah stabil, terstruktur.” Hasil-hasil yang serupa telah pula ditemukan dalam berbagai fenomena yang berbeda. “Chaos yang deterministik ditemukan dalam catatan-catatan tentang epidemi cacar yang terjadi di New York dan dalam fluktuasi yang terjadi selama 200 tahun dalam populasi lynx [kucing gunung] Kanada, seperti yang tercatat oleh para pemburu di Hudson's Bay Company.” Dalam setiap kasus proses chaos ini, telah ditunjukkan adanya satu “penggandaan periode” yang merupakan satu ciri dari model matematika ini.

Fraktal Mandelbrot

Salah satu pelopor lain dari teori chaos, Benoit Mandelbrot (1924-2010), seorang ahli matematika dari IBM, menggunakan teknik matematika yang lain lagi. Dalam kapasitasnya sebagai seorang periset IBM, ia mencari -- dan menemukan --“pola” dalam berbagai proses “acak” alamiah. Ia menemukan, misalnya, bahwa suara gemericik [“noise”] yang selalu terdengar dalam transmisi telepon mengikuti sebuah pola yang sepenuhnya tidak dapat diramalkan, atau chaos, tapi jelas dapat didefinisikan dengan baik secara matematika. Dengan menggunakan komputer di IBM, Mandelbrot sanggup menghasilkan sistem chaos secara grafik, bahkan dengan menggunakan formula-formula matematika yang paling sederhana. Gambar-gambar ini, yang dikenal sebagai “himpunan Mandelbrot”, menunjukkan satu kompleksitas yang tak berhingga, dan ketika gambar komputer ini diperbesar untuk mendapatkan detil yang lebih terperinci, keberagaman yang besar dan nampaknya tak berbatas itu terus ditemui.

Himpunan Mandelbrot telah dipaparkan sebagai objek atau model matematika yang mungkin paling kompleks yang pernah dilihat orang. Namun, di dalam arsitektur ini ada pola. Dengan terus-menerus “memperbesar” skala dan mencari detil yang semakin lama semakin halus (sesuatu yang dapat dilakukan tanpa batas oleh komputer karena seluruh struktur itu didasarkan pada satu himpunan formula matematika tertentu) dapat dilihat bahwa ada pengulangan teratur -- kemiripan-kemiripan -- pada skala yang berbeda-beda. “Tingkat iregularitas atau ketidakberaturan” sama pada skala yang berbeda-beda. Mandelbrot menggunakan istilah “fraktal” untuk menggambarkan pola yang terlihat di dalam ketidakberaturan itu. Ia sanggup membangun berbagai bentuk fraktal, dengan sedikit mengubah aturan matematikanya. Maka ia sanggup menghasilkan satu simulasi komputer garis pantai yang, pada tiap skala (yaitu, pada perbesaran berapapun), selalu menunjukkan tingkatan “ketidakberaturan” yang sama, atau “crinkliness”.

Mandelbrot membandingkan sistem-sistem fraktal yang dihasilkan komputernyadengan berbagai contoh geometri yang juga merupakan bentuk-bentuk fraktal, yang mengulang pola yang sama lagi dan lagi dalam berbagai skala. Misalnya Spons Menger, yang luas permukaan di dalamnya mendekati infinit, sementara volume padatnya mendekati nol. Di sini, kelihatannya tingkat ketakberaturan bersesuaian dengan “efisiensi” spons itu dalam mengisi ruang. Ini mungkin bukan hal yang terlalu aneh seperti kelihatannya karena, seperti yang ditunjukkan Mandelbrot, terdapat banyak contoh geometri fraktal di alam. Pencabangan pipa udara menjadi dua bronchioledan pengulangan percabangan itu sampai tingkat saluran udara yang sangat kecil di dalam paru-paru, mengikuti sebuah pola fraktal. Dengan cara yang sama dapat pula ditunjukkan bahwa pencabangan urat darah adalah fraktal. Dengan kata lain, ada satu “kemiripan-diri”, satu pola pencabangan geometrik berulang, pada skala apapun pengamatan itu dilakukan.

Contoh-contoh geometri fraktal di alam hampir-hampir tidak berbatas dan dalam bukunya, The Fractal Geometry, Mandelbrot berusaha menunjukkan hal itu. Telah ditemukan bahwa spektrum waktu detak jantung normal mengikuti hukum fraktal, mungkin disebabkan oleh pengaturan fraktal dari urat-urat syaraf dalam otot jantung. Hal yang sama terjadi pula pada kedipan mata cepat tanpa sadar yang menjadi salah satu ciri skizofrenia. Maka, matematika fraktal kini digunakan secara rutin dalam berbagai ragam bidang ilmiah, termasuk fisiologi dan berbagai disiplin yang sangat berbeda, seperti telaah tentang gempa bumi atau metalurgi.

Namun, indikasi-indikasi lain tentang basis chaos yang deterministik telah ditunjukkan dalam telaah-telaah tentang peralihan fase dan dengan penggunaan apa yang disebut oleh para pembuat model matematika sebagai “penarik” [“attractor”]. Ada banyak contoh dari peralihan fase ini, seperti perubahan dari aliran mulus “laminar”ke aliran yang turbulen, transisi dari padat ke cair ke gas, atau perubahan dari konduktivitas ke “superkonduktivitas”. Peralihan fase ini mungkin memiliki konsekuensi yang krusial dalam disain dan konstruksi teknologi. Sebuah pesawat, misalnya, akan kehilangan daya angkat jika aliran udara laminar pada sayap menjadi turbulen; sebagaimana pula tekanan yang dibutuhkan untuk memompa air akan tergantung apakah aliran air dalam pipa turbulen atau tidak.

Penggunaan diagram-diagram skala-fase dan attractor merupakan satu lagi instrumen matematika yang telah menemukan berbagai jenis penerapan dalam sistem yang nampaknya acak ini. Seperti dalam kasus telaah chaos yang lain, telah ditemukan pula berbagai bentuk pola umum, dalam hal ini “attractor aneh” dalam beragam program riset, termasuk osilasi listrik, dinamika fluida dan bahkan distribusi bintang-bintang dalam cluster-cluster globular. Semua jenis instrumen matematika ini -- penggandaan periode; geometri fraktal; attractor aneh -- dikembangkan dalam waktu yang berbeda-beda oleh ilmuwan-ilmuwan yang berbeda-beda pula untuk menyelidiki dinamika chaos. Tapi semua hasilnya menunjuk pada arah yang sama: bahwa ada satu keteraturan matematika yang mendasar dalam apa yang sampai saat ini selalu dianggap sebagai acak.

Seorang ahli matematika, Mitchell Feigenbaum, dengan menarik semua benang yang ada, telah mengembangkan apa yang disebutnya “teori universal” chaos. Seperti yang dikatakan Gleick, “ia percaya bahwa teorinya menyatakan sebuah hukum alam yang berlaku pada sistem yang berada persis pada keadaan di antara keteraturan dan turbulensi ... universalitasnya bukan hanya kualitatif, tetapi juga kuantitatif ... ia diperluas bukan hanya pada pola-polatetapi juga pada bilangan-bilangan eksak.”

Kaum Marxis akan melihat di sini satu kemiripan dengan hukum dialektika yang dikenal sebagai peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Ide ini menggambarkan peralihan antara satu periode perkembangan yang kurang lebih bertahap, ketika perubahan dapat diukur atau “dikuantifikasi”, dan periode berikutnya, di mana perubahan telah terjadi dengan begitu“revolusioner”, di mana ada “lompatan”, bahwa seluruh “kualitas” dari sistem yang ada telah diubah. Penggunaan istilah-istilah ini dengan makna yang serupa oleh Gleick adalah satu lagi indikasi bagaimana teori sains modern bergerak menuju dialektika materialis.

Poin sentral tentang sains baru ini adalah bahwa ia melihat dunia seperti bagaimana adanya: sebuah sistem dinamis yang terus-menerus bergerak. Matematika klasik yang linear adalah logika formal yang berurusan dengan kategori-kategori yang tetap dan tak berubah. Ia cukup baik sebagai sebuah pendekatan, tapi ia tidaklah mencerminkan realitas. Dialektika, di lain pihak, adalah logika tentang perubahan, tentang proses dan karenanya ia lebih maju daripada formalisme. Dengan cara yang sama, matematika chaos adalah satu langkah maju dari sains yang terdahulu, yang agak “tidak riil”, yang mengabaikan ketidakberaturan hidup yang tidak nyaman ini.

Kuantitas dan Kualitas

Ide tentang peralihan dari kuantitas ke kualitas dapat ditemui secara implisit di dalam matematika modern pada telaah tentang kontinuitas dan diskontinuitas. Telaah ini telah hadir sebagai cabang baru geometri, yakni topologi, yang diciptakan di tahun-tahun awal abad ke-20 oleh ahli matematika besar Prancis, Jules Henry Poincaré (1854-1912). Topologi adalah sebuah matematika tentang kontinuitas. Seperti yang dijelaskan Ian Stewart:

“Kontinuitas adalah telaah tentang perubahan yang mulus dan gradual, ilmu tentang hal yang tak terputus. Diskontinuitas adalah mendadak, dramatik; tempat-tempat di mana perubahan kecil pada kausal dapat menghasilkan perubahan yang teramat besar pada akibatnya.”[12]

Matematika yang ditemui di banyak buku teks standar memberikan satu kesan yang keliru tentang dunia ini, tentang bagaimana alam sebenarnya bekerja. “Intuisi matematikayang telah berkembang,” tulis Robert May, “tidak cukup kuat untuk membekali para pelajar untuk menghadapi perilaku aneh yang ditunjukkan oleh sistem non-linear yang paling sederhana sekalipun.”[13] Sementara geometri sekolah dasar mengajari kita untuk menganggap segi empat, lingkaran, segitiga dan jajaran genjang sebagai hal-hal yang sepenuhnya berbeda satu sama lain, dalam topologi (“geometri karet”), semua itu dianggap sebagai hal yang sama. Geometri tradisional mengajarkan bahwa lingkaran tidak dapat dibuat menjadi persegi empat, namun dalam topologi tidak demikian halnya. Garis batas yang kaku diruntuhkan: sebuah persegi empat dapat diubah (“dideformasi”) menjadi sebuah lingkaran. Sekalipun terdapat kemajuan-kemajuan spektakuler dalam sains di abad ke-20, sangatlah mengejutkan jika kita melihat bahwa sejumlah besar fenomena-fenomena yang nampaknya sederhana ternyata belumlah dapat dipahami secara tepat dan belum dapat dinyatakan dalam persamaan matematika, misalnya, cuaca, aliran fluida, turbulensi. Bentuk-bentuk geometri klasik tidaklah cukup untuk menyatakan permukaan yang sangat kompleks dan ireguler seperti yang ditemui di alam, seperti yang ditunjukkan oleh Gleick:

“Topologi menelaah properti-properti yang tetap sama ketika berbagai bentuk dideformasi dengan memuntir atau memelarkan atau memerasnya. Apakah bentuk itu bulat atau persegi, besar atau kecil, tidaklah relevan bagi topologi, karena pemelaran dapat mengubah properti-properti tersebut. Para ahli topologi mempermasalahkan apakah bentuk-bentuk itu saling berhubungan, apakah ia memiliki lubang, apakah ia memiliki simpul. Mereka membayangkan permukaan bukan dalam satu, dua, atau tiga dimensi seperti jagad Euclides, tapi dalam ruang banyak dimensi, yang mustahil divisualkan. Topologi adalah geometri di atas lembaran karet. Ia lebih berurusan dengan kualitas daripada kuantitas.”[14]

Persamaan-persamaan diferensial berurusan dengan tingkat perubahan posisi. Ini lebih sulit dan kompleks daripada apa yang nampak sekilas. Banyak persamaan diferensial tidak dapat dipecahkan sama sekali. Persamaan-persamaan ini dapat menggambarkan gerak, tapi hanya sebagai perubahan posisi yang mulus, dari satu titik ke titik yang lain, tanpa interupsi atau lompatan mendadak. Namun, di alam, perubahan tidak hanya terjadi dengan cara ini. Periode-periode perubahan yang lambat, bertahap dan tidak terputus, tiba-tiba disela oleh belokan-belokan yang tajam, patahan-patahan dalam kontinuitas, ledakan, bencana. Fakta ini dapat digambarkan oleh jutaan contoh dari alam organik maupun anorganik, sejarah masyarakat dan sejarah pemikiran manusia. Dalam persamaan diferensial, waktu dianggap terbagi dalam serangkaian “time-step” (langkah-waktu) yang sangat kecil. Ini memberikan sebuah pendekatan atas realitas, tapi pada kenyataannya tidak ada “langkah” semacam itu. Seperti yang dinyatakan Heraclitus, “segala sesuatu mengalir.”

Ketidakmampuan matematika tradisional untuk menangani persoalan kualitatifsebaik kemampuannya menangani yang kuantitatif merupakan keterbatasan yang sangat besar. Di dalam batas tertentu, kita dapat menggunakannya dengan cukup baik. Tapi ketika perubahan kuantitatif yang bertahap tiba-tiba runtuh, dan menjadi “chaos”, persamaan linear dari matematika klasik tidak lagi mencukupi. Inilah titik awal bagi matematika non-linear baru, yang dipelopori oleh Benoit Mandelbrot, Edward Lorenz dan Mitchell Feigenbaum. Tanpa mereka sadari, mereka tengah mengikuti jejak Hegel, yang garis pengukuran nodal-nya menyatakan ide yang sama persis, ide yang merupakan sumbu bagi dialektika.

Sikap baru terhadap matematika ini merupakan reaksi terhadap kebuntuan aliran-aliran matematika yang sekarang ada. Mandelbrot pernah menjadi anggota dari mazhab matematika Formalisme dari Prancis yang dikenal sebagai kelompok Bourbaki, yang menganjurkan pendekatan yang murni abstrak, berangkat dari prinsip-prinsip awal dan mendeduksi segalanya dari situ. Mereka benar-benar bangga akan fakta bahwa karya mereka tidak memiliki hubungan apapun dengan ilmu pengetahuan atau dunia nyata. Tapi jaman komputer memasukkan sebuah elemen yang sama sekali baru pada situasi ini. Ini satu lagi contoh bagaimana perkembangan teknik mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah besar komputasi yang kini dapat dilakukan dengan hanya menekan sebuah tombol memungkinkan penemuan pola-pola dan keberaturan di tempat-tempat yang semula hanya menunjukkan gejala yang acak dan chaos.

Mandelbrot mulai dengan menyelidiki fenomena-fenomenaalam yang tak terjelaskan, seperti semburan interferensi yang tampaknya acak dalam transmisi gelombang radio, banjir di sungai Nil, dan krisis pasar saham. Ia menyadari bahwa matematika tradisional tidaklah memadai untuk menangani gejala-gejala semacam itu. Dalam penyelidikannya terhadap infiniti atau ketakberhinggaan di abad yang lalu, George Cantor menciptakan satu himpunan yang dinamai Himpunan Cantor. Himpunan ini melibatkan satu garis yang dibagi menjadi titik-titik yang jumlahnya tak berhingga (“debu” Cantor), yang total panjangnya adalah 0. Kontradiksi yang demikian mewujud ini merisaukan banyak ahli matematika abad ke-19, namun ia justru menjadi titik berangkat bagi teori baru Mandelbrot tentang matematika fraktal, yang memainkan peran kunci dalam teori chaos. Demikian papar Gleick:

“Diskontinuitas, semburan noise, debu Cantor –fenomena-fenomena seperti ini tidak mendapat tempat dalam geometri selama 2.000 tahun terakhir. Bentuk-bentuk geometri klasik adalah garis dan bidang, lingkaran dan bola, segitiga dan kerucut. Mereka merupakan abstraksi yang dahsyat atas realitas, dan mereka telah mengilhami filsafat keserasian Plato yang dahsyat itu. Euclid membuat bentuk-bentuk ini sebuah geometri yang bertahan selama dua milenia.Bagi banyak orang itulah satu-satunya geometri yang pernah mereka pelajari. Aristoteles menemukan sebuah keindahan ideal di dalamnya. Tapi untuk memahami kompleksitas, bentuk-bentuk ini ternyata adalah jenis abstraksi yang keliru.”[15]

Semua ilmu pengetahuan melibatkan satu tingkat abstraksi dari dunia realitas. Masalah dengan pengukuran klasik ala Euclid, yang menangani panjang, lebar dan tinggi, adalah bahwa ia gagal menangkap hakikat dari bentuk-bentuk tak beraturan yang ditemukan dalam dunia nyata. Ilmu matematika adalah ilmu tentang besaran. Abstraksi dari geometri Euclides mengabaikan semua hal kecuali sisi kuantitatifnya. Realitas direduksi menjadi bidang, garis dan titik. Namun, abstraksi matematika, sekalipun ada klaim-klaim sombong yang dibuat atas namanya, tetaplah merupakan sebuah pendekatan kasar terhadap dunia nyata, dengan bentuk-bentuknya yang tak beraturan dan perubahan-perubahannya baik yang konstan maupun yang mendadak. Mengutip penyair Romawi, Horace, “Anda boleh mengusir Alam dengan tombak, tapi ia akan berlari kembali menghampiri Anda.” James Gleick menggambarkan perbedaan antara matematika klasik dan teori chaos dengan cara demikian:

“Awan bukanlah berbentuk bola, Mandelbrot gemar sekali mengatakan itu. Gunung bukanlah kerucut. Petir tidak berjalan dalam garis lurus. Geometri baru ini mencerminkan satu jagad yang kasar, yang tidak mulus, yang penuh bercak, dan tidak halus. Ia adalah geometri dari yang berlubang, yang penuh bercak, dan patah-patah, yang terpuntir, yang terbelit, dan yang terjalin. Pemahaman tentang kompleksitas alam melahirkan satu kecurigaan bahwa kompleksitas itu bukan sekedar sesuatu yang acak, atau suatu kebetulan belaka. Ia menuntut satu kepercayaan bahwa ciri yang menarik dari jalur yang ditempuh oleh kilatan petir, misalnya, bukanlah terletak pada arahnya namun pada distribusi zig-zagnya. Karya Mandelbrot membuat sebuah klaim tentang dunia, dan klaim itu adalah bahwa bentuk-bentuk yang aneh itu semuanya memiliki makna. Lubang dan belitan adalah lebih dari sekedar cacat dari bentuk-bentuk klasik geometri Euclides. Seringkali mereka justru menjadi kunci untuk memahami hakikat dari sebuah benda.”[16]

Hal-hal ini dilihat sebagai penyimpangan yang mengerikan oleh para ahli matematika tradisional. Tapi bagi seorang yang berpikir dialektik, mereka justru menunjukkan bahwa kesatuan antara yang finit dan yang infinit, sebagaimana dalam keterbagian tak berhingga dari materi, dapat dinyatakan dalam persamaan matematika. Ketakberhinggaan ada di alam nyata. Jagad raya ini besar tak berhingga. Materi dapat dibagi menjadi partikel-partikel yang semakin lama semakin kecil tak berhingga. Maka, semua ocehan mengenai “awal alam semesta” dan pencarian atas “batu penyusun materi” dan “partikel pamungkas” didasarkan pada asumsi-asumsi yang sama sekali keliru. Keberadaan ketakberhinggaan (infiniti) dalam matematika hanyalah sekedar cerminan dari fakta ini. Pada saat yang bersamaan, adalah sebuah kontradiksi dialektik ketika jagad yang besar tak berhingga ini (infinit) terdiri dari benda-benda yang berhingga (finit). Maka, keberhinggaan dan ketakberhinggaan menyusun satu kesatuan dialektik dari hal-hal yang bertentangan. Yang satu tidak dapat hadir tanpa yang lain. Pertanyaannya kemudian adalah apakah jagad ini berhingga atau tak berhingga. Jagad ini keduanya: berhingga dan sekaligus tak berhingga, seperti yang telah dijelaskan Hegel sejak dahulu.

Kemajuan ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan kita untuk menjelajah semakin dalam ke dalam dunia material. Pada tiap tahap, telah dilakukan upaya untuk “meniup peluit untuk berhenti”, untuk mendirikan satu batas, di mana dikatakan mustahil untuk keluar dari batas itu. Tapi, pada tiap tahap pula batasan itu dirubuhkan, terungkaplah fenomena-fenomena baru yang menakjubkan. Tiap mesin akselerator partikel yang lebih baru dan lebih kuat telah mengungkap partikel-partikel yang baru dan semakin kecil, yang hadir dalam waktu yang semakin lama skalanya semakin kecil juga. Tidak ada alasan untuk beranggapan bahwa situasinya akan berbeda dalam hubungannya dengan quark, yang pada saat ini dianggap sebagai partikel yang terakhir yang akan ditemukan manusia.

Begitu juga dengan upaya untuk menetapkan awal jagad raya dan awal “waktu”, yang akan terbukti sebagai memburu bayang-bayang. Tidak ada batasan bagi jagad material, dan semua upaya untuk menetapkan batasan baginya niscaya akan gagal. Hal yang paling menggairahkan tentang teori chaos adalah bahwa ia merupakan satu penolakan atas abstraksi yang mandul dan menara gading reduksionisme, dan merupakan satu upaya untuk kembali kepada alam dan dunia pengalaman sehari-hari. Dan jika matematika ingin mendapati dirinya sebagai cerminan dari alam, ia harus mulai menyingkirkan karakternya yang sepihak dan mengambil satu dimensi yang sama sekali baru, yang mengekspresikan segala yang dinamis dan kontradiktif, dengan kata lain, karakter dialektik dari dunia nyata.

 _______________

Catatan Kaki

[1] Aristotle, Metaphysics, hal. 120, 251 dan 253.

[2] T. Hobbes, Leviathan, hal. 14.

[3] A. Hooper, Makers of Mathematics, hal. 4-5.

[4] Bilangan transendental adalah bilangan yang bukan merupakan akar dari fungsi polynomial berkoefisien bilangan rasional. Contohnya adalahbilangan pi (3,14159 ...) atau bilangan euler atau e (2,71828 ...)

[5] Engels, Anti-Dühring, hal. 154.

[6] B. Hoffman, The Strange Story of the Quantum, hal. 95.

[7] A. Hooper, Makers of Mathematics, hal. 237.

[8] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 341-2.

[9] Hegel, The Science of Logic, hal. 257.

[10] Engels, Anti-Dühring, hal. 63.

[11] Quoted in T. Ferris, op. cit., hal. 521-2 dan 522-3.

[12] I. Stewart, op. cit., hal. 63.

[13] Quoted in J. Gleick, op. cit., hal. 80.

[14] J. Gleick, op. cit., hal. 46.

[15] J. Gleick, op. cit., hal. 94.

[16] J. Gleick, op. cit., hal. 94.