facebooklogocolour

Berikut adalah dokumen Perspektif Dunia yang menyajikan analisa umum kami mengenai proses-proses fundamental yang tengah bergulir dalam perpolitikan dunia, di masa yang ditandai dengan krisis dan gejolak tanpa preseden. Dengan dinamit yang ada di fondasi perekonomian dunia dan pandemi Covid-19 yang masih membayangi seluruh situasi dunia, semua jalan mengarah ke perjuangan kelas yang semakin menajam. Dokumen ini kami terbitkan dalam 6 bagian:

Watak Perspektif

Dokumen ini, yang perlu dibaca bersamaan dengan dokumen yang kami terbitkan pada September 2020, akan sedikit berbeda dengan dokumen-dokumen perspektif dunia yang telah kami terbitkan sebelumnya.

Di periode sebelumnya, ketika peristiwa bergulir dengan lebih santai, kita dapat memaparkan, setidaknya secara garis besar, apa yang terjadi di berbagai negeri. Akan tetapi sekarang, peristiwa telah bergerak dengan kecepatan yang begitu pesat sehingga untuk bisa mengupasnya kita harus menulis sebuah buku. Tujuan dokumen perspektif bukanlah sebagai katalog lengkap peristiwa-peristiwa revolusioner, tetapi untuk mengungkapkan proses-proses fundamental yang melatarbelakanginya.

Seperti yang dijelaskan oleh Hegel dalam Introduction to the Philosophy of History: “Sesungguhnya, hasrat untuk memperoleh wawasan yang rasional, dan bukannya ambisi untuk mengumpulkan setumpuk pengetahuan, yang seharusnya memenuhi benak setiap orang yang ingin mempelajari ilmu sains.”

Di sini kita tengah berurusan dengan proses-proses umum, dan hanya dapat meninjau beberapa negeri yang paling mewakili proses-proses tersebut pada tahapan ini. Negeri-negeri lain tentu saja akan ditinjau dalam artikel terpisah.

Peristiwa-peristiwa dramatis

Tahun 2021 dimulai dengan peristiwa-peristiwa dramatis. Krisis kapitalisme dunia menyebar bagai ombak dari negeri ke negeri, dari benua ke benua. Dari semua sisi, kita temui lukisan kekacauan, dislokasi ekonomi, dan polarisasi kelas yang sama.

Tahun baru dibuka dengan penyerbuan Gedung US Capitol di Washington oleh massa kanan-ekstrem, yang diprovokasi oleh mantan Presiden AS Donald Trump. Ini membuat pusat imperialisme Barat tampak seperti negara gagal.

Peristiwa ini, dan juga gerakan protes Black Lives Matter yang jauh lebih masif pada musim panas tahun lalu, menunjukkan betapa dalamnya polarisasi dalam masyarakat AS.

Selain ini,demo-demo besar di India, Kolombia, Chile, Belarus, dan Rusia menunjukkan proses serupa: kebencian massa yang terus tumbuh, dan kelas penguasa yang sudah tidak bisa lagi memerintah seperti dulu kala.

Krisis global tanpa preseden

Perspektif dunia ini tidak seperti yang telah kami analisa sebelumnya. Perspektif ini dibuat bahkan lebih rumit oleh pandemi yang menggantung seperti awan hitam di seluruh dunia, yang menyebabkan kesengsaraan, penderitaan, dan kematian bagi jutaan rakyat.

Pandemi ini masih membabi buta. Saat dokumen ini ditulis, sudah ada lebih dari 100 juta kasus Covid-19 di seluruh dunia, dengan hampir tiga juta korban jiwa. Tidak akan kita temui angka seperti ini selain selama Perang Dunia. Dan angka ini terus bertambah tanpa henti. [Catatan penerjemah: Per tanggal 17 Mei, jumlah kasus telah menembus 160 juta dan jumlah kematian 3,4 juta jiwa. Tetapi, berdasarkan estimasi jumlah kematian ekses yang dianalisa majalah The Economist, jumlah kematian sesungguhnya dari Covid-19 mencapai antara 7-13 juta jiwa.]

Bencana ini memiliki dampak yang mengerikan di negeri-negeri miskin di seluruh dunia dan telah berdampak serius di sejumlah negeri terkaya lainnya.

Di AS, ada lebih dari 30 juta kasus, dan jumlah yang meninggal telah melampaui setengah juta jiwa. Dan Inggris memiliki tingkat kematian tertinggi, dengan lebih dari 4 juta kasus, dan lebih dari 100,000 kematian.

Krisis hari ini oleh karenanya tidak seperti krisis ekonomi seperti biasanya. Ini secara harfiah adalah situasi hidup-atau-mati bagi jutaan rakyat. Banyak dari kematian ini yang seharusnya bisa dihindari bila saja kebijakan yang tepat diambil sejak awal.

Kapitalisme tidak bisa menyelesaikan problem ini

Kapitalisme tidak bisa menyelesaikan problem ini, karena ia sendirilah yang merupakan sumber problem ini.

Pandemi ini mengekspos ketidaksetaraan yang tak tertanggungkan antara yang kaya dan yang miskin. Ini telah mengungkapkan garis keretakan yang dalam yang memisahkan masyarakat kita; garis yang memisahkan orang yang jatuh sakit dan mati, dan mereka yang selamat.

Pandemi ini menunjukkan betapa borosnya kapitalisme, betapa kacau dan tidak efisiennya sistem ini, dan tengah mempersiapkan perjuangan kelas di semua negeri di muka bumi.

Para politisi borjuis gemar menggunakan analogi militer ketika berbicara mengenai situasi hari ini. Mereka mengatakan bahwa kita tengah berperang melawan musuh yang tak kasat mata, yaitu virus yang ganas ini. Mereka menyimpulkan, semua kelas dan partai harus bersatu mendukung pemerintahan yang ada. Tetapi ada jurang besar yang memisahkan perkataan dari perbuatan.

Diperlukannya ekonomi terencana secara internasional sudah menjadi fakta tak terbantahkan. Krisis ini mendunia. Virus korona tidak mengenal batas negara ataupun pengendalian perbatasan. Situasi ini menuntut tanggapan internasional, dengan menghimpun seluruh pengetahuan ilmiah dan memobilisasi seluruh sumber daya planet ini untuk mengkoordinasi rencana aksi yang sungguh global.

Alih-alih, kita disuguhkan dengan percekcokan antara Inggris dan Uni Eropa yang berebutan vaksin, sementara sejumlah negeri-negeri termiskin tidak bisa mengakses suplai vaksin sama sekali.

Tetapi, mengapa ada kelangkaan vaksin? Masalah produksi vaksin – sebagai contoh saja – merefleksikan kontradiksi antara kebutuhan mendesak masyarakat dan mekanisme ekonomi pasar.

Bila kita sungguh-sungguh tengah berperang melawan virus, pemerintah akan memobilisasi seluruh sumber daya mereka untuk tugas ini. Dari sudut pandang yang murni rasional, kebijakan terbaik adalah menggenjot produksi secepat mungkin.

Kapasitas produksi harus diperbesar, yang hanya bisa dilakukan dengan membangun pabrik-pabrik baru. Tetapi perusahaan manufaktur vaksin swasta tidak berkepentingan untuk memperluas produksi secara masif karena ini dapat merugikan mereka.

Bila mereka meningkatkan kapasitas produksi sehingga seluruh dunia mendapat vaksin dalam waktu 6 bulan, pabrik-pabrik yang baru dibangun ini akan langsung menganggur setelah itu. Ini akan memangkas profit mereka, dibandingkan dengan skenario sekarang dimana pabrik-pabrik yang ada beroperasi penuh untuk bertahun-tahun mendatang.

Satu lagi halangan untuk produksi vaksin secara massal adalah penolakan perusahaan farmasi raksasa untuk melepaskan hak cipta vaksin “milik mereka” (yang dalam kebanyakan kasus dikembangkan dengan sokongan dana besar dari pemerintah) agar perusahaan-perusahaan lain dapat memproduksi vaksin ini dengan murah.

Perusahaan-perusahaan farmasi meraup untung puluhan miliar dolar, tetapi karena adanya problem produksi dan suplai di mana-mana, ada kelangkaan di banyak tempat. Sementara, jutaan jiwa terancam.

Nyawa buruh terancam

Dalam ketergesa-gesaan mereka untuk memulai kembali produksi (dan dengan demikian laba mereka), para politisi dan kapitalis melakukan penghematan yang membahayakan. Buruh dikirim kembali ke tempat-tempat kerja yang berdesakan tanpa perlindungan yang memadai. Ini sama saja seperti hukuman mati bagi kebanyakan buruh dan keluarga mereka.

Semua harapan para politisi borjuis ini bertumpu pada vaksin baru. Tetapi distribusi vaksin sarat dengan kekacauan, dan kegagalan untuk mengendalikan penyebaran virus korona – yang meningkatkan risiko bermutasinya varian virus yang kebal vaksin – telah memiliki implikasi yang serius, tidak hanya bagi nyawa dan kesehatan manusia, tetapi juga bagi ekonomi.

Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi sekarang adalah yang terburuk dalam 300 tahun, menurut Bank of England. Pada 2020, 225 juta pekerjaan raib di seluruh dunia, empat kali lipat lebih banyak dibandingkan 2009.

Apa yang disebut negeri-negeri berkembang kini terseret mundur seperti negeri-negeri lainnya. India, Brasil, Rusia, dan Turki ada dalam krisis. Untuk pertama kalinya dalam 22 tahun perekonomian Korea Selatan menyusut pada tahun lalu. Ini terjadi kendati dana subsidi pemerintah sebesar $283 miliar. Di Afrika Selatan, tingkat pengangguran mencapai 32,5 persen dan GDP menyusut 7,2 persen pada 2020. Penyusutan ini jauh lebih besar dibandingkan 1931 selama Depresi Hebat, kendati telah menggelontorkan paket stimulus fiskal yang setara dengan 10% PDB.

Krisis ini mendorong jutaan rakyat lebih dalam ke jurang kemiskinan. Pada Januari 2021, Bank Dunia memperkirakan 90 juta orang akan terdorong ke dalam kemiskinan ekstrem. Majalah The Economist pada 26 September 2020 menulis: “Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan lebih muram. PBB mendefinisikan orang miskin bila mereka tidak memiliki akses ke air bersih, listrik, pangan yang mencukupi dan sekolah untuk anak-anak mereka.

“Bekerja sama dengan sekelompok peneliti dari Oxford University, PBB menyimpulkan bahwa pandemi ini akan menciptakan 490 juta orang miskin di 70 negeri, dan memutar balik pencapaian selama satu dekade terakhir.”

World Food Programme (WFP) dari PBB melaporakan: “Di 79 negeri dimana WFP berada dan datanya tersedia, sampai 270 juta orang diperkirakan rentan-pangan atau berisiko tinggi rentan-pangan pada 2021, peningkatan tanpa-preseden sebesar 82 persen dari level sebelum pandemi.”

Ini sendiri saja memberi kita gambaran akan skala mendunia dari krisis ini.

Selain dampak dari pandemi, krisis ekologi global kemungkinan besar akan memperburuk situasi, mendorong kemiskinan dan kerentanan pangan. Eksploitasi kapitalis terhadap lingkungan mengancam untuk menempatkan sistem-sistem ekologi kunci di ambang kehancuran. Kita telah menyaksilan peningkatan konflik atas sumber daya air dan kehancuran lingkungan yang pasti akan mengarah ke ketidakstabilan sosial dan migrasi iklim besar-besaran.

Ketidakstabilan yang secara umum kita saksikan di seluruh dunia terhubungkan secara organik dengan tingkat kemiskinan yang meningkat ini, yang menjadi sebab dan juga akibat. Ini merupakan faktor yang paling fundamental yang memicu perang dan perang sipil di banyak tempat. Ethiopia adalah satu contoh saja.

Ethiopia sebelumnya dianggap sebagai teladan. Selama periode 2004-2014, ekonominya tumbuh 11% per tahun, dan dilirik sebagai lokasi investasi yang baik. Sekarang, negeri ini terlempar ke dalam kekacauan dengan pecahnya perang di provinsi Tigray, dimana 3 juta warga membutuhkan bantuan pangan darurat.

Ini bukanlah kasus terisolasi. Daftar negeri-negeri yang terimbas perang selama periode terakhir sangatlah panjang, dan katalog penderitaan manusia ini sungguh memuakkan:

Afghanistan: 2 juta kematian; Yemen: 100.000 mati; perang narkoba Meksiko menelan korban jiwa 250.000; perang terhadap rakyat Kurdi di Turki: 45.000 mati; Somalia: 500.000 mati; Irak, setidaknya satu juta korban jiwa; Sudan Selatan sekitar 400.000 kematian.

Di Suriah, PBB memperkirakan jumlah kematian 400.000, tetapi ini estimasi rendahnya. Angka kematian yang sesungguhnya tidak akan pernah bisa diketahui secara persis, tetapi jelas setidaknya mencapai 600.000. Dalam perang-perang sipil yang mengerikan di Kongo, mungkin lebih dari 4 juta jiwa melayang. Tetapi sekali lagi, tidak ada yang tahu jumlah korban yang sesungguhnya. Baru-baru ini kita saksikan konflik di Nagorno-Karabakh.

Dan daftar ini terus memanjang. Berita-berita ini sudah tidak lagi dianggap layak untuk dimuat di halaman depan koran. Tetapi mereka mengekspresikan apa yang Lenin pernah katakan: Kapitalisme adalah horor tanpa akhir. Keberlanjutan kapitalisme mengancam menciptakan kondisi barbarisme di banyak negeri.

Krisis rejim

Dari sudut pandang Marxis, studi ekonomi bukanlah masalah akademis yang abstrak. Ekonomi memiliki dampak yang dalam terhadap perkembangan kesadaran semua kelas.

Di mana-mana kita melayangkan mata kita, kita akan temui krisis, dan bukan hanya krisis ekonomi, tetapi krisis dalam rejim yang berkuasa. Ada indikasi-indikasi jelas bahwa krisis ini telah menjadi begitu parah, begitu dalam, sehingga kelas penguasa telah kehilangan kendali mereka atas instrumen-instrumen tradisional yang telah mereka gunakan di masa lalu untuk menguasai masyarakat.

Sebagai akibatnya, kelas penguasa menemukan diri mereka tidak mampu mengendalikan jalannya peristiwa-peristiwa. Ini terutama jelas dalam kasus Amerika Serikat. Tetapi ini juga berlaku di banyak negeri lainnya. Kita cukup menyebut nama Trump, Boris Johnson, dan Bolsonaro untuk menggarisbawahi poin ini.

Amerika Serikat

AS kini menempati posisi sentral dalam perspektif dunia. Selama periode yang sangat lama, revolusi di negeri yang paling kaya dan kuat ini tampak seperti prospek yang sangatlah jauh. Tetapi AS terpukul keras oleh krisis ekonomi dunia dan sekarang semuanya telah terjungkir balik.

40 juta rakyat AS mendaftar untuk tunjangan pengangguran selama pandemi. Dan seperti lazimnya, lapisan yang paling miskin dan paling rentan, terutama kaum kulit berwarna, adalah yang paling menderita. Momok pengangguran paling membebani kaum muda. Separuh warga berumur di bawah 25 tahun kehilangan pekerjaan. Masa depan mereka tiba-tiba direnggut. Mimpi Amerika telah menjadi mimpi buruk Amerika.

Perubahan dramatis ini telah memaksa banyak orang, tua maupun muda, untuk mempertimbangkan ulang apa yang sebelumnya dianggap keramat dan mempertanyakan watak masyarakat dimana mereka hidup. Kemunculan Bernie Sanders di satu kutub spektrum politik dan Donald Trump di kutub lainnya membuat kelas penguasa amat cemas. Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi.

Khawatir akan bahaya yang dapat datang dari situasi ini, kelas penguasa terpaksa mengambil langkah-langkah darurat. Mari kita ingatkan diri kita sendiri, bahwa seturut dogma resmi para ekonom borjuis, negara seharusnya tidak boleh campur tangan dalam kehidupan ekonomi.

Tetapi dihadapkan dengan bencana yang mengancam, kelas penguasa terpaksa mencampakkan semua teori ekonomi mereka ke tong sampah. Menurut teori pasar bebas, negara seharusnya hanya memainkan peran kecil atau nol sama sekali dalam kehidupan ekonomi; dan sekarang negara telah menjadi satu-satunya penopang sistem kapitalis.

Di semua negeri, dimulai dari AS, apa yang disebut ekonomi pasar bebas kini sesungguhnya disokong oleh mesin penunjang kehidupan, seperti seorang pasien virus korona. Kebanyakan uang yang digelontorkan oleh pemerintah langsung memenuhi kantung kaum kaya. Tetapi kelas penguasa takut akan konsekuensi politik dari bailout korporasi. Oleh karenanya mereka memberi bantuan langsung tunai ke setiap warga dan secara masif meningkatkan tunjangan pengangguran. Ini melunakkan dampak krisis pandemi yang dirasakan oleh lapisan rakyat termiskin. Cepat atau lambat, bantuan ini akan dikurangi atau dihentikan sepenuhnya.

Kita menyaksikan paradoks dimana kemiskinan yang teramat mengerikan di negeri terkaya di dunia berdampingan dengan kekayaan dan kemewahan yang teramat vulgar. Hingga Oktober 2020, lebih dari satu di antara lima keluarga Amerika tidak punya cukup uang untuk membeli makanan. Food bank (lembaga pemberi bantuan pangan) menjamur di mana-mana.

Ketidaksetaraan dan polarisasi

Tingkat ketidaksetaraan telah memecahkan semua rekor. Jurang antara yang kaya dan yang miskin telah menjadi tak terjangkau lagi. Pada 2020, kekayaan kaum miliarder dunia meningkat sebesar $1,9 triliun. Indeks Nasdaq 100 meningkat 40 persen dibandingkan sebelum pandemi. Nilai ekuitas-ekuitas global yang terdaftar, pada Februari 2021, meningkat sebesar $24 triliun semenjak Maret 2020.

Rata-rata pendapatan eksekutif utama perusahaan S&P 500 adalah 357 kali lipat pendapatan pekerja non-managerial. Rasio ini sekitar 20 kali lipat pada pertengahan 1960an. Pada akhir masa jabatan Ronald Reagan di 1989, rasio ini masih 28 kali lipat.

Untuk mengutip satu contoh saja, Jeff Bezos sekarang meraup lebih banyak uang dalam waktu satu detik dibandingkan upah satu minggu buruh biasa di AS. Ini membawa Amerika kembali ke masa “baron kapitalis perampok” (1870an hingga awal 1900an) yang dikecam oleh Presiden Theodore Roosevelt (1901-1909) sebelum Perang Dunia Pertama.

Dan ini memiliki dampaknya. Semua demagogi mengenai “kepentingan nasional,” “kita harus bersatu untuk melawan virus korona,” “kita semua berlayar dalam satu kapal yang sama,” terbongkar sebagai kemunafikan yang paling keji.

Massa rakyat siap berkorban di bawah situasi tertentu. Di masa perang, rakyat siap bersatu untuk melawan musuh bersama, dan ini benar. Mereka bersedia, setidaknya untuk sementara, untuk menerima taraf hidup yang lebih rendah dan juga, dalam tingkatan tertentu, menerima pengekangan terhadap hak-hak demokratik mereka.

Tetapi jurang yang memisahkan kaum yang berpunya dan kaum yang tak-berpunya tengah memperdalam polarisasi sosial dan politik, dan menciptakan mood yang meledak-ledak dalam masyarakat. Jurang ketidaksetaraan ini melemahkan semua usaha untuk menciptakan kesan persatuan dan solidaritas nasional, yang merupakan garis pertahanan utama bagi kelas penguasa.

Statistik Federal Reserve menunjukkan bahwa 10 orang terkaya di AS memiliki kekayaan bersih sebesar 80,7 triliun dolar AS pada akhir 2020. Ini setara dengan 375% PDB AS dan jauh di atas level historis.

Pajak lima persen terhadap kekayaan tersebut akan memberi kita 4 triliun dolar AS, atau seperlima PDB. Ini dapat membiayai semua pengeluaran pandemi. Tetapi para baron perampok ini tidak berniat membagi jarahan mereka. Kebanyakan dari mereka (termasuk Donald J Trump) menunjukkan kecenderungan tidak ingin membayar pajak sama sekali, apalagi pajak lima persen.

Satu-satunya solusi adalah ekspropriasi kekayaan para bankir dan kapitalis. Gagasan ini niscaya akan meraih semakin banyak dukungan, dan akan menyapu bersih kecurigaan yang masih tersisa terhadap sosialisme dan komunisme, bahkan di antara lapisan buruh yang telah diperdayai oleh demagogi Trump.

Ini telah mencemaskan ahli strategi kapital. Mary Callahan Erdoes, kepala manajemen aset dan kekayaan untuk JP Morgan, menarik kesimpulan yang tak terelakkan: “Kita akan dihadapkan dengan risiko besar ekstremisme dari situasi ini. Kita harus mencari jalan untuk beradaptasi, kalau tidak kita akan terjerumus ke dalam situasi yang sangat berbahaya.”

Penyerbuan Capitol Hill

Penyerbuan Capitol Hill, lokasi gedung Senat AS, pada 6 Januari adalah indikasi paling jelas bahwa krisis yang telah dihadapi oleh AS bukanlah krisis pemerintah semata, tetapi krisis keseluruhan rejim.

Peristiwa ini bukankah kudeta ataupun insureksi, tetapi ini dengan jelas mengungkapkan kegeraman mentah yang ada di kedalaman masyarakat Amerika dan juga munculnya perpecahan yang dalam di dalam pemerintah. Pada dasarnya, penyerbuan ini merupakan indikasi bahwa polarisasi dalam masyarakat telah mencapai titik kritis. Institusi demokrasi borjuis tengah diuji.

Ada kebencian yang membara terhadap kaum kaya dan kaum penguasa, para bankir, Wall Street, dan tatanan Washington secara umum (yang disebut “rawa-rawa”). Kebencian ini dengan cerdik diarahkan oleh demagog sayap-kanan Donald Trump.

Tentu saja, Trump sendiri adalah buaya yang paling licik dan buas yang hidup di rawa-rawa ini. Dia hanya mengejar kepentingannya sendiri. Tetapi dengan melakukan ini, dia dengan serius merusak kepentingan kelas penguasa secara keseluruhan. Dia telah bermain-main dengan api dan mengerahkan kekuatan yang tidak akan bisa dikendalikan olehnya ataupun oleh siapapun.

Dengan perkataan dan perbuatan, Trump telah menghancurkan legitimasi institusi borjuis dan menciptakan ketidakstabilan yang besar. Inilah mengapa kelas penguasa dan para perwakilan politiknya di mana-mana sangatlah gusar dengan tingkah laku Trump.

Pemakzulan (Impeachment)

Kaum Demokrat mencoba memakzulkan Trump, dengan menuduhnya telah mengorganisasi insureksi. Tetapi, seperti yang telah diperkirakan, mereka gagal meyakinkan Senat untuk menyatakan Trump bersalah, yang akan melarangnya untuk berlaga kembali di pilpres.

Kebanyakan senator Republiken sesungguhnya akan dengan senang hati melakukan ini. Mereka membenci dan juga takut pada politisi pemula ini. Dan mereka tahu dengan sangat baik siapa dalang peristiwa pada 6 Januari. Pemimpin Senat Republiken Mitch McConnell memberikan pidato pedas yang mengecam mantan Presiden Trump, setelah memberi suara untuk membebaskannya.

Pada kenyataannya, dia dan para senator Republiken lainnya takut terhadap reaksi dari para pendukung Trump bila mereka melawan Trump. Mereka memutuskan untuk lebih hati-hati, dan dengan menutup hidung mereka menyatakan Trump tidak bersalah.

Tetapi bila penyerbuan Capitol Hill adalah usaha insureksi, maka ini adalah insureksi yang menyedihkan. Alih-alih insureksi, ini lebih seperti kerusuhan besar. Massa pendukung Trump yang geram menyerbu masuk gedung Capitol dengan bantuan yang jelas dari setidaknya beberapa pengawal gedung. Tetapi, setelah dengan mudah menduduki gedung demokrasi borjuis AS yang paling keramat, mereka tidak tahu sama sekali apa yang harus mereka lakukan.

Massa yang tak terorganisir dan tak punya pemimpin ini mondar mandir tanpa tujuan, dan mengobrak-abrik apapun yang tidak mereka sukai dan mengumpati Demokrat Nancy Pelosi, wakil presiden Republiken Mike Pence, dan Mitch McConnell, yang mereka tuduh sebagai pengkhianat. Sementara, sang pemimpin insureksi Donald Trump telah meninggalkan lokasi dengan nyamannya.

Bila sejarah mengulang dirinya, pertama kali sebagai tragedi dan kemudian sebagai lelucon, ini adalah lelucon yang terbaik. Pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang digantung atau dipancung. Setelah berteriak ke sana ke mari sampai kecapaian, para “insureksioner” ini pulang ke rumah dengan tertib atau singgah ke bar untuk mabuk dan membual mengenai pencapaian mereka yang berani itu, dan meninggalkan tidak lebih dari setumpukan sampah dan beberapa ego yang terluka.

Kendati demikian, dari sudut pandang kelas penguasa, penyerbuan ini menciptakan preseden berbahaya untuk masa depan. Ray Dalio, pendiri hedge fund terbesar di dunia, Bridgewater Associates, mengatakan ini: “Kita ada di tepi jurang perang sipil yang mencekam. AS ada di ujung tanduk, dan dapat jatuh dari ketegangan internal yang bisa dikelola ke revolusi.” Penyerbuan Capitol Hill adalah tanda peringatan serius bagi kelas penguasa. Dan ini jelas memiliki konsekuensinya. Kendati laporan media yang bermusuhan, 45 persen pemilih Republiken merasa bahwa penyerbuan ini dapat dibenarkan.

Tetapi ini harus dibandingkan dengan satu fakta yang jauh lebih signifikan, yakni 54% dari semua warga AS berpendapat bahwa dibakarnya kantor polisi Minneapolis adalah sesuatu yang dapat dibenarkan. Dan 10 persen dari seluruh populasi AS terlibat dalam gerakan protes Black Lives Matter, yaitu 10 sampai 20 ribu kali lipat lebih besar jumlahnya dibandingkan para demonstran Capitol Hill. Semua ini menunjukkan pesatnya polarisasi sosial dan politik di AS.

Demonstrasi-demonstrasi spontan yang menyapu AS dari barat sampai timur menyusul dibunuhnya George Floyd, dan peristiwa-peristiwa tanpa-preseden sebelum dan sesudah pilpres menandai sebuah titik balik dalam keseluruhan situasi.

Perubahan kesadaran

Kaum liberal dan reformis yang bodoh seperti biasanya tidak memahami apa yang tengah terjadi. Mereka hanya melihat apa yang ada di permukaan, tanpa memahami arus-arus dalam yang sedang mengalir dengan derasnya di bawah permukaan dan mendorong gelombang-gelombang di permukaan.

Mereka terus berteriak mengenai fasisme, yang berarti apapun yang tidak mereka sukai atau yang mereka takuti. Mengenai watak sesungguhnya fasisme, mereka tidak tahu sama sekali. Tetapi dengan terus berbicara mengenai “ancaman terhadap demokrasi” (yang mereka maksud adalah demokrasi borjuis formal), mereka menyebar kebingungan dan mempersiapkan landasan untuk kolaborasi kelas di bawah panji “terbaik dari yang terburuk.” Dukungan mereka terhadap Biden di AS adalah contoh jelas dari kebijakan ini.

Yang harus kita pertimbangkan adalah basis Trump memiliki karakter yang sangat heterogen dan kontradiktif. Basis ini memiliki sayap borjuisnya, yang dikepalai oleh Trump, dan selapisan besar borjuasi kecil reaksioner, kaum fanatik agama dan elemen-elemen yang secara terbuka fasis.

Tetapi kita harus ingat bahwa Trump menerima suara dari 74 juta orang di pilpres sebelumnya, dan banyak dari mereka adalah rakyat kelas pekerja yang sebelumnya memilih Obama tetapi telah menjadi kecewa terhadap Partai Demokrat. Ketika mereka diwawancarai, mereka mengatakan: “Washington tidak peduli dengan kami! Kami adalah rakyat yang terlantar!”

Ada ayunan keras ke kiri dan ke kanan. Alam membenci kekosongan, dan karena kebangkrutan kaum reformis, termasuk kaum reformis kiri, mood kemarahan dan frustrasi ini telah digunakan oleh para demagog sayap-kanan, yang biasa disebut populis. Di AS kita memiliki fenomena Trumpisme, dan di Brasil kita saksikan kebangkitan Bolsonaro.

Tetapi daya tarik para demagog sayap-kanan ini segera menguap ketika bersentuhan dengan realitas pemerintah, seperti yang ditunjukkan oleh Bolsonaro. Trump memang masih didukung jutaan orang, tetapi dia telah disingkirkan dari pemerintah.

Menarik untuk dicatat bahwa beberapa hari sebelum penyerbuan Capitol Hill, senator Missouri Josh Hawley mengatakan: “Para perwakilan Republiken di Washington akan kesulitan untuk memahami ini ... Tetapi masa depannya jelas: kita harus menjadi partainya kelas buruh, dan bukan partainya Wall Street.” (The Guardian).

Lenin mengatakan, sejarah mengenal berbagai macam transformasi yang unik. Kaum Marxis harus mampu memilah apa yang progresif dari apa yang reaksioner. Kita harus memahami bahwa dari semua peristiwa ini, dalam bentuk embrio, ada garis-garis perkembangan revolusioner di AS di masa depan.

Tentu saja, senator Republiken yang reaksioner ini tidak punya niatan sama sekali untuk mendirikan sebuah partai kelas buruh yang sejati di AS, dan partai semacam ini tidak akan muncul dari pecahan sayap-kanan Partai Republiken. Tetapi guncangan dalam sistem dua-partai ini jelas adalah pembukaan untuk sesuatu yang sepenuhnya baru: munculnya partai ketiga yang dapat menantang dominasi Partai Republik dan Partai Demokrat.

Partai semacam ini awalnya akan memiliki sebuah karakter yang sepenuhnya kacau balau dan heterogen. Tetapi elemen anti-kapitalis akan cepat atau lambat mendominasi. Inilah ancaman nyata terhadap tatanan yang ada. Ketika massa mulai secara langsung mengintervensi politik, ketika mereka memutuskan bahwa waktunya sudah tiba bagi mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri, ini sendiri adalah gejala perkembangan revolusioner yang akan datang.

Para ahli strategi Kapital yang serius paham akan implikasi berbahaya yang terkandung di dalam gejolak hari ini, dan mereka memahaminya jauh lebih baik daripada kaum borjuasi kecil yang impresionistik dan cepat panik. Pada 30 Desember 2020, Financial Times menerbitkan sebuah editorial yang sangat menarik.

Editorial ini memberikan gambaran mengenai proses yang tengah bergulir, dan ke mana ini akan mengarah, dan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari semua ini sangatlah mengkhawatirkan dari sudut pandang kelas borjuasi:

“Lapisan-lapisan yang terlantar dari perubahan ekonomi semakin menyimpulkan bahwa yang berkuasa tidaklah peduli pada nasib mereka – atau lebih parahnya, telah menyiasati ekonomi untuk keuntungan mereka sendiri dan mengorbankan orang-orang yang ada di pinggiran.”

“Perlahan tapi pasti, ini membenturkan kapitalisme dan demokrasi. Semenjak krisis finansial global [2008], perasaan dikhianati ini telah mendorong reaksi perlawanan politik terhadap globalisasi dan institusi demokrasi liberal.”

“Populisme sayap-kanan dapat tumbuh subur di atas reaksi perlawanan ini, sementara tidak menyentuh sama sekali pasar kapitalis.”

“Tetapi karena ‘populisme sayap-kanan’ tidak dapat memenuhi janjinya kepada rakyat yang secara ekonomi tertindas, maka hanya menunggu waktu saja sebelum garpu rumput akan diarahkan untuk melawan kapitalisme itu sendiri, dan kaum kaya yang menikmati keuntungan darinya.”

Artikel editorial ini menunjukkan pemahaman yang sempurna mengenai dinamika perjuangan kelas. Bahkan bahasa yang digunakannya sangat signifikan. Dipersenjatai dengan garpu rumput merupakan analogi dengan Revolusi Prancis, atau Pemberontakan Tani 1381, dimana kaum tani menduduki London.

Penulis editorial ini memahami dengan sangat baik bahwa tumbuhnya populisme sayap-kanan dapat menjadi tahapan pertama sebelum ledakan revolusi. Ayunan keras opini publik ke kanan dapat dengan mudah menjadi persiapan untuk bahkan ayunan yang lebih keras ke kiri oleh massa rakyat yang kecewa yang sedang mencari jalan keluar dari krisis ini

Ini adalah prediksi yang sangat perseptif mengenai bagaimana peristiwa dapat bergulir di periode mendatang. Dan tidak hanya di AS. Gejolak-gejolak besar ini dapat dirasakan pula di banyak negeri lainnya, kalau bukan di setiap negeri. Di bawah permukaan, mood kegeraman, kepahitan dan kebencian terhadap tatanan yang ada tengah berkembang.

Runtuhnya Politik Tengah

Institusi demokrasi borjuis dilandaskan pada asumsi bahwa jurang antara yang kaya dan miskin dapat ditutupi dan dikelola dalam batas-batas yang dapat diterima. Tetapi ini sudah tidak lagi demikian.

Ketidaksetaraan kelas yang semakin menganga telah melahirkan polarisasi sosial sampai pada tingkatan yang tidak pernah terlihat selama puluhan tahun. Ini tengah menguji mekanisme tradisional demokrasi borjuis sampai ambang batasnya, dan melampaui batas-batas tersebut.

Antagonisme antara yang kaya dan miskin terus menajam setiap harinya. Ini menyediakan dorongan besar bagi kekuatan sentrifugal yang semakin memisahkan kelas-kelas. Inilah alasan runtuhnya apa yang disebut Politik Tengah.

Ini membuat cemas kelas penguasa, yang merasa kekuasaan semakin lolos dari cengkeramannya. Partai-partai penguasa di mana-mana dilihat oleh massa identik dengan pemotongan dan serangan terhadap taraf hidup mereka.

Ada perasaan geram dalam masyarakat. Perasaan ini mengekspresikan dirinya dalam runtuhnya kepercayaan terhadap institusi-institusi resmi, partai, pemerintah, politisi, bankir, kaum kaya, polisi, sistem pengadilan, hukum, tradisi, agama, dan moralitas dari sistem yang ada. Orang semakin tidak percaya apa yang mereka baca di koran dan tonton di TV. Mereka dapat melihat perbedaan antara apa yang dikatakan dan apa yang terjadi, dan mereka sadar tengah dibohongi.

Ini tidak selalu demikian. Di masa lalu, kebanyakan orang tidak menaruh perhatian pada politik. Begitu juga dengan buruh. Percakapan di tempat-tempat kerja biasanya mengenai sepak bola, film, dan tayangan acara TV. Politik jarang sekali dibicarakan, dan mungkin hanya pada saat pemilu.

Sekarang, semua ini telah berubah. Massa mulai tertarik pada politik, karena mereka mulai menyadari bahwa politik secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka dan keluarga mereka. Ini dalam dirinya sendiri adalah ekspresi dari sebuah gerak menuju revolusi.

Di masa sebelumnya, bila orang mencoblos, biasanya mereka akan mencoblos partai yang sama yang telah dicoblos oleh orang tua dan kakek nenek mereka sebelumnya. Sekarang, pemilu telah menjadi sangat tak bisa diprediksi. Mood para pemilih dipenuhi kemarahan, ketidakpercayaan, dan sangat cepat berubah, mengayun dengan cepat dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri.

Perspektif untuk administrasi Biden

Para ahli strategi Kapital mengenali bahaya besar di dalam polarisasi ini dan dengan putus asa berusaha sekeras mungkin untuk membangun kembali “Politik Tengah.” Tetapi secara objektif tidak ada landasan objektif untuk ini. Dalam individu bernama Joe Biden, mereka tengah bersandar pada pohon yang rapuh.

Wall Street kini menaruh harapan mereka pada administrasi Biden dan kampanye vaksinasinya. Tetapi Biden sedang memerintah di tengah krisis ekonomi dan politik yang dalam, di sebuah bangsa yang terpecah belah dan sedang uzur.

Dia didorong oleh kelas penguasa untuk memperhebat intervensi negara dalam perekonomian, dan dengan cepat dia memproklamirkan rencana paket stimulus ekonomi sebesar 1,9 triliun dolar AS. Bila kita tambahkan paket 900 miliar dolar AS yang sebelumnya telah disetujui oleh Kongres dan dana 3 triliun dolar AS yang telah digelontorkan pada awal pandemi, ini semua menumpuk menjadi gunung hutang. Kelas penguasa tengah berusaha dengan mati-matian untuk memulihkan kestabilan politik.

Profesor Harvard University Kenneth Rogoff berkomentar seperti ini: “Saya sangat simpatik dengan apa yang sedang dilakukan Biden ... Ya, ada risiko kalau kita akan dihadapkan dengan ketidakstabilan ekonomi di hari depan nanti, tetapi kita tengah menghadapi ketidakstabilan politik sekarang.” Semua ini sedang mempersiapkan krisis yang besar di hari depan.

Sementara, jutaan warga bersungut-sungut tidak percaya kalau Biden memenangkan pilpres kemarin. Apapun yang dia lakukan akan dianggap salah oleh mereka. Di sisi lain, harapan besar dari banyak pendukungnya akan menguap seperti setetes air di panci yang panas, setelah perasaan lega akan tersingkirnya Trump telah menghilang. Dan walaupun Biden akan menikmati masa bulan madu untuk sementara, kekecewaan besar akan menyusul, mempersiapkan jalan untuk gejolak dan kekacauan baru.

Amerika Latin

Amerika Latin adalah salah satu wilayah di dunia yang terdampak paling parah oleh Covid-19, dari sudut pandang kesehatan publik dan juga sudut pandang krisis ekonomi.

PDB wilayah ini telah menyusut sebesar 7,7 persen pada 2020, yang merupakan penyusutan terbesar dalam 120 tahun. Ini menyusul satu dekade stagnasi, dengan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 0,3 persen selama 2014-2019. Wilayah ini diperkirakan hanya akan pulih kembali pada 2024. Tingkat kemiskinan ekstrem telah kembali ke level 1990.

Ini telah menghasilkan gejolak sosial dan politik bahkan sebelum pandemi dimulai. Di Amerika Latin, gerakan pemberontakan 2019 (Ekuador, Chile), yang merupakan bagian dari gerakan di seluruh dunia (Algeria, Sudan, Irak, Lebanon, dsb.), untuk sementara terhentikan oleh pandemi yang menyapu benua ini dengan konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan.

Jumlah kematian di Brasil adalah salah satu yang tertinggi di dunia, dan Peru juga terpukul keras. Di Ekuador peti-peti mati menumpuk di teras rumah-rumah duka yang penuh, dan di sejumlah tempat mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan tak terurus.

Akan tetapi, pada paruh kedua 2020, kita menyaksikan kembalinya gerakan insureksi massa. Pada September 2020, ada ledakan kegeraman massa di Kolombia yang dipicu oleh pembunuhan yang dilakukan polisi, dengan terbakarnya 40 pos polisi. Di Peru, gerakan massa melengserkan dua pemerintah. Dan gerakan protes di Guatemala berakhir dengan dibakarnya gedung parlemen. Gerakan ini telah berlanjut di 2021, dan dengan konsekuensi-konsekuensi politik yang penting. Di Kolombia, gerakan ini muncul kembali dengan gerakan Mogok Nasional yang kuat, yang telah menggerus basis dukungan sosial untuk pemerintahan Duque sampai ke minimum. Di Peru, kita saksikan terpilihnya aktivis serikat buruh pengajar Pedro Castillo secara tak terduga sebagai presiden. Demikian pula, di Chile kita saksikan kekalahan elektoral kaum kanan dan terpilihnya kandidat-kandidat dari gerakan 2019, dan juga Partai Komunis serta Front Luas, dalam pemilihan Majelis Konstituante, pemilihan gubernur daerah dan walikota.

Di Brasil, kaum Kiri dan sektarian ribut mengeluh mengenai kemenangan “fasisme”, tetapi sekarang dukungan terhadap Bolsonaro sudah anjlok. Slogan “Turunkan Bolsonaro” (Fora Bolsonaro) yang awalnya diluncurkan oleh kamerad-kamerad seksi Brasil kita, yang saat itu ditolak oleh Kiri sebagai slogan yang utopis, kini telah diterima.

Begitu lemahnya si “tangan besi” Bolsonaro sampai-sampai dia tidak bisa meluncurkan partainya sendiri. Walaupun dia telah berusaha mati-matian, sampai sekarang dia bahkan masih belum bisa mengumpulkan cukup tandatangan untuk mendaftar.

Masalahnya bukanlah kuatnya Bolsonaro tetapi lemahnya Kiri. Partai Buruh (PT) yang dulu menerima dukungan besar dari buruh, telah kalah secara masif di pemilu baru-baru ini. Di sini juga, masalahnya bukanlah kesulitan-kesulitan objektif tetapi kelemahan faktor subjektif.

Sementara Kuba dihadapkan dengan krisis ekonomi besar, yang dipicu oleh pandemi dan diperparah oleh kebijakan dan sangsi ekonomi Trump, dan tidak ada satupun sangsi ini yang telah dibatalkan oleh Biden. Ekonomi Kuba menurun 11 persen pada 2020.

Ini telah memaksa kepemimpinan pemerintah Kuba untuk menerapkan serangkaian kebijakan pasar kapitalis, yang telah didiskusikan selama 10 tahun terakhir tetapi belum pernah sepenuhnya diterapkan, termasuk unifikasi mata uang, relasi pasar antara BUMN, penutupan BUMN yang merugi, menghapus subsidi bahan pangan pokok, dsb.

Kebijakan-kebijakan ini telah meningkatkan ketidaksetaraan dan menyebabkan kekecewaan. Ini adalah titik balik dalam proses menuju restorasi kapitalisme.

Faktor-faktor ekonomi inilah yang menjadi basis obyektif dari protes 11 Juli. Protes-protes ini adalah yang terbesar di Kuba sejak gerakan protes “maleconazo” 1994, dan mereka datang pada saat krisis ekonomi yang mendalam dan dengan pemerintah yang tidak memiliki otoritas yang sama seperti ketika Fidel Castro memimpin.

Gerakan ini memiliki komponen yang sungguh-sungguh datang dari kelas buruh yang memprotes kelangkaan barang-barang dan kesulitan yang mereka derita. Namun, ada komponen lain yang menanggapi kampanye propaganda terus-menerus di media sosial dan provokasi di jalan-jalan oleh elemen kontra-revolusioner secara terbuka yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.

Para pengunjuk rasa, yang berjumlah sekitar 2.000 di Havana, terdiri dari berbagai lapisan: kaum miskin dari daerah kelas buruh yang sangat terdampak oleh krisis ekonomi dan kebijakan-kebijakan birokrasi; elemen-elemen lumpen dan kriminal; elemen borjuis kecil pro-kapitalis yang telah tumbuh berkembang selama 10 tahun terakhir reformasi pasar; seniman, intelektual dan pemuda yang cemas dengan masalah sensor dan hak-hak demokrasi secara abstrak.

Harus dijelaskan dengan jelas bahwa protes-protes ini terjadi di bawah slogan-slogan “Tanah Air dan Kehidupan” (“Patria y vida”), “Tumbangkan kediktatoran” dan “Ganyang Komunisme”, yang jelas-jelas bersifat kontra-revolusioner. Problem-problem dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat pekerja itu nyata dan benar; ada elemen-elemen bingung yang berpartisipasi; tetapi di tengah semua kebingungan itu, elemen-elemen kontra-revolusionerlah yang mendominasi protes-protes ini. Mereka terorganisir, termotivasi dan memiliki tujuan yang jelas. Oleh karena itu, penting untuk menentang mereka dan mempertahankan revolusi. Jika mereka yang mempromosikan protes ini, bersama dengan mentor mereka di Washington, mencapai tujuan mereka – penggulingan pemerintah – ini pasti akan mempercepat proses restorasi kapitalis dan membawa Kuba kembali ke status sebelumnya sebagai de fakto koloni imperialisme AS. Problem-problem ekonomi dan kesehatan yang diderita oleh kelas buruh Kuba tidak akan terpecahkan, tetapi sebaliknya, akan diperparah. Kita hanya perlu melihat Brasil-nya Bolsonaro atau negara tetangga Haiti untuk meyakinkan diri sendiri tentang hal ini. Kekalahan revolusi Kuba akan berdampak negatif pada kesadaran buruh di seluruh benua Amerika dan di seluruh dunia.

Dalam perjuangan yang tengah bergulir ini, kami membela revolusi Kuba tanpa syarat. Poin pertama yang harus kami sampaikan adalah bahwa kami sepenuhnya menentang blokade imperialisme AS dan kami berkampanye menentangnya. Namun, pembelaan tanpa syarat kami terhadap revolusi tidak berarti bahwa kami tidak kritis. Kita harus menjelaskan dengan jelas bahwa metode-metode birokrasi sebagian besar bertanggung jawab dalam menciptakan situasi saat ini. Perencanaan birokrasi menyebabkan mismanajemen, inefisiensi, pemborosan dan kemalasan. Pemaksaan dan kesewenang-wenangan birokrasi membuat kaum muda merasa terasing. Langkah-langkah pro-kapitalis menyebabkan diferensiasi sosial dan kemiskinan.

Kepemimpinan Kuba semakin dipertanyakan oleh banyak buruh dan pemuda yang menganggap diri mereka revolusioner. Kita harus menjelaskan bahwa satu-satunya cara efektif untuk mempertahankan revolusi adalah dengan menempatkan kelas buruh sebagai pemimpin. Model kita seharusnya adalah demokrasi buruh dari Komune Paris dan "Negara dan Revolusi"nya Lenin. Kami mendukung diskusi politik yang paling luas dan paling bebas di antara kaum revolusioner. Media pemerintah harus terbuka untuk semua tendensi revolusioner. Di semua tempat kerja, buruh itu sendiri yang harus memiliki kekuasaan penuh untuk membenahi ulang produksi agar lebih efisien. Selain itu, privelese-privilese birokrasi (toko khusus, akses istimewa ke kebutuhan pokok) harus dihapuskan. Semua pejabat negara harus dipilih dan dapat direcall setiap saat.

Nasib revolusi Kuba pada akhirnya akan ditentukan oleh perjuangan kelas internasional. Kaum revolusioner Kuba harus mengadopsi posisi internasionalis revolusioner sosialis, alih-alih posisi yang berdasarkan kepentingan geopolitik dan diplomasi. Kami mendukung demokrasi buruh dan sosialisme internasional.

Peristiwa revolusioner dan pemberontakan yang telah terjadi di berbagai negara Amerika Latin dan terpilihnya para pemimpin “progresif” dengan dukungan buruh dan tani (AMLO di Meksiko, Arce di Bolivia, Castillo di Peru, dll.) menjadi bantahan terhadap orang-orang (termasuk kaum sektarian) yang berpendapat bahwa ada “gelombang konservatif” di Amerika Latin. Kapitalisme di sini jauh lebih lemah daripada di negeri-negeri kapitalis maju, dampak pandemi telah menghancurkan kesehatan dan ekonomi, dan massa menjadi semakin kuat dalam perjuangan-perjuangan mengesankan yang telah kita saksikan baru-baru ini. Untuk semua alasan ini, Amerika Latin sangat mungkin menjadi salah satu lokasi peristiwa revolusioner yang akan datang.

Eropa

PDB Uni Eropa menyusut 7 persen pada 2020. Ini adalah penyusutan terbesar di Eropa semenjak Perang Dunia Kedua. Angka resmi menunjukkan 13,2 juta orang menganggur, tetapi bila kita ikut sertakan jumlah pekerja yang diberhentikan sementara, angka pengangguran yang sesungguhnya lebih dekat ke sekitar 20 juta (atau 12,6 persen). 30 juta penganggur lainnya hilang dari angka resmi ini, yang dianggap sebagai “pengangguran tersembunyi.”

Komisi UE tidak becus dalam meluncurkan kampanye vaksinasi Covid-19, yang menyebabkan kelangkaan besar di seluruh Eropa. Denmark awalnya hanya menerima 40.000 dosis, padahal mereka mengharapkan 300.000. Belanda awalnya tidak menerima satu pun dosis.

Kegagalan program vaksinasi ini mengulang bencana krisis kelangkaan APD tahun lalu. Ketika Italia tengah menghadapi dampak terburuk pandemi, solidaritas Eropa dicampakkan sepenuhnya. Setiap orang untuk dirinya sendiri. Program Vaksinasi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali solidaritas Uni Eropa, tetapi ini menemui kegagalan.

Lebih parah lagi, eskalasi kebijakan pengetatan (lockdown, dsb.) guna menanggulangi pandemi virus korona di 21 negeri UE telah memperlambat aktivitas ekonomi secara masif, sehingga blok UE menghadapi resesi double-dip.

Pada musim semi lalu, ketika pandemi pertama kali meledak, ekonomi zona euro mengalami guncangan dalam yang mendadak. Gelombang infeksi baru kali ini akan berlangsung lebih lama, yang akan menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang lebih lamban tetapi lebih parah.

Sektor pariwisata, retail, perhotelan, tingkat kepercayaan bisnis dan belanja konsumen, semua ini telah terdampak selama minggu-minggu pertama 2021. Ini mengancam menyebabkan gelombang pailit yang tertunda, kecuali bila pemerintah dan bank sentral melanjutkan kebijakan stimulus mereka untuk menopang ekonomi.

Sebagai akibatnya, para ekonom mengantisipasi, kontraksi output di zona euro sebesar 1,8-2,3 persen pada kuartal keempat 2020 akan disusul dengan kontraksi pada kuartal pertama 2021 di kebanyakan ekonomi besar UE, termasuk Jerman dan Italia. Ini dapat menjerumuskan zona euro ke dalam resesi kedua dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun saja.

Setelah Brexit dan Trump, yang tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap semua hal yang berbau Eropa, kaum borjuasi Eropa merasa mereka tidak bisa lagi mengandalkan sekutu-sekutu lama mereka. Usaha bodoh Emmanuel Macron untuk menjadi kawan baiknya Trump berakhir dengan kegagalan yang spektakuler.

Trump telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa dia melihat Eropa sebagai musuh utama, sementara Rusia hanyalah “kompetitor”. Dia menindaklanjuti perkataannya dengan tindakan. Kebijakan proteksionisnya ditujukan tidak hanya ke China tetapi juga ke Eropa. Dan dia mempertahankan sikap keras kepalanya sampai hari terakhirnya sebagai presiden. Pada malam tahun baru, AS mengumumkan kenaikan tarif impor suku cadang pesawat terbang dan anggur dari Prancis dan Jerman.

Biden berupaya merajut kembali hubungan dengan Eropa. Dia telah menegaskan kembali komitmen pada multilateralisme, termasuk dengan bergabung kembali ke WHO dan perjanjian iklim Paris. Dia juga membeking Dirjen baru WHO. Sikap AS terhadap perjanjian nuklir Iran juga telah berubah. Semua ini adalah langkah yang disambut baik oleh Eropa, yang mendambakan perubahan arah dari Gedung Putih. Trump menyebut strategi baru ini “Amerika Last” (Amerika Terakhir).

Namun, ada sejumlah konflik di antara kedua kubu ini yang jauh lebih sulit diselesaikan. Eropa tidak terlalu yakin akan strategi AS dalam menghadapi China. Mereka juga ingin mengambil peluang dari perang dagang AS dengan China untuk kepentingan mereka sendiri. Pakta Investasi baru yang disetujui oleh China dan UE pada minggu-minggu terakhir masa jabatan Trump dilihat oleh banyak pihak sebagai tamparan memalukan terhadap Joe Biden, yang terpaksa ditelan oleh Biden.

Ada konflik-konflik jangka panjang yang harus dibenahi: konflik bantuan negara Airbus-Boeing yang telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa kepastian resolusi. Nord Stream 2 Pipeline juga menciptakan konflik besar antara AS dan Jerman, dengan AS bersikeras bahwa pipa ini akan memperkuat pengaruh Rusia di Eropa. Relasi baru antara Biden dan Eropa akan diuji di bulan-bulan mendatang tatkala kedua pihak berusaha menghidupkan kembali ekspor mereka selama krisis pasca-pandemi.

Jerman telah menjadi jangkarnya Eropa, sebuah pulau kestabilan di tengah lautan yang bergolak. Angela Merkel dianggap sebagai pemimpin yang kokoh di negeri yang paling penting di Eropa. Tetapi dengan pandemi datang masalah baru.

Uni Eropa sudah mengalami ketegangan yang meningkat antara di antara anggota-anggotanya setelah krisis 2008. Brexit menjadi titik balik dalam dinamika ini, begitu pula krisis pandemi dan nasionalisme yang mendominasi selama krisis kesehatan. Krisis global yang mendalam akan memberikan tekanan besar ke arah ini: UE harus bersaing dengan blok imperialis lainnya sementara pada saat yang sama negeri-negeri anggota UE akan bersaing satu sama lain untuk mengekspor krisis mereka sendiri.

Kapitalis Jerman telah mengakui bahwa mereka harus mengubah metode mereka untuk menghentikan laju keretakan Uni Eropa. Kecenderungan keretakan ini semakin parah ketika pandemi memukul. Pada musim gugur lalu, Jerman terpaksa menanggung 750 juta euro pinjaman untuk European Recovery Fund guna mempertahankan kesatuan UE. Paket stimulus besar ini akan memberikan kelegaan sementara bagi UE, tetapi ini hanya subsidi sekali saja. Seruan untuk melanjutkan subsini ini dengan tegas telah diblokir oleh Jerman. Pada akhirnya, tidak ada satupun problem yang telah diselesaikan.

Merkel terpaksa memperpanjang lockdown di Jerman. Koalisinya saling bertengkar karena laju vaksinasi yang lamban dan persediaan vaksin yang tak memadai. Mood nasional telah bergeser dari suka cita menjadi muram. Financial Times berkomentar: “Medan politik menyongsong pemilu September nanti terlebih lebih terpecah-belah dan bergolak.”

Di Prancis, pemerintahan Macron sekarang sudah terdiskreditkan, dengan tingkat ketidakpercayaan 60%: paling buruk sejak gerakan protes rompi kuning. Tingkat pengangguran resmi mencapai 9 persen, tetapi pada kenyataannya jauh lebih tinggi.

“Debat besar nasional” gagal sama sekali untuk memulihkan dukungan masyarakat untuk pemerintah, begitu juga pemecatan Perdana Menteri Edouard Phillipe. Dan usaha berulang kali Macron untuk berlakon sebagai “negarawan bijak” di lapangan internasional tidak menghasilkan apapun kecuali tawa sarkastis dari semua pihak.

Inggris

Belum lama yang lalu, Inggris mungkin adalah negeri yang paling stabil di Eropa. Sekarang ia telah menjadi mungkin negeri yang paling tidak stabil.

Krisis hari ini dengan kejam mengekspos kelemahan kapitalisme Inggris. Ekonomi Inggris jatuh sebesar 9,9 persen pada 2020, dua kali lipat Jerman dan tiga kali lipat AS. Sekarang, dihadapkan dengan dampak pandemi dan kekacauan Brexit, resesi lebih lanjut menjadi tak terelakkan.

Brexit adalah tindakan yang murni tidak waras dari Partai Konservatif, yang kini sudah tidak lagi berada di bawah kendali langsung kelas penguasa. Pemerintah dipimpin oleh seorang badut sirkus, yang pada gilirannya dikendalikan oleh kaum sauvinis reaksioner yang tidak waras.

Kendati memenangkan mayoritas besar pada pemilu Desember 2019, Partai Konservatif semakin terdiskreditkan, terutama dengan ketidakbecusannya dalam mengelola pandemi, dengan jumlah kematian yang lebih tinggi dibandingkan semua negeri lain di Eropa. Jumlah kematian (angka resmi jelas lebih rendah daripada yang sesungguhnya) di antara yang tertinggi di dunia. Namun Partai Konservatif terus menolak mengambil kebijakan yang diperlukan, dan hanya mengambilnya setelah situasi menjadi terlalu parah.

Para politisi Konservatif tidak peduli pada nyawa dan kesehatan rakyat. Mereka juga tidak peduli dengan kondisi National Health Service (NHS) yang menyedihkan ini, yang disebabkan oleh kebijakan pemotongan anggaran kesehatan mereka selama puluhan tahun. Mereka hanya dimotivasi satu hal: profit.

Partai Konservatif bermaksud meneruskan produksi dengan segala cara. Inilah mengapa mereka bersikeras ingin membuka kembali sekolah. Ini memicu protes massa dan rapat akbar online 400.000 guru pada hari-hari pertama Januari. Ancaman mogok mereka memaksa pemerintah untuk menutup kembali sekolah.

Namun, kendati tidak populernya pemerintah, Partai Buruh dan kepemimpinan sayap kanan Partai Buruh masih tertinggal di belakang Partai Konservatif. Tidak ada oposisi riil dari Partai Buruh.

Pengunduran diri Corbyn dan McDonnell menyusul kekalahan Partai Buruh pada pemilu Desember 2019 merupakan pukulan serius terhadap sayap kiri dan hadiah bagi sayap kanan. Sayap kiri memiliki semua peluang untuk merombak Partai Buruh. Mereka didukung penuh oleh anggota akar rumput. Perombakan ini memerlukan pembersihan yang menyeluruh terhadap sayap kanan kelompok Parlementer Partai Buruh dan birokrasi. Tetapi Corbyn, McDonnell, dan pemimpin kiri lainnya enggan melakukan ini dan menolak mendukung slogan pemilihan ulang anggota parlemen yang diajukan oleh kaum Marxis dan aktivis-aktivis lainnya dan memperoleh dukungan luas akar rumput.

Pada analisa terakhir, kaum Kiri ini takut membawa perjuangan ini sampai ke konsekuensi akhirnya, yang akan berarti perpecahan penuh dengan sayap kanan. Tetapi sayap kanan tidak bermurah hati terhadap kaum Kiri. Melihat sayap Kiri yang lembek, sayap kanan langsung melakukan pembersihan terhadap anggota-anggota Partai Buruh yang Kiri, termasuk dengan menskors Corbyn. Kelembekan kaum Kiri bukanlah masalah moralitas. Ini adalah masalah politik. Kelembekan ini adalah karakter utama reformisme kiri.

Kapitalis besar kini mengendalikan Partai Buruh. Pemimpin Partai Buruh Keir Starmer berbicara bukan seperti pemimpin oposisi, tetapi seperti anggota kabinet Boris Johnson. Dia menunggu Johnson untuk bertindak terlebih dahulu sebelum dia sendiri menyahut “saya juga”.

Tetapi sekarang sayap kanan telah kelewatan. Karena kebijakannya, sayap kanan tengah mendorong kaum Kiri untuk berjuang melawan.  Panggung konflik tengah dipersiapkan di dalam Partai Buruh.

Panggung tengah dipersiapkan untuk benturan di dalam Partai Buruh. Secara efektif, kita membentuk front persatuan dengan kepemimpinan Kiri Partai Buruh, dan terutama, di dalam serikat-serikat buruh. Ini adalah perkembangan yang sangatlah penting. Ini menunjukkan bahwa kamerad-kamerad kami telah memenangkan otoritas sebagai satu-satunya tendensi Marxis yang serius di dalam gerakan buruh.

Apapun yang terjadi, tendensi Marxis dapat meraih pencapaian dan banyak pintu baru yang akan terbuka bagi kami. Seni politik adalah merenggut setiap peluang yang muncul. 

Italia

Italia tetap merupakan mata rantai terlemah dari keseluruhan rantai kapitalisme Eropa. Kelemahan kroniknya telah terpampang jelas oleh krisis pandemi. Tidak mampu bersaing dengan perekonomian-perekonomian lebih besar seperti Jerman, Italia semakin tertinggal di belakang, dan semakin terjerumus ke dalam lubang hutang.

Sistem perbankannya terus ada di ujung tanduk, dan keruntuhannya dapat menyeret seluruh Eropa. UE terpaksa menopangnya persis karena itu, tetapi ini dilakukannya sembari mengumpat di belakang.

Para bankir Jerman, terutama, telah menjadi semakin tidak sabar dan belum lama yang lalu mereka menuntut dicanangkannya kebijakan-kebijakan serius untuk memangkas anggaran pemerintah dan menggerus taraf hidup rakyat. Dalam kata lain, mereka tengah mendorong Italia ke jurang. Nada mereka agak berubah setelah pandemi mendorong mereka semua untuk memohon bantuan pemerintah. Segera setelah pandemi selesai, mereka akan kembali menuntut pemangkasan dengan lebih buas.

Untuk menavigasi krisis hari ini, kelas penguasa Italia memerlukan sebuah pemerintah yang kokoh. Tetapi ini mustahil. Rejim politik Italia busuk sampai ke akar-akarnya. Tidak adanya kepercayaan pada para politisi terekspresikan dalam krisis permanen yang melanda pemerintahan. Berbagai koalisi goyah susul menyusul, sementara di antara rakyat pekerja tidak ada perubahan. Massa putus asa, dan dalam mencari jalan keluar mereka mengayun keras dari kanan ke kiri dan sebaliknya.

Krisis ini sangat diperparah oleh pandemi, yang memukul Italia lebih awal dan lebih keras dibandingkan banyak negeri lain. Saat dokumen ini ditulis, jumlah kematian akibat Covid-19 telah mendekati 100.000.

Kelas penguasa berharap dapat mempertahankan koalisi Kiri-Tengah selama mungkin guna mencegah ledakan sosial. Tetapi ini menjadi mustahil, karena satu per satu opsi politik sudah dihabiskan. Merasa bokongnya dipanggang api, partainya Renzi, Italia Viva, menarik keluar tiga menterinya dari kabinet koalisi Conte dengan dalih kegagalan pemerintah dalam menangani Covid-19, yang menyebabkan jatuhnya pemerintah dan membuka pintu bagi terbentuknya pemerintah Draghi.

Presiden Republik turun tangan, dan alih-alih menyatakan pemilu awal, dia mengundang Draghi, mantan gubernur Bank Sentral Eropa untuk membentuk pemerintah. Di sini kita saksikan lagi sebuah contoh bagaimana seorang “teknokrat” dipasang sebagai perdana menteri, tanpa dipilih oleh seorangpun.

Kebangkrutan “Kiri-Tengah” memberi kesempatan bagi formasi Kanan-Jauh seperti Partai Brothers of Italy. Mereka tidak ikut serta dalam koalisi yang membeking Draghi, pertama karena mereka tidak dibutuhkan, dan kedua karena mereka berusaha menggerus dukungan dari kanan dari Partai Lega yang kini berada di dalam koalisi.

Cepat atau lambat, sandiwara parlemen ini akan digantikan oleh pertempuran terbuka antar kelas. Di atas basis sistem yang ada, tidak akan mungkin ada kestabilan. Di Italia, tidak ada partai buruh massa. Tetapi massa semakin geram dan tidak sabar setiap harinya. Aksi-aksi buruh yang militan pada bulan pertama pandemi adalah peringatan akan apa yang akan datang.

Jatuh bangunnya pemerintah berkali-kali niscaya akan mengarah ke ledakan perjuangan kelas. Pada akhirnya, problem-problem masyarakat Italia tidak akan diselesaikan di dalam parlemen, dan harinya akan cepat tiba ketika pusat gravitasi peristiwa akan berpindah dari parlemen ke pabrik-pabrik dan jalan-jalan.

Rusia

Pergolakan dan ketidakstabilan yang serupa bisa dilihat di mana-mana. Di Rusia, kembalinya dan tertangkapnya Alexei Navalny menjadi sinyal untuk gelombang protes yang menyapu seluruh negeri. Ada demonstrasi 40.000 orang di Moskow, 10.000 di Petersburg, dan ribuan lagi di 110 kota lainnya, termasuk Vladivostok dan Khabarovsk.

Protes-protes ini tidaklah dalam skala masif yang sama seperti yang kita saksikan di Belarus belum lama ini, ketika jutaan tumpah ruah di jalan-jalan untuk menumbangkan Lukashenko. Namun dalam konteks Rusia, demo-demo ini masif. Komposisinya sangat heterogen, dengan banyak kaum kelas menengah, intelektual, liberal – tetapi juga cukup banyak buruh, dan terutama kaum muda.

Polisi menanggapi dengan represi. Baku hantam di jalan-jalan terjadi di banyak kota. Massa menerobos barikade polisi, dengan sekitar 40 polisi yang luka-kula. Ribuan demonstran ditangkap.

Protes-protes ini sebagian merupakan cerminan kegeraman terhadap ditangkapnya Navalny. Tetapi masalah Nalvany hanyalah satu elemen dari keseluruhan situasi, dan bukanlah yang paling penting.

Alexei Navalny dilukiskan oleh media Barat sebagai pahlawan pembela demokrasi. Pada kenyataannya, dia adalah seorang oportunis ambisius dengan masa lalu politik yang disangsikan. Dia akan figur aksidental.

Tetapi figur aksidental juga memainkan peran dalam sejarah pada momen tertentu. Seperti dalam ilmu kimia, sebuah katalis diperlukan untuk memulai sebuah reaksi kimia tertentu, begitu juga dalam proses revolusioner, sebuah titik rujuk diperlukan untuk bertindak sebagai detonator untuk memercikkan kekecewaan massa yang sudah terakumulasi. Watak persis katalis ini tidaklah relevan. Dalam kasus ini, katalis ini adalah penangkapan Navalny. Tetapi ini bisa saja dimainkan oleh faktor lain.

Taraf Hidup Memburuk

Keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat aksiden, dan hal terutama bukanlah aksiden tetapi keniscayaan itu sendiri. Penyebab utama kebangkitan gerakan di Rusia adalah kemarahan rakyat yang menumpuk akibat memburuknya taraf hidup, krisis ekonomi, skandal-skandal korupsi, dan rejim yang represif.

Semua indikator menunjukkan menurunnya dukungan untuk Putin. Sebelumnya, survei biasanya memberinya dukungan di atas 70 persen. Bahkan pada saat aneksasi Crimea, dukungannya menanjak sampai lebih dari 80 persen. Tetapi sekarang dukungannya berkisar 63 persen, dan pada titik terendahnya hanya di atas 50 persen. Hasil-hasil survei ini pasti menimbulkan kecemasan besar di Kremlin.

Di masa lalu, Putin dapat membanggakan sejumlah keberhasilan dalam ekonomi, tetapi tidak lagi demikian. Dari 2013-2018, sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi per tahunnya hanya 0.7 persen, dalam kata lain stagnan. Pada akhir 2020, ekonomi menyusut 5 persen. Pengangguran melambung tinggi dan banyak keluarga yang kehilangan rumah mereka.

Untuk sementara, terutama menyusul aneksasi Crimea, yang mayoritas penduduknya Rusia, Putin memainkan kartu nasionalisme. Ini mendorong popularitasnya, tetapi asap sauvinisme yang memabukkan ini sudah mulai menghilang, dan kredibilitas Putin terpukul secara serius oleh reforma pensiunnya.

Ada kebencian yang membesar setiap harinya terhadap korupsi buas dan gaya hidup mewah para elite penguasa. Dua hari setelah dia ditangkap, Navalny mengedarkan sebuah video, yang ditonton oleh jutaan, yang membongkar praktik korupsi Putin, dengan menunjukkan istana megah yang dia bangun di Laut Hitam. Semua ini mengumpul menjadi mood yang meledak-ledak.

Basis dukungan rejim Putin semakin menyempit. Di luar klik oligarki Kremlin yang terkenal korup itu, basis rejim terutama terdiri dari pegawai negeri yang pekerjaan dan kariernya tergantung pada atasan mereka, selapisan kroni yang tergantung pada kontrak pemerintah dan relasi bisnis dengan Kremlin, dan lapisan lainnya yang telah menjadi kaya raya lewat nepotisme.

Terakhir, Putin mengandalkan aparatus keamanan dan militer. Rejim Putin adan rejim Bonapartis borjuis. Pada analisa terakhir, Bonapartisme adalah kekuasaan lewat pedang. Putin adalah “tangan besi” yang berdiri di tampuk negara dan menyeimbangkan kelas-kelas, yang memperkenalkan dirinya sebagai pengejawantahan bangsa Rusia.

Tetapi Putin layaknya raksasa berkaki lempung. Seiring dengan tergerusnya basis dukungan massanya, untuk mempertahankan kekuasaannya dia semakin harus mengandalkan penipuan, kecurangan pemilu, dan represi terbuka.

Talleyrand konon pernah berkata pada Napoleon bahwa kau bisa melakukan banyak hal dengan pisau bayonet, tetapi kau tidak bisa duduk di atasnya. Putin sebaiknya mendengarkan petuah ini. Menangkapi, memenjarakan, dan meracuni musuh-musuh politik bukanlah tanda kekuatan tetapi tanda kelemahan dan rasa takut.

Terlebih lagi, teror sebagai senjata dapat digunakan secara efektif hanya untuk sementara, tetapi hukum diminishing returns (hasil lebih yang semakin berkurang) berlaku. Cepat atau lambat, rakyat mulai kehilangan rasa takut mereka. Ini adalah momen paling berbahaya bagi setiap rejim otoriter. Demonstrasi-demonstrasi belakangan ini adalah bukti bahwa proses ini telah dimulai.

Pada kenyataannya, satu-satunya hal yang mempertahankan rejim ini adalah kelembaman massa, tetapi ini hanya untuk sementara saja. Mustahil untuk mengatakan secara pasti berapa lama kesetimbangan yang labil ini akan terus berlangsung. Untuk sementara, represi masif telah berhasil meredam gerakan protes. Tetapi tidak ada satupun akar permasalahan yang telah diselesaikan.

Protes-protes baru-baru ini telah membuat kuatir rejim Putin, yang menggunakan kombinasi represi dan konsesi. Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk membantu keluarga-keluarga termiskin. Ini mungkin akan membeli mereka sejumlah waktu. Tetapi harga minyak yang relatif rendah terus berdampak buruh pada perekonomian Rusia, dan sanksi-sanksi ekonomi dari AS masih berlaku dan bahkan akan semakin diperketat. 

Partai “Komunis” Rusia

Di Rusia, peran faktor subjektif sangatlah jelas. Bila CPRF adalah Partai Komunis yang sejati, mereka sudah akan bersiap mengambil kekuasaan. Tetapi klik Zyuganov tidak punya niat untuk berkuasa. Mereka memiliki sebuah kesepakatan yang nyaman dengan Putin, yang menjamin privilese-privilese mereka dengan syarat mereka tidak mengganggu cengkeraman kekuasaannya.

Sikap para pemimpin CPRF telah membuat anggota-anggota akar rumput partai semakin gelisah. Telah terjadi sejumlah pembangkangan di tingkatan lokal dan daerah, yang telah diredam dengan pemecatan. Sejumlah organisasi daerah telah dihancurkan dengan cara ini. Zyuganov khawatir akan munculnya sentimen oposisi radikal di dalam partai. Dan berkembangnya oposisi semacam ini dan semakin dalamnya krisis di dalam Partai Komunis membuat peluang untuk menguatnya pengaruh Marxis yang sejati di antara kaum komunis akar-rumput.

Perdamaian yang penuh kegelisahan sekarang mungkin dapat bertahan selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Tetapi tertundanya gerakan hanya akan berarti bahwa kontradiksi akan terus tumbuh, dan mempersiapkan jalan untuk ledakan yang bahkan lebih besar di masa depan. Elemen paling menentukan dalam persamaan ini adalah kelas buruh Rusia, yang sampai sekarang belumlah menunjukkan kekuatan penuhnya. 

Mustahil untuk memprediksi secara persis bagaimana peristiwa akan bergulir. Rusia belumlah memasuki situasi pra-revolusioner, tetapi peristiwa tengah bergerak dengan sangat pesat. Kita harus mengikuti apa yang terjadi di negeri ini.

India

Di India, kita saksikan gerakan insureksioner petani yang menggelar demo dengan menggunakan traktor untuk memblokade Parade Hari Republik di Delhi pada 26 Januari, saat Modi merayakan hari ini dengan parade militer besar.

Peristiwa ini harus diletakkan di konteks krisis kapitalisme global. Di tengah kompetisi buas dalam sektor pertanian, korporasi multinasional berniat menekan harga yang diterima oleh petani kecil dan menengah untuk hasil pertanian mereka sampai ke harga produksi.

Dominasi pasar dalam pertanian Indian bukanlah fenomena baru. Ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, seperti yang kita saksikan di bahwa pemerintah Manmohan Singh sebelumnya. Kapital finans telah memenetrasi pertanian India dalam skala besar, dan memaksa petani untuk semakin bersandar pada hutang, sampai ke tingkat yang tak tertanggungkan, untuk bisa membeli suplai pertanian, yang ongkosnya telah melambung tinggi.

Segera setelah UU Pertanian baru ini lolos, harga yang diterima petani terpangkas sampai 50 persen, sementara harga pangan naik. Situasi yang tak tertanggungkan inilah yang memicu gerakan besar petani India. Mereka menuntut dibatalkannya UU baru ini. Tetapi tidak ada satupun tuntutan mereka yang terpenuhi, dan tidak ada satupun problem yang selesai lewat perundingan.

Apa yang dimulai pada Agustus 2020 dengan protes-protes kecil di Punjab, ketika RUU Pertanian Modi diumumkan, dengan cepat meledak menjadi gerakan yang lebih besar, yang menyebar ke negara-negara bagian lainnya. Pada September 2020, serikat-serikat tani di seluruh penjuru India menyerukan Bharat Bandh (pemogokan umum). Gerakan ini terus membesar, karena perundingan dengan pemerintah yang tidak ada habis-habisnya itu tidak membuahkan hasil nyata. Lima juta orang turut serta dalam protes di lebih dari 20.000 lokasi pada Desember 2020.

Titik balik penting dalam gerakan ini tiba dengan peristiwa dramatis pada 26 Januari, saat ratusan ribu petani turun ke jalan-jalan di Delhi untuk menyampaikan tuntutan mereka. Kaum tani ini menyeruak masuk secara paksa dari pinggiran kota ke kawasan Red Fort yang historis. Rakyat miskin ini menunjukkan keberanian luar biasa, baku hantam dengan polisi yang bersenjata lengkap, diserang dengan pecut, diinjak-injak dan dipukuli.

Kendati represi hebat polisi, para petani menyerbu Red Fort dan mendudukinya. Polisi harus bersusah payah untuk mengusir mereka. Seorang demonstran mati, dan lebih dari 300 polisi terluka. Ini hanya membuat kaum tani lebih geram, dan semakin banyak petani dari berbagai daerah lainnya yang bergabung ke dalam gerakan sebagai bentuk solidaritas.

Cakupan perjuangan ini juga merefleksikan gejolak dalam seluruh masyarakat, dimana bahkan lapisan yang sebelumnya dianggap relatif konservatif di daerah pedesaan kini bergerak dan menjadi radikal akibat pukulan krisis ekonomi.

Belum lama yang lalu, ketika Modi pertama kali memenangkan pemilu, kaum Kiri yang letih dan mantan-mantan Kiri mengeluh mengenai kebangkitan “fasisme” di India. Sebaliknya, tendensi Marxis memahami bahwa Modi hanya akan menyiapkan kondisi perlawanan balik yang masif. Perspektif kami telah terkonfirmasi oleh peristiwa dalam skala besar. Jauh dari fasisme, yang kita saksikan adalah polarisasi kelas dan perjuangan kelas yang intens.

Peran kaum Stalinis

Modi jelas telah terguncang oleh insureksi tani ini, yang memberi gambaran akan kemarahan massa yang sudah terakumulasi. Tetapi kelemahan gerakan di India dapat ditemukan dalam kepemimpinan serikat buruh, yang telah gagal memimpin kelas buruh India yang kuat itu untuk mendukung kaum tani.

Semua ini setelah bertahun-tahun dimana kita saksikan mobilisasi-mobilisasi hebat dari proletariat India, dengan beberapa pemogokan umum 24-Jam, yang melibatkan sampai 200 juta buruh – pemogokan umum terbesar dalam sejarah kelas buruh internasional.

Pada September 2016, antara 150-180 juta pegawai negeri mogok umum 24 jam. Pada 2019, sekitar 220 juta buruh berpartisipasi dalam pemogokan umum, dan lagi pada Januari 2020, 250 juta buruh mogok 24 jam.

Fakta-fakta ini mendemonstrasikan potensi revolusioner besar dari proletariat India. Kaum buruh siap berjuang. Akan tetapi, kebijakan Stalinis bukanlah untuk memobilisasi massa untuk pertempuran menentukan dengan rejim Modi, tetapi hanya untuk bersandar pada gerakan massa guna memperoleh konsesi dan kesepakatan dengan Modi.

Dalam praktik, mereka menggunakan taktik pemogokan umum 24-jam untuk melepaskan tekanan amarah massa, sementara mengalihkan gerakan massa ini ke saluran yang aman. Ini adalah taktik serupa yang digunakan oleh para pemimpin serikat buruh di Yunani, yang menyerukan serangkaian pemogokan umum 1-hari. Ini adalah muslihat untuk meletihkan massa, dan mengubah pemogokan umum menjadi gestur, yang menciptakan ilusi adanya tindakan serius, sementara justru menggembosi tindakan tersebut dalam praktiknya.

Slogan Pemogokan Umum

Di India, secara objektif, semua syarat sudah terpenuhi untuk pemogokan umum sampai habis. Para pemimpin Partai-partai Komunis dan serikat-serikat buruh semestinya dapat memainkan peran penting dalam pemogokan ini, tetapi mereka menyeret kaki mereka. Mereka bisa saja menumbangkan pemerintahan Modi, dan mengakhiri kebijakan-kebijakan reaksionernya. Alih-alih, mereka hanya mengeluarkan statemen simbolik, tetapi tidak menyerukan aksi serius.

Ini menggarisbawahi urgensi untuk membangun kekuatan Marxisme di India. Tetapi kita harus mempertahankan sense of proportion, yakni mampu mengukur kekuatan sendiri. Organisasi kita di India masih dalam tahapan embrio. Akan menjadi kesalahan fatal untuk melebih-lebihkan apa yang sesungguhnya bisa kita capai.

Tugas kita bukan memimpin gerakan atau memenangkan massa, tetapi bekerja secara sabar untuk memenangkan elemen-elemen yang terbaik dan paling revolusioner, yang sudah habis kesabarannya dengan kebimbangan dan kegoyahan dari kepemimpinan gerakan.

Kita harus memajukan slogan-slogan transisional yang tepat waktu, yang bersesuaian dengan apa yang dibutuhkan situasi dan dapat mendorong maju gerakan, sementara mengekspos kepengecutan kepemimpinan reformis.

Perjuangan petani telah menyebar gaungnya di pabrik-pabrik. Merasakan api panas di bokongnya, para pemimpin serikat buruh mulai berbicara mengenai pemogokan umum empat-hari. Kita akan mendukung tuntutan semacam ini, tetapi yang dibutuhkan adalah tindakan dan bukan perkataan saja!

Kita harus mengatakan: baiklah, mari kita luncurkan pemogokan empat-hari, tetapi jangan di bibir saja, ayo lakukan! Serukan tanggalnya! Mulai kampanyekan ini di pabrik-pabrik. Serukan rapat-rapat akbar, bangun komite-komite pemogokan. Libatkan kaum tani, perempuan, kaum muda, kaum pengangguran, dan semua lapisan tertindas dalam masyarakat. Dan hubungkan organ-organ perjuangan akar-rumput ini dalam tingkatan kota, daerah, dan nasional. Dalam kata lain, organisir soviet dengan tujuan memindahkan kekuasaan ke buruh dan tani.

Segera setelah massa India diorganisir untuk perebutan kekuasaan, tidak ada satupun kekuatan di muka bumi yang akan dapat menghentikan mereka. Pemogokan empat-hari akan dengan cepat berubah menjadi pemogokan umum tanpa-akhir. Tetapi ini mengedepankan masalah kekuasaan.

Inilah perspektif yang harus secara sabar kita jelaskan ke buruh dan tani India. Dengan cara ini, walaupun kita sangatlah kecil, pesan kita akan menemukan gaungnya di antara lapisan buruh dan muda yang paling maju, yang tengah mencari jalan revolusioner.

Tugas kita adalah memenangkan dan melatih sejumlah kader revolusioner yang akan memungkinkan kita untuk mengintervensi secara efektif peristiwa-peristiwa dramatis yang akan bergulir di periode mendatang.

Myanmar

Kudeta militer di Myanmar merupakan bukti bahwa kita tengah hidup dalam periode “penuh dengan perubahan tajam dan mendadak.” Kudeta ini mengejutkan banyak orang. Militer telah merumuskan konstitusi yang menjamin mereka 25 persen kursi parlemen dan kendali atas sejumlah kementerian kunci. Mereka juga memasukkan sebuah pasal yang memperbolehkan militer untuk mengintervensi pemerintah selama “kondisi darurat.”

Tetapi, kondisi darurat apa? Militer menggunakan dalih palsu bahwa ada kecurangan pemilu yang masif, yang memberi kemenangan besar untuk Aung San Suu Kyi dan National League of Democracy pada November 2020.

Alasan sesungguhnya kudeta ini adalah konflik yang telah lama berlangsung mengenai siapa yang seharusnya mendulang keuntungan dari program privatisasi yang dimulai pada 1988. Sejak 1988, para petinggi militer sibuk memperkaya diri mereka dengan membeli properti-properti milik negara dengan harga murah. Di sisi lain, kaum imperialis, terutama Amerika Serikat, mendorong Myanmar untuk membuka pasarnya ke korporasi-korporasi multinasional.

Problem yang dihadapi oleh kaum imperialis Barat adalah pengaruh dominan China di Myanmar. Kuota ekspor dan impor terbesar Myanmar adalah dengan China. Maka dari itu, ada persaingan antara China dan AS untuk pengaruh di Myanmar, dan Aung San Suu Kyi mewakili kepentingan AS.

Para petinggi militer telah mengubah diri mereka menjadi oligarki kapitalis, dan mereka melihat kemenangan telak NLD berpotensi mengancam kepentingan mereka. Militer dibenci oleh massa, dan kasta militer takut, dengan dukungan yang begitu besar pemerintah NLD akan membatasi kekuasaan dan privilese mereka.

Militer juga takut rasa percaya diri massa yang terus tumbuh setelah pemilu. Militer terbiasa berkuasa dengan komando, dan mereka membayangkan dapat mengintervensi dan mendikte ke arah mana negeri ini akan melangkah. Akan tetapi, mereka tidak mengira penolakan massa yang besar terhadap kekuasaan militer. Massa rakyat belum lupa bagaimana buruknya kehidupan mereka di bawah kuasa militer, dan rakyat melihat kasta militer tidak lebih dari sekumpulan elite yang korup dan serakah.

Di sini kita saksikan sebuah contoh apa yang Marx pernah katakan: “lecutan kontra-revolusi.” Kudeta ini, alih-alih meneror dan melumpuhkan massa, justru mendorong mereka. Perspektif Myanmar, oleh karenanya, adalah satu yang penuh dengan perjuangan kelas yang menajam, bukan paralisis dan demoralisasi.

China

Sebelumnya, China adalah bagian besar dari solusi untuk kapitalisme dunia, sekarang ia adalah bagian besar dari problemnya.

China adalah satu-satunya kekuatan ekonomi utama yang tumbuh pada 2020. Pemerintah China mengintervensi secara menentukan untuk menangkal dampak pandemi dan krisis ekonomi. Dari sudut pandang kapitalis intervensi ini efektif, tetapi ini disertai dengan ongkos yang tinggi. Tingkat hutang China telah melambung tinggi sejak 2008, meningkat sebesar 30% selama pandemi dan mencapai 285% PDB pada 2020. Tingkat hutang China sekarang telah melampaui banyak negeri-negeri kapitalis maju.

Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan 8% tahun ini. Bila proyeksi ini benar, China akan tumbuh paling pesat di seluruh dunia. Tetapi kesuksesan ini akan jadi kejatuhannya, karena sebagian besar pertumbuhan ini datang dari ekspor. Pihak berwenang di Beijing selama beberapa waktu telah berusaha mengubah struktur perekonomian China yang amat bersandar pada investasi dan ekspor, dengan mendorong permintaaan domestik. Mereka juga telah berusaha mengembangkan industri teknologi baru, seperti Kecerdasan Buatan, 5G, dan tenaga listrik surya, yang memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi. Mereka juga berupaya mengembangkan pakta-pakta perdagangan alternatif untuk menangkal upaya AS untuk mengisolasi China.

Tidak ada satupun dari kebijakan-kebijakan ini yang akan menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang tengah berkembang di dalam perekonomian China. Bahkan, sejak pandemi, ekonomi China menjadi semakin tergantung pada ekspor. Lebih jauh lagi, hutang terus meningkat secara eksplosif, konflik-konflik dengan negeri-negeri tetangga dan kekuatan-kekuatan imperialis lainnya semakin menajam, dan ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi terus berlanjut, dengan wilayah-wilayah pantai yang tumbuh pesat dibandingkan wilayah-wilayah interior. Semua in akan memperburuk kontradiksi-kontradiksi sosial yang sudah ada.

Ini adalah resep untuk kontradiksi baru yang mengancam kestabilan, tidak hanya di China tetapi juga seluruh dunia. China mengintervensi secara agresif ke dalam pasar dunia dan harus mengintervensinya bahkan lebih agresif, dengan mengambil peluang dari krisis yang dialami negeri-negeri lain. Ini pada akhirnya akan mempertajam ketegangan antara China dan AS, yang melihat China sebagai bahaya besar terhadap ekonominya dan peran globalnya.

Bukanlah kebetulan administrasi Trump, di masa akhirnya, mengadopsi pendekatan “bumi hangus” terhadap China. Tetapi di bawah Biden, kebijakan AS terhadap China secara fundamental tidak berubah. Partai Republik dan Demokrat keduanya melihat China sebagai ancaman utama terhadap dominasi AS di dunia.

Konflik antara AS dan China berisiko menyebabkan perang dagang yang bahkan lebih serius. Ini adalah ancaman terbesar pada kapitalisme dunia, karena pertumbuhan perdagangan dunia (yang disebut globalisasi) adalah oksigen untuk kapitalisme di masa sebelumnya.

Ini pada gilirannya akan berdampak di dalam China. Krisis ekonomi adalah ancaman serius terhadap kestabilan sosialnya. Sudah ada penutupan pabrik-pabrik dan pengangguran, yang telah ditutup-tutupi, tetapi sesungguhnya ada. Perusahaan-perusahaan swasta yang merugi memecat dan memotong upah buruh. Pembayaran upah ditunda selama berbulan-bulan, yang menumpuk rasa geram dan benci yang semakin tinggi.

Lingkaran penguasa takut akan kemungkinan ledakan sosial akibat krisis ekonomi dan tingkat pengangguran yang meninggi. Inilah alasan utama mengapa Xi Jinping terdorong untuk meredam secara kejam gerakan di Hong Kong. Ini bukan ekspresi kekuatan, tetapi rasa takut dan kelemahan. Kelas penguasa China khawatir kalau-kalau gerakan semacam ini menyebar ke China daratan, dan di hari depan ini pasti akan terjadi, seperti halnya malam menyusul siang.

Rejim sampai sekarang masih berhasil meredam kekecewaan yang membara di seluruh China. Tetapi ini dapat meledak kapanpun, dan bila ini terjadi, akan mustahil untuk merepresinya seperti di Hong Kong. Bahkan di Hong Kong, untuk beberapa waktu rejim kehilangan kendali. Tetapi dihadapkan dengan seratus atau seribu “Hong Kong” di China daratan, rejim akan segera menemukan dirinya goyah.

Peristiwa-peristiwa besar tengah dipersiapkan di China. Dan mereka akan terjadi dengan tanpa disangka, persis karena rejim di China adalah rejim totaliter, dimana hampir semua hal ditutupi.

Perubahan Perimbangan Kekuatan

Yang berhasil mengeluarkan AS dari Depresi 1930an bukanlah New Deal-nya Roosevelt tetapi Perang Dunia Kedua. Tetapi sekarang jalan keluar ini sudah tertutup. Kekuatan imperialisme Amerika telah melemah relatif dengan kekuatan-kekuatan lain, dan begitu juga kemampuannya untuk melakukan intervensi militer.

Kebutuhan untuk menaklukkan pasar dan sumber bahan mentah telah mendorong China untuk lebih agresif dalam mengintervensi pasar dunia. China telah merenggut akses ke sumber daya alam di berbagai belahan dunia. Misalnya, China telah mengamankan kendali atas sebuah pelabuhan dan airport di Sri Lanka; mendirikan pangkalan militer di Djibouti; membangun rel kereta api di Ethiopia; mengamankan tembaga dan kobalt di Kongo; tembaga di Zambia; minyak bumi di Angola; dan seterusnya. China juga mengklaim Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya, yang merupakan rute terpenting untuk perniagaan dunia.

Ini secara langsung mengancam kepentingan imperialisme AS. Semua ini niscaya berarti ketegangan lebih besar antara China dan AS. Di masa lalu, ini jelas akan mengarah ke perang. Tetapi perimbangan kekuatan telah berubah sepenuhnya.

Trump tidak mampu membuat Korea Utara mencampakkan program senjata nuklirnya. “Si Roket Kecil” (Kim Jong-Un) mempermainkannya. Jadi, mengapa AS tidak menyatakan perang terhadap Korea Utara, yang jelas-jelas adalah sebuah negeri Asia yang mungil?

Di masa lalu, Amerika mengobarkan perang di Korea yang berakhir dengan seri. Tetapi di Vietnam, setelah mengucurkan begitu banyak darah dan emas, mereka dikalahkan untuk pertama kalinya. Setelah itu, mereka dipermalukan di Irak, Afganistan, dan Suriah.

Trump tampaknya sedang mempersiapkan serangan udara ke Iran, tetapi di menit terakhir mengurungkan niatnya, karena takut pada konsekuensinya. Semua ini menggarisbawahi fakta bahwa perang bukanlah sebuah masalah abstrak, tetapi sangatlah konkret.

AS tidak mampu mempertahankan Ukraina atau Georgia dari serangan Rusia, yang memiliki angkatan bersenjata yang sangat kuat, yang menunjukkan efektivitasnya di Suriah. AS terpaksa mundur, dan membiarkan Rusia dan Iran menguasai Suriah. Amerika mengirim sejumlah pasukan ke negeri-negeri Baltik untuk “melindungi” mereka dari Rusia. Tetapi Putin tidak punya niatan menginvasi negeri-negeri kecil ini dan tidak terlalu ambil pusing dengan ini.

Perkara China bahkan lebih jelas. China hari ini bukanlah negeri miskin seperti dulu. Ia adalah sebuah negara dengan ekonomi yang berkembang dan angkatan bersenjata yang kuat, dengan senjata nuklir dan misil-misil balistik interkontinental yang dapat menyasar ke kota-kota AS.

Fakta bahwa China baru-baru ini meluncurkan satelit yang mengorbit di bulan dan mengirim misi ke Mars jelas menggarisbawahi poin ini, yang dicatat dengan baik oleh Washington. Oleh karenanya, tidak ada prospek perang di masa depan yang dekat antara AS dan China, atau antara AS dan Rusia.

Perang besar seperti 1914-18 atau 1939-45 hampir mustahil terjadi hari ini karena perubahan perimbangan kekuatan. Di bawah kondisi modern, perang seperti ini akan berarti perang nuklir, yang akan jadi bencana bagi seluruh dunia.

Akan tetapi, ini bukan berarti periode yang mendatang akan penuh dengan kedamaian. Justru sebaliknya. Akan selalu ada perang – perang-perang lokal yang kecil tetapi menghancurkan – terutama di Afrika dan Timur Tengah. Imperialis AS, bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan imperialis lainnya, telah terlibat dalam perang-perang lokal dengan membeking pasukan-pasukan proksi untuk mengobarkan perang melawan kompetitor-kompetitor mereka, dan di masa depan ini akan dilakukannya untuk melawan China. Tetapi, AS sangat enggan membahayakan nyawa serdadu AS di perang-perang asing, karena opini publik Amerika ini sangatlah menentang perang semacam ini.

Situasi ini hanya dapat berubah bila rejim polisi militer Bonapartis mengambil kekuasaan di AS. Tetapi ini hanya bisa terjadi setelah kelas buruh AS menderita serangkaian kekalahan menentukan, dan ini sama sekali bukan perspektif kita. Jauh sebelum kebangkitan rejim Bonapartis, kelas buruh akan memiliki banyak peluang untuk merebut kekuasaan. Kegaduhan terus-menerus dari kaum Kiri dan sekte-sekte mengenai fasisme yang katanya diwakili oleh Trump adalah kekanak-kanakan semata, dan harus kita abaikan sepenuhnya.

Pada masa kini, imperialisme AS menggunakan otot ekonominya untuk menegakkan dominasi globalnya. Administrasi Trump berulang kali menggunakan ancaman sanksi ekonomi untuk mem-bully seluruh dunia untuk manut pada kebijakan Washington. Imperialisme AS telah menjadikan niaga sebagai senjata.

Setelah secara sepihak membatalkan kesepakatan dengan Iran, yang telah dengan susah payah dibroker oleh administrasi AS sebelumnya dan sekutu-sekutu Eropanya, Trump memperketat sanksi terhadap Iran untuk mengacaukan perekonomiannya, dan lalu memaksa perusahaan-perusahaan dan bank-bank Eropa untuk mematuhi sanksi ini, kalau tidak mereka akan dilarang mengakses pasar AS.

Di masa lalu, bila imperialis Inggris punya masalah dengan negeri semi-kolonial seperti Persia, mereka akan mengirim kapal perang. Hari ini, imperialisme AS mengirim sepucuk surat dari Dewan Perniagaan. Pada kenyataannya, dampak surat ini jauh lebih menghancurkan dibandingkan misil-misil dari kapal perang.

Clausewitz mengatakan bahwa perang adalah politik dengan cara lain. Hari ini kita harus menambahkan bahwa perniagaan adalah perang dengan cara lain.

“Ekonomi Dukun”

Tatkala kelas penguasa dihadapkan dengan situasi dimana mereka akan kehilangan semuanya, mereka akan meluncurkan kebijakan-kebijakan nekat untuk menyelamatkan sistem. Demikianlah hari ini. Dalam keputusasaan mereka untuk mencari solusi bagi krisis sekarang, kaum borjuasi seperti orang mabuk yang terhuyung-huyung.

Mereka mengobrak-abrik tong sampah sejarah dan menemukan gagasan tua Keynesianisme. Mereka mendadak mabuk dengan ilusi baru ini, yang sebenarnya adalah teori lama yang sudah terdiskreditkan, yang sebelumnya telah mereka campakkan dengan keji.

Ted Grant menyebut Keynesianisme “ekonomi dukun”. Ini sebutan yang sangat tepat. Gagasan bahwa borjuasi bisa menghindari krisis atau keluar dari krisis dengan menyuntik sejumlah besar dana dari pemerintah terdengar atraktif, terutama bagi kaum reformis kiri karena ini tidak memerlukan perjuangan untuk mengubah masyarakat. Tetapi ada satu masalah kecil.

Pemerintah bukanlah pohon uang ajaib. Gagasan bahwa pemerintah bisa menjadi sumber dana tak-terbatas adalah sepenuhnya omong kosong. Namun omong kosong ini telah diadopsi oleh hampir semua pemerintah. Sesungguhnya, kebijakan ini lahir dari keputusasaan. Dan ini telah menciptakan gunung tinggi hutang yang tidak ada presedennya kecuali pada saat peperangan.

Sekarang, pemerintah di mana-mana menghamburkan uang seperti minum air. Mereka berbicara mengenai membelanjakan miliaran dolar, pound, atau euro layaknya recehan.

Sebagai akibatnya, ada bom waktu hutang yang terus berdetak di bawah fondasi perekonomian. Dalam jangka panjang, dampaknya akan lebih menghancurkan dibandingkan bom teroris manapun. Inilah yang konon pernah disebut ekonom Alan Greenspan sebagai “kegembiraan irasional pasar.”

Kata yang lebih tepatnya adalah “kegilaan.” Kegilaan ini cepat atau lambat akan menyebabkan kemerosotan ekonomi, yang secara halus disebut “koreksi pasar.”

Peran Negara dalam Ekonomi

Pada 8 Mei 2020, Financial Times menerbitkan sebuah editorial yang kami kutip seperti berikut:

“Kecuali bila ada revolusi komunis, akan sulit membayangkan bagaimana pemerintah dapat mengintervensi pasar swasta – untuk tenaga kerja, untuk kredit, untuk pertukaran barang dan jasa – secepat dan sedalam seperti selama dua bulan lockdown ini.”

“Dalam sekejap, jutaan pegawai swasta menerima upah mereka dari anggaran publik dan bank-bank sentral telah membanjiri pasar finansial dengan uang elektronik.”

Tetapi bagaimana statemen ini bisa didamaikan dengan mantra yang sering kali kita dengar bahwa negara tidak memainkan peran apapun dalam “ekonomi pasar bebas”? Financial Times memberikan jawaban yang sangat menarik:

“Tetapi kapitalisme liberal demokratik tidak bisa berdiri sendiri, dan harus dilindungi dan dipertahankan supaya tangguh.”

Dalam kata lain, “pasar bebas” sama sekali tidak bebas. Dalam kondisi hari ini, pasar bebas harus bersandar pada pemerintah sebagai penyokong. Pasar bebas hanya bisa selamat berkat subsidi negara yang masif dan tanpa-preseden. IMF menghitung jumlah total sokongan fiskal di seluruh dunia mencapai 14 triliun dolar AS. Hutang pemerintah di seluruh dunia sekarang telah mencapai 99 persen PBD untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Ini merupakan pengakuan kebangkrutan kapitalisme, dalam makna kata yang sesungguhnya. Problem sentralnya dapat diringkas dengan satu kata: hutang. Total hutang global (termasuk pemerintah, rumah tangga, dan korporasi) pada akhir 2020 telah mencapai 356% PDB, naik 35% dari tahun 2019, dan mencapai rekor $281 triliun. Ini terus melambung tinggi. Inilah bahaya terbesar yang dihadapi sistem kapitalis.

Jepang menghabiskan $3 triliun untuk melunakkan pukulan ekonomi dari Covid-19, yang menumpuk hutang publiknya, yang sudah 2,5 kali lipat dari total ekonominya. Problem ini terutama parah di China, dimana total hutang telah melampaui 280% PDB, yang berarti tingkat hutang China telah mencapai level kebanyakan negeri kapitalis maju, dan hutang ini meningkat pesat di banyak sektor ekonomi.

Pada Januari 2021, Bank Dunia memberi peringatan mengenai bahaya “gelombang hutang ke-4”, yang terutama parah di luar negeri-negeri kapitalis maju. Bank Dunia sangat khawatir akan keruntuhan finansial dengan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang.

Kaum borjuasi bertingkah seperti penjudi tak bertanggung jawab, yang menghabiskan sejumlah besar uang yang tidak dia miliki. Mereka menderita delusi dan lupa daratan, menghabiskan begitu banyak uang dengan harapan bahwa keberuntungannya tidak akan pernah habis, sampai akhirnya momen fatal pun tiba, dan selalu tiba, ketika hutang harus dibayar.

Cepat atau lambat, hutang ini akan mengejar mereka. Tetapi dalam jangka pendek, mereka cukup senang melanjutkan kegilaan ini, dengan terus mencetak uang yang tidak punya basis ekonomi yang riil dan membanjiri ekonomi dengan kapital fiktif yang memabukkan.

Akan tetapi, ini bukan sekadar 'krisis utang', seperti yang dikemukakan oleh beberapa kaum liberal dan reformis. Masalah sebenarnya adalah krisis kapitalisme – krisis overproduksi, di mana hutang yang sangat besar ini merupakan gejalanya. Dalam dirinya sendiri, hutang besar tidak selalu menjadi masalah. Jika ada pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam jangka panjang, seperti selama periode pasca perang, maka hutang tersebut dapat dikelola dan secara bertahap dihilangkan. Tapi perspektif seperti itu tidaklah ada di masa depan. Sistem kapitalis tidak berada di era kebangkitan ekonomi, tetapi era stagnasi dan kemerosotan. Akibatnya, beban hutang ini akan menjadi hambatan yang semakin besar bagi perekonomian dunia. Satu-satunya cara untuk mengurangi hutang ini adalah melalui penghematan; inflasi, yang pada gilirannya akan berakhir dengan keruntuhan dan periode baru penghematan; atau dengan pailit langsung. Tetapi salah satu dari skenario ini akan mengarah pada ketidakstabilan yang lebih besar dan menajamnya perjuangan kelas.

Apakah mungkin ada pemulihan?

Terbawa oleh euforia, mereka bahkan menerbitkan artikel-artikel yang dengan penuh keyakinan memprediksi pemulihan pesat – tidak hanya pemulihan tetapi pertumbuhan masif. Di kolom-kolom pers borjuis, kita dapat membaca prediksi-prediksi pemulihan. Prediksi semacam ini sangat optimis tetapi minim fakta.

Krisis hari ini berbeda dengan krisis-krisis di masa lalu dalam beberapa aspek. Pertama, krisis ini terikat erat dengan pandemi virus korona, dan tidak ada yang dapat memprediksi dengan pasti berapa lama pandemi ini akan berlangsung.

Untuk alasan ini, prediksi ekonomi oleh IMF dan Bank Dunia hanyalah tebakan semata.

Tetapi apakah ini berarti tidak akan ada pemulihan? Tidak. Akan menjadi kesalahan untuk menarik kesimpulan ini. Pada titik tertentu, semacam pemulihan adalah tak terelakkan. Sistem kapitalis selalu bergerak dalam siklus boom-and-slump. Pandemi ini telah mengganggu siklus ini, tetapi tidak menghapusnya.

Lenin menjelaskan, sistem kapitalis mampu keluar dari krisis yang paling dalam sekalipun. Kapitalisme akan terus eksis sampai akhirnya ia ditumbangkan oleh kelas buruh. Cepat atau lambat, kapitalisme akan menemukan jalan keluar dari krisis ini juga. Tetapi mengatakan ini saja tidak cukup.

Masalah ini harus diajukan secara konkret, di atas landasan apa yang telah kita ketahui. Bentuk persis siklus boom-and-slump dapat berubah-ubah secara besar. Dan pertanyaan yang harus ditanyakan adalah: pemulihan macam apa yang sedang kita bicarakan?

Apakah pemulihan ini akan menandai awal masa pertumbuhan dan kemakmuran yang panjang? Atau, pemulihan ini hanyalah jeda sementara sebelum krisis selanjutnya menghantam? Klaim paling optimis mengenai pemulihan ini didasarkan pada adanya “permintaan yang terakumulasi” (setidaknya di negeri-negeri kapitalis maju).

Selama pandemi, konsumen tidak dapat mengeluarkan uang mereka untuk membeli barang-barang, pergi ke restoran, kafe, bar, atau melakukan perjalanan ke luar negeri. Menurut teori ini, berakhirnya pandemi akan melepaskan uang yang tersimpan ini, yang lalu mendorong maju perekonomian dan memulihkan kepercayaan pasar. Fakta ini, bersamaan dengan stimulus uang publik lebih lanjut, dapat mengarah ke pemulihan pesat.

Pemulihan dan Perjuangan Kelas

Mari kita akui, untuk sejenak, bahwa skenario pemulihan ini tidak dapat kita sangkal secara a priori. Apa konsekuensinya? Dari sudut pandang kita, perkembangan semacam ini tidak akan sepenuhnya negatif. Pandemi dan naiknya angka pengangguran sebagai akibatnya, membuat syok kelas buruh dan menciptakan semacam paralisis.

Pandemi menjadi momok bagi aksi-aksi mogok dan bentuk aksi massa lainnya, dan memungkinkan pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan anti-demokratik dengan dalih “memerangi Covid-19”.

Tetapi pemulihan ekonomi yang kecil sekalipun, dengan menurunnya tingkat pengangguran, bersamaan dengan berakhirnya pandemi, dapat mengaktifkan kembali perjuangan ekonomi. Buruh berjuang untuk memenangkan kembali apa yang mereka korbankan selama periode sebelumnya.

Akan tetapi, pemulihan semacam ini akan bersifat sementara dan sangatlah labil, karena pemulihan ini dibangun di atas landasan yang sangat artifisial dan goyah. Benih kehancuran ada di dalamnya. Dan semakin ekonomi melambung, semakin parah kejatuhannya.

Terlebih lagi, pemulihan ini tidak akan merata, dengan China kemungkinan besar melaju pesat sementara AS dan Eropa tertinggal. Ini akan semakin memperburuk ketegangan antara China dan AS, dan juga antara China dan Eropa, yang membuat perang dagang semakin intens, dengan tiap-tiap negeri bersaing berebutan pasar yang sempit, dan ini akan semakin melemahkan perdagangan dunia dan menekan kehidupan ekonomi.

Inilah ancaman terbesar bagi kapitalisme dunia. Mari kita ingat kembali apa yang menyebabkan Depresi Hebat, yang bukan disebabkan oleh keruntuhan bursa saham 1929, tetapi oleh kebijakan proteksionis yang menyusulnya.

Boom Ekonomi 1920an

Ketika pakar ekonomi memprediksi boom ekonomi pasca-pandemi, mereka sering kali menarik paralel dengan boom ekonomi tahun 1920an. Tetapi paralel ini sangatlah labil dan kesimpulan yang dapat kita tarik darinya sama sekali tidak menggembirakan dari sudut pandang kapitalis.

Benar ada pemulihan setelah 1924, dengan karakter yang cukup hiruk pikuk. Spekulasi masif terjadi di bursa saham, yang menghasilkan kapital fiktif yang besar. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa semua ini berakhir dengan Keruntuhan 1929.

Sangat mungkin sekali kita akan mengalami situasi serupa. Dengan satu perbedaan penting. Kapital fiktif yang tanpa preseden ini, yang kini sedang terakumulasi, jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan 1920an, dan bahkan paling besar dalam sejarah. Keruntuhannya oleh karenanya akan jauh lebih besar pula.

Kaum borjuasi telah melupakan satu detail penting. Uang harus merepresentasikan nilai yang riil, kalau tidak maka uang hanyalah secarik kertas saja, semua nota hutang yang mana hutang ini tidak akan pernah dapat terbayar. Di masa lalu, basis uang kertas adalah emas. Setiap bangsa harus menyimpan cadangan emas dan, dalam teori, setiap orang dapat menukarkan uangnya dengan emas.

Dalam praktik, ini mustahil. Berangsur-angsur, orang belajar untuk menerima mata uang dolar, atau pound, atau euro, nilainya “setara dengan emas”. Sebelum emas, kita menggunakan perak. Sebelum itu, bisa apa saja. Bisa produksi. Tetapi, bila uang tidak didasarkan pada semacam nilai yang materiil, maka uang hanyalah secarik kertas yang tak berharga.

Setelah hubungan uang dengan emas diputus dengan dihapuskannya standar emas, pemerintah dan bank sentral dapat mencetak uang kertas sekehendak hati. Tetapi dengan memompa sejumlah besar uang, yang sesungguhnya adalah kapital fiktif, ke dalam perekonomian, relasi antara jumlah uang yang beredar dengan barang dan jasa menjadi terdistorsi. Dalam perekonomian AS, yang diukur oleh M2, suplai uang telah meningkat sebesar 4 triliun dolar pada 2020. Ini adalah peningkatan sebesar 26% dalam satu tahun – peningkatan per tahun terbesar sejak 1943. Ini pada akhirnya harus terekspresikan dalam ledakan inflasi.

Fakta ini kini dengan nyaman diabaikan oleh para politisi, pakar ekonomi, dan bank sentral. Mereka mengatakan, sampai sekarang kekhawatiran akan inflasi masih belum terwujud. Ini tidak sepenuhnya keliru, dan ini mencerminkan anjloknya permintaan, satu gejala dari dalamnya krisis hari ini. Karena tidak memiliki outletnya dalam harga barang-barang konsumen, tekanan inflasi telah memperbesar gelembung spekulasi dalam harga saham, dalam cryptocurrency (mata uang kripto), dsb. Tetapi situasi ini tidak akan berlangsung terus seperti ini. Euforia awal di antara investor akan berubah menjadi kebalikannya.

Pada periode sebelum krisis 2008, inflasi dikendalikan oleh faktor-faktor lain, termasuk pertumbuhan perdagangan global, teknologi-teknologi baru, dan pencarian tenaga kerja murah di apa-yang-disebut Dunia Ketiga. Elemen-elemen ini, yang telah memainkan peran yang kuat selama hampir 30 tahun, sebagian besar telah mengering dalam periode baru-baru ini. Pertumbuhan perdagangan global telah menurun secara signifikan selama beberapa tahun dan teknologi-teknologi baru, yang memungkinkan pemangkasan biaya produksi yang signifikan, telah mencapai titik jenuh.

Bukan suatu kebetulan bahwa semua statistik perdagangan dunia tampaknya menunjukkan kecenderungan ke arah insourcing, yaitu kembalinya produksi ke negeri-negeri asal kapitalis. Kecenderungan ini telah menegaskan dirinya secara spontan melalui pilihan-pilihan strategis perusahaan-perusahaan multinasional, tetapi juga telah diperkuat secara obyektif oleh kebijakan proteksionis Trump dan pemerintah imperialis lainnya.

Setelah krisis tahun 2007, kita saksikan ekspansi berbasis kredit dalam rezim penghematan, yang memiliki karakter yang sangat berbeda dengan hari ini: di masa lalu, uang digunakan untuk rekapitalisasi bank, perusahaan asuransi dan bisnis yang berada di ambang keruntuhan, atau mengalir ke Bursa Saham atau spekulasi properti, tetapi tanpa memperluas basis konsumsi massal.

Hari ini, situasinya telah berubah: efek gabungan dari kecenderungan-kencenderungan baru ini adalah resep untuk inflasi, dan menimbulkan serangkaian pertanyaan yang sangat menarik, yang juga sedang dibahas di eselon tertinggi kelas penguasa. Yang paling penting, apa yang akan terjadi ketika bank sentral harus menaikkan suku bunga dan berhenti membeli obligasi sampah di pasar untuk mengatasi kenaikan inflasi?

Paradoksnya, inflasi adalah semacam "solusi" kapitalis untuk krisis hutang, sejauh kenaikan inflasi dan harga akan mendevaluasi hutang. Tapi ini datang dengan biaya ekonomi dan sosial yang sangat besar. Dan begitu lepas landas, menjadi sangat sulit untuk dikendalikan kembali. Pada tahun 1970-an, Ted Grant menjelaskan bahwa kaum borjuasi, yang khawatir dengan kenaikan inflasi, sedang menunggangi seekor harimau, dan masalahnya adalah bagaimana turun dari harimau ini tanpa dimakan.

Saat ini, upaya untuk menghindari krisis overproduksi yang paling serius dengan apa yang disebut Marx sebagai "trik sirkulasi" adalah permainan yang sangat berbahaya. Di sini, kita telah melampaui Keynes: Keynesianisme menyerukan kepada Negara untuk mengambil hutang dengan menerbitkan obligasi; apa yang diusulkan hari ini secara kualitatif berbeda, yaitu, mengikuti saran gila dari Teori Moneter Modern (MMT) dan dengan demikian mencetak uang tanpa batas.

Apa yang mewakili pergeseran kualitatif nyata dalam sistem kapitalis adalah bahwa teori yang sama sekali tidak rasional seperti MMT menemukan dirinya dalam posisi istimewa untuk mengkondisikan, jika bukan menentukan, pilihan-pilihan ekonomi dari kekuatan imperialis terkemuka di dunia!

Masalah ini tidak hanya menyangkut Amerika Serikat. Kecenderungan ini sekarang sudah mendunia. Baru-baru ini, mantan wakil gubernur Bank of Japan (BoJ), Kikuo Iwata, mengklaim bahwa Jepang harus meningkatkan pengeluaran pajak dengan meningkatkan hutang sektor publik yang dibiayai oleh bank sentral. Proposal "uang helikopter" ini diidentifikasi sebagai solusi untuk pertumbuhan yang rendah dan didasarkan pada gagasan bahwa permintaan harus dirangsang dengan mencetak lebih banyak uang. Ini persis klaim MMT, yang juga didukung oleh Draghi pada 2016, ketika dia menjadi Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), meskipun kontradiksi internal UE tidak memberikan ruang manuver yang sama seperti AS dan Jepang.

Walaupun kita tidak dapat meramal secara persis bagaimana krisis ini akan terkuak, pada satu titik tertentu, tekanan dari hutang besar yang menumpuk ini akan melepaskan kepanikan. Suku-suku bunga harus menanjak tajam untuk memerangi inflasi. Kredit murah, yang sampai saat ini telah menjadi pelampung ekonomi, akan mengering dalam sekejam. Bank-bank akan berhenti memberi pinjaman pada pelaku usaha kecil dan menengah, yang akan pailit.

Seperti pada 1929, realitas ekonomi akan membuyarkan “kegembiraan irasional” para investor. Seperti halnya malam menyusul siang, akan ada kepanikan dalam bursa-bursa saham dunia. Para investor akan menjual saham-saham mereka dengan merugi, yang lalu menyebabkan anjloknya harga-harga saham secara tajam dan tak terhentikan.

Para investor melihat hutang besar yang sedang ditumpuk di AS, dan mulai meragukan nilai dolar AS. Di kemudian hari, kalau tidak ada langkah perbaikan yang serius, orang-orang akan berebutan menjual dolar mereka, dan nilai dolar akan anjlok dan berdampak pada banyak mata uang lainnya, dengan kekacauan dalam pasar valuta asing dunia.

Kapitalis akan mencari tempat berlindung yang aman dengan membeli emas, perak, dan platinum. Ini akan menjadi pembukaan untuk kemerosotan ekonomi yang dalam, dengan jatuhnya investasi, kredit macet, dengan konsekuensi gelombang pailit, penutupan pabrik-pabrik, dan pengangguran.

Akhirnya, krisis akan memukul perbankan. Satu bank besar saja yang jatuh dapat memicu krisis perbankan umum. Ini yang terjadi pada 11 Mei, 1931, ketika bank Creditanstalt Austria mengumumkan bahwa mereka telah kehilangan separuh dari kapitalnya, yang berarti bank tersebut jatuh bangkrut menurut UU Austria.

Semua ini dapat terjadi kembali. Para pakar ekonomi borjuis berusaha menenangkan kecemasan pasar dengan mengulang-uang mantra: ini tidak akan terjadi karena kita telah belajar dari sejarah. Tetapi seperti yang Hegel tunjukkan: “Apa yang pengalaman dan sejarah ajarkan pada kita adalah orang dan pemerintah tidak pernah belajar apapun dari sejarah, atau bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dideduksi darinya.”

Sinyal-sinyal bahaya sudah menyala, dan sejumlah pakar ekonomi yang lebih mawas diri dapat melihat ini. Tetapi kendati semua peringatan, kaum borjuasi tidak punya pilihan lain selain menapak jalan yang telah mereka pilih.

Kapitalisme kini menampakkan semua gejala pembusukan uzur. Kita dapat menyatakan dengan pasti bahwa pemulihan apapun tidak akan berarti perbaikan dalam kesehatan sistem ini secara keseluruhan, tetapi hanyalah lonjakan siklus yang mempersiapkan sebuah krisis yang bahkan lebih dalam di hari depan. Ini adalah hasil tak terelakkan dari kebijakan yang kini dijalankan. Ini adalah perspektif yang riil, dan konsekuensi sosial dan politiknya akan sangat besar.

Konsekuensi sosial dan politik

Bagi kaum Marxis, studi ekonomi hanya penting bila ini mengekspresikan dirinya dalam kesadaran massa. Skenario yang telah kita paparkan memiliki keserupaan dengan tahun 1930an, tetapi ada perbedaan-perbedaan penting.

Pada masa 1930an, kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat diselesaikan dalam jangka waktu yang relatif pendek, dan hanya dapat berakhir dengan kemenangan revolusi proletarian atau kemenangan reaksi (dalam bentuk fasisme atau Bonapartisme). Hari ini, solusi cepat seperti itu tidak ada dalam agenda karena perubahan perimbangan kekuatan.

Kelas buruh hari ini jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan tahun 1930an. Bobotnya dalam masyarakat jauh lebih besar, sementara kekuatan sosial reaksi (petani dan pemilik properti kecil lainnya, dsb.) telah menyusut tajam.

Kaum borjuasi menemukan dirinya menghadapi krisis yang paling serius dalam sejarahnya, tetapi tidak mampu bergerak dengan cepat ke arah reaksi. Di sisi lain, kelas buruh, kendati kekuatan objektifnya, berulang kali dirintangi oleh kepemimpinannya, yang bahkan lebih busuk hari ini dibandingkan selama periode 1930an.

Untuk semua alasan ini, krisis hari ini akan berkepanjangan. Krisis ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun, dan bahkan berdekade, dengan pasang naik dan surut, karena absennya faktor subjektif. Namun, ini hanya satu sisi saja. Bahkan bila krisis ini akan berkepanjangan, bukan berarti tanpa gejolak. Justru sebaliknya, perspektif ke depan akan dipenuhi dengan perubahan-perubahan yang tajam dan mendadak.

Perkembangan kesadaran kelas buruh tidak dapat secara mekanis direduksi ke dalam jumlah pemogokan dan demonstrasi massa. Ini adalah pemikiran kelirunya kaum sektarian dan ultra-kiri yang mendasarkan diri mereka pada aktivisme buta, dan gagal memahami proses-proses radikalisasi yang lebih dalam, yang berlangsung diam-diam di bawah permukaan setiap saatnya. Ini yang Trotsky sebut sebagai proses molekular revolusi sosialis.

Kaum empiris yang picik hanya mampu melihat permukaan, tetapi proses-proses yang nyata luput sepenuhnya dari perhatian mereka. Sebagai konsekuensinya, pijakan mereka langsung goyah saat perjuangan kelas mereda untuk sementara. Mereka jadi putus asa dan pesimis, dan terkejut ketika gerakan tiba-tiba meledak ke permukaan.

Kombinasi pandemi dan pengangguran massal telah merem perjuangan ekonomi. Ada penurunan tajam dalam jumlah pemogokan karena kondisi tidaklah kondusif untuk demonstrasi-demonstrasi massa, walaupun kadang-kadang mereka terjadi. Tetapi absennya perjuangan massa sama sekali bukan berarti perkembangan kesadaran telah terhentikan. Justru sebaliknya.

Kedalaman krisis hari ini tengah merombak psikologi jutaan rakyat. Pemuda, terutama, sangatlah terbuka pada gagasan revolusioner. Kontradiksi-kontradiksi tak-tertanggungkan dalam masyarakat, penderitaan massa yang mengerikan – semua ini menciptakan akumulasi besar kemarahan dan kepahitan, yang perlahan-lahan mengumpul di kedalaman masyarakat.

Kelas buruh untuk sementara waktu mengalami disorientasi pada awal pandemi, meskipun di Italia ada gelombang pemogokan penting pada Maret dan April 2020.

Menggunakan alasan pandemi, kelas penguasa telah menumpuk tekanan besar di atas pundak kaum buruh selama lebih dari setahun. Tetapi ini telah menciptakan suasana kepahitan dan kebencian, yang menjadi landasan untuk ledakan perjuangan kelas.

Dengan penurunan kasus virus, kondisi akan tercipta untuk mobilisasi serius kelas buruh baik dalam masalah ekonomi maupun politik.

Kita tidak lagi berada di tahun 2008-2009, ketika kaum buruh dikejutkan oleh krisis dan restrukturisasi yang sebagian besar tidak terduga, yang turut melumpuhkan inisiatif gerakan buruh untuk sementara waktu.

Setelah pulih dari dampak awal krisis, kaum buruh sekarang memulihkan kepercayaan diri mereka dan percaya bahwa perjuangan dapat memenangkan hasil yang nyata, yang mengarah pada kesediaan yang lebih besar untuk memobilisasi aksi.

Proses ini akan diperkuat dengan pembukaan kembali ekonomi, serta pengalaman-pengalaman  selama pandemi, yang mengungkapkan peran penting kelas buruh di masyarakat, terutama di sektor-sektor yang tidak pernah ditutup (kesehatan, transportasi, perdagangan, industri) tetapi tetap ditekan untuk meningkatkan kecepatan kerja mereka dengan kejam dan tak tertanggungkan. 

Kaum buruh telah membayar harga yang sangat tinggi dalam hal jumlah kematian dan pengorbanan dalam perang melawan Covid, dan oleh karenanya hari ini mereka tidak hanya lebih sadar akan peran yang mereka tempati dalam masyarakat, tetapi juga mereka ingin ini dikompensasi dengan meningkatkan upah dan memperbaiki kondisi kerja mereka. Ini adalah faktor penentu dalam perkembangan kesadaran kelas.

Birokrasi serikat buruh tetap menjadi kendala, mengerem gerakan sebisa mungkin. Tetapi mereka tidak lagi memiliki otoritas yang sama yang memungkinkan mereka untuk mengontrol para buruh seperti dulu kala. Mereka bersandar pada kekuatan aparat birokrasi dan negara borjuis, tetapi otoritas itu tidak pernah serendah sekarang ini.

Borjuasi akan mencoba menggunakan kebijakan-kebijakan koersif dan represif untuk membatasi perjuangan kelas, dengan memperkenalkan undang-undang anti-pemogokan baru dan pembatasan hak untuk berdemonstrasi di mana-mana, tetapi sejarah mengajarkan kita bahwa, begitu massa mulai bergerak, tidak ada hukum yang akan menghentikan mereka. Metode-metode ini dapat menunda prosesnya, tetapi hanya akan membuatnya lebih eksplosif di masa mendatang.

Awalnya, mobilisasi buruh akan memiliki karakter ekonomi umumnya. Namun dalam prosesnya mereka akan menjadi radikal karena kedalaman krisis dan frustrasi besar yang telah menumpuk selama bertahun-tahun, dan akhirnya mengambil karakter politik. "Mei '68" yang baru, atau "musim gugur panas", akan ada di agenda dari satu negeri ke negeri lain.

Dalam konteks seperti ini, jauh dari menahan pergerakan, inflasi justru akan merangsangnya, seperti yang telah kita saksikan berkali-kali dalam sejarah. Tekanan terhadap upah sebagian besar pekerja, dikombinasikan dengan transfer kekayaan yang menjijikkan dari buruh ke kapital, berarti bahwa pertumbuhan inflasi akan mendorong buruh untuk mempertahankan daya beli mereka.

Di tanah yang jauh lebih subur inilah ide-ide kaum Marxis akan tumbuh subur. Serikat buruh akan memasuki krisis dan kepemimpinan lama yang bangkrut akan ditantang. Tentu saja, kita harus mawas diri akan kemampuan kita. Kita belum ada dalam posisi untuk dapat menantang hegemoni kaum reformis dalam gerakan buruh. Tetapi dengan menerapkan taktik front persatuan dengan terampil, kita dapat membuat kemajuan dalam serikat buruh. Kita harus melawan oportunisme tetapi juga melawan penyimpangan sektarian dan anarko-sindikalis (seperti di serikat buruh Cobas Italia), yang telah terekspos bangkrut dalam krisis ini.

Sektarianisme dan avonturisme memainkan peran paling negatif dalam serikat buruh, mengarahkan barisan pelopor kelas ke jalan buntu, memisahkan mereka dari gerakan massa. Dengan menggabungkan keteguhan prinsip dengan taktik yang fleksibel, kita dapat menunjukkan keunggulan Marxisme, dan secara bertahap meningkatkan profil kita dan mulai muncul sebagai kekuatan serius dalam gerakan buruh.

Semakin lama ini berlangsung, semakin besar dan elemental ledakan yang akan datang nantinya. Dan ini niscaya terjadi, seperti malam menyusul siang. Seperti yang Marx tulis ke Engels:

“Dilihat dalam keseluruhannya, krisis ini telah menggali lubang di bawah permukaan layaknya tikus tanah yang kita kenal baik itu.”

Serikat Buruh

Trotsky pernah menulis bahwa teori adalah keunggulan wawasan di atas keterkejutan. Kaum reformis dan sektarian selalu terkejut ketika buruh mulai bergerak setelah lama diam tak bergerak.

Pada awal 1968, kaum Mandelite (pengikut Ernest Mandel dan Internasional Keempat yang dipimpinnya) dan kaum sektarian lainnya telah menafikan kelas buruh Prancis sepenuhnya. Mereka mengatakan, buruh Prancis telah menjadi borjuis dan seperti orang Amerika. Salah satu kaum Mandelite menulis bahwa tidak ada kemungkinan sama sekali akan terjadi pemogokan umum di negeri Eropa pada saat itu. Beberapa minggu kemudian, kaum buruh Prancis meluncurkan pemogokan umum revolusioner terbesar dalam sejarah.

Mereka sepenuhnya terkecoh oleh absennya gerakan-gerakan besar selama periode sebelumnya. Hari ini juga, banyak aktivis serikat buruh dan gerakan buruh yang telah kebingungan. Mereka telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan buruh untuk berjuang dan telah menjadi pesimis, skeptis dan sinis. Mereka telah menjadi rintangan yang menghalangi jalan perjuangan. Akan fatal kalau kita membiarkan diri kita dipandu oleh cara pandang mereka yang pesimis dan sinis.

Seperti yang telah kita jelaskan, bahkan pemulihan ekonomi yang lemah sekalipun akan menjadi sinyal untuk ledakan perjuangan kelas, yang akan mengguncang serikat-serikat buruh sampai ke fondasi mereka. Para pemimpin reformis serikat buruh sudah kewalahan. Mereka mencerminkan masa lalu, ketika hidup mereka mudah dan relasi mereka dengan kaum kapitalis baik, yang dapat memberi konsesi kepada buruh tanpa terlalu memangkas profit mereka.

Sekarang semua telah berubah. Pemilik modal sedang berusaha memindahkan semua beban krisis ini ke pundak buruh, yang menemukan diri mereka dalam posisi yang tak tertanggungkan, dimana bahkan nyawa mereka dan keluarga mereka terancam.

Kedalaman krisis ini membuat mustahil konsesi yang berarti dan berkesinambungan. Buruh harus berjuang untuk setiap tuntutan mereka, bukan untuk memenangkan konsesi baru tetapi untuk mempertahankan konsesi lama mereka.

Tetapi bahkan bila mereka menang, pencapaian mereka akan digerus oleh inflasi, yang akan muncul kembali akibat masifnya kapital fiktif yang telah dipompa ke dalam sirkulasi. Apa yang diberikan oleh kapitalis dengan tangan kanan, akan mereka renggut kembali dengan tangan kiri.

Ini berarti, serikat-serikat buruh akan ditekan oleh buruh yang akan menuntut tindakan untuk mempertahankan hak-hak, kondisi kerja dan taraf hidup mereka. Para pemimpin serikat entah akan menuruti tekanan ini, atau akan menemukan diri mereka tersingkir dan digantikan oleh pemimpin lain yang siap berjuang. Serikat buruh akan mengalami transformasi selama perjuangan.

Ketika buruh dirintangi jalannya oleh serikat buruh dan tidak ada perspektif perubahan kepemimpinan yang segera, dalam kondisi tertentu buruh dapat juga mengembangkan inisiatif akar-rumput mereka sendiri. Munculnya organisasi-organisasi buruh akar-rumput semacam ini dalam perjuangan, seperti Mareas di Spanyol, Santé en Lutte, Kolektif 1000 Supir Bus di Belgia, dan Kolektif Rumah Sakit di Prancis, dsb., adalah hasil dari akumulasi kemarahan buruh, dorongan untuk aksi kolektif segera, dan kepasifan para pemimpin resmi serikat buruh.

Dialektika mengajarkan kita bahwa hal-ihwal dapat berubah menjadi kebalikannya, dan kita harus siap. Bahkan serikat buruh yang paling reaksioner sekalipun, yang tampaknya geming, akan terseret ke dalam perjuangan ini. Proses ini sudah dimulai di sejumlah negeri seperti Inggris. Satu per satu, pemimpin-pemimpin sayap-kanan lama meninggal, atau pensiun, atau digantikan.

Generasi pejuang kelas baru yang lebih muda mulai menantang kepemimpinan lama. Panggung tengah dipersiapkan untuk transformasi serikat buruh menjadi organisasi perjuangan. Dan sebagai Marxis kita harus ada di garis depan perjuangan ini, yang akan menentukan keberhasilan revolusi sosialis.

Tugas Kita

Tahun 2021 tidak akan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kelas buruh telah memasuki sekolah yang keras. Akan ada banyak kekalahan dan kemunduran, tetapi dari sekolah ini kaum buruh akan menarik kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan.

Akumulasi ketegangan selama bertahun-tahun dapat memicu perubahan pesat, yang mengedepankan pertanyaan-pertanyaan serius bagi kita. Dan kita harus siap! Di masa mendatang, lapisan-lapisan baru akan terdorong maju ke dalam perjuangan. Kita telah melihat ini di Prancis dengan Gerakan Rompi Kuning. Kita saksikan ini di India dengan gerakan tani. Di AS, kita saksikan demonstrasi-demonstrasi masif setelah pembunuhan George Floyd, yang diikuti oleh sekitar 26 juta orang di 2000 kota yang tersebar di 50 negara bagian, Washington, DC, dan Puerto Rico, yang membuat Trump bersembunyi di bunkernya.

Problem utamanya adalah kepemimpinan. Mood kegeraman massa tidak menemukan ekspresinya dalam organisasi-organisasi massa resmi. Kepemimpinan serikat buruh mencoba mengekang gerakan ini. Tetapi dengan atau tanpa mereka, gerakan akan menemukan cara untuk mengekspresikan dirinya.

Massa hanya dapat belajar dari satu hal, yaitu pengalaman. Seperti yang Lenin biasa katakan: “Kehidupan adalah guru.” Buruh tengah menimba pelajaran dari pengalaman krisis ini. Tetapi ini adalah proses pembelajaran yang pelan dan menyakitkan. Butuh waktu bagi massa untuk menarik kesimpulan yang sama seperti kita, untuk alasan teoritis.

Proses pembelajaran ini dapat dipercepat bila adan organisasi massa revolusioner dengan jumlah anggota yang cukup dan dengan otoritas yang memadai untuk diperhatikan oleh massa. Partai semacam ini potensinya eksis di dalam barisan organisasi kita. Tetapi hari ini partai ini masih dalam bentuk embrio. Dan seperti yang ditulis Hegel: “Ketika kita mendambakan sebuah pohon ek dengan batangnya yang kokoh, ranting-rantingnya yang berkecambah, dan daunnya yang rindang, kita tidak puas bila hanya ditunjukkan biji pohon ek.”

Kita telah mengambil langkah-langkah maju besar, dan akan mengambil lebih banyak lagi. Tetapi kita harus jujur mengakui bahwa hari ini kita tidak memiliki jumlah anggota yang diperlukan. Kita tidak memiliki cukup akar di dalam kelas buruh dan organisasinya untuk bisa membuat perubahan substansial.

Namun, dengan gagasan yang tepat dan slogan yang tepat waktu, kita dapat memenangkan lapisan buruh dan pemuda yang paling maju, dan lewat mereka nantinya kita dapat meraih massa yang lebih luas. Tetapi umumnya, kita harus membidik keberhasilan-keberhasilan kecil, dan keberhasilan-keberhasilan bersahaja dan kemenangan-kemenangan kecil ini akan memberi kita batu pijakan untuk keberhasilan-keberhasilan lebih besar di masa depan.

Internasional kita telah menunjukkan ketangguhan dan keberaniannya, dengan menghadapi berbagai kesulitan dan menemukan metode-metode kerja baru. Sebagai hasilnya, selama 12 bulan terakhir, kita telah mencapai progres besar, sementara kelompok-kelompok lain mengalami krisis dan perpecahan, dan menghilang.

Dibandingkan sebelumnya, jumlah kompetitor kita jauh lebih sedikit. Kelompok-kelompok sekte Kiri hancur luluh lantak. Kaum Stalinis, yang dulunya adalah rintangan serius, hanyalah bayang-bayang dari kejayaan mereka dulunya. Mereka masih memegang sejumlah posisi di dalam serikat-serikat buruh yang mereka warisi dari masa lalu. Tetapi mereka selalu menjadi kedok kiri bagi birokrasi sayap-kanan serikat. Mereka semua akan tersapu ke samping segera setelah buruh mulai bergerak.

Kompetitor utama kita adalah kaum reformis kiri, yang tidak memiliki perspektif politik yang jelas. Kebanyakan dari mereka bahkan sudah tidak lagi percaya pada sosialisme, dan oleh karenanya berayun-ayun di antara tekanan dari borjuasi dan reformis kanan, dan tekanan dari buruh akar-rumput. Ini adalah fenomena internasional.

Tetapi walaupun tidak memiliki gagasan yang jelas (dan sebagian justru karena itu), mereka niscaya akan terdorong ke depan di atas basis radikalisasi massa. Karena secara politik goyah dan tidak punya ideologi yang terang, mereka akan kadang-kadang mengutarakan slogan-slogan yang sangat radikal, dan bahkan “revolusioner”. Tetapi ini hanya perkataan saja, dan mereka akan mengayun ke kanan dengan pesat seperti halnya mereka berayun ke kiri. Kita akan memberi kaum reformis Kiri ini dukungan kritis, mendukung mereka ketika mereka melawan sayap kanan, tetapi mengkritik setiap kecenderungan mereka untuk mundur, menyerah, dan berkompromi.

Satu fitur umum dari semua lawan politik kita – termasuk kaum Kiri – adalah ketidakmampuan mereka untuk memenangkan pemuda. Keberhasilan kita dalam memenangkan kaum muda membuat para skeptis ini geram dan benci. Di atas segalanya, mereka terheran-heran. Bagaimana kiys dapat memenangkan begitu banyak pemuda dalam situasi seperti sekarang, ketika semuanya begitu muram dan tak ada harapan? Mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka tak percaya dan lalu melanjutkan ratap tangis mereka mengenai kondisi dunia yang menyedihkan.

Seperti yang Lenin katakan: siapa yang memiliki kaum muda mereka menggenggam masa depan. Alasan keberhasilan kita tidaklah terlalu sulit untuk ditemukan. Kaum muda umumnya berwatak revolusioner. Mereka menuntut perjuangan serius melawan kapitalisme, dan merasa tidak sabar dengan orang-orang yang malu-malu dan ragu-ragu, dan tidak sabaran dengan kebingungan teoritis.

Kekuatan kita berdasarkan pada dua hal: teori Marxis dan orientasi tegas ke kaum muda. Kita telah membuktikan keberhasilan kombinasi ini dalam praktik. Keberhasilan-keberhasilan ini memberi rasa percaya diri dan optimisme akan masa depan. Tetapi kita harus selalu mempertahankan sense of proportion (selalu mengukur kekuatan sendiri). Kita masihlah dalam tahapan awal dari tahapan awal.

Tantangan-tantangan yang jauh lebih besar menanti di depan, yang akan menguji kita. Tidak ada ruang untuk santai. Kita harus menanyakan diri kita: apakah kita sudah siap menggunakan peluang-peluang besar yang ada? Bila kita sungguh-sungguh jujur, kita harus menjawab tidak. Tidak, kita belum siap, setidaknya belum siap sekarang. Tetapi kita harus menjadi siap, dengan secepat mungkin. Dan ini pada analisa terakhir berarti organisasi kita harus tumbuh.

Kita harus selalu memulai dari kualitas, dengan memenangkan satu dua dan mendidik dan menempa kader. Tetapi kita lalu harus mengubah kualitas menjadi kuantitas: membangun organisasi yang semakin besar dan semakin efektif. Pada gilirannya, kuantitas menjadi kualitas. Dengan seratus kader, kita dapat melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh belasan kader. Dan bayangkan apa yang bisa kita lakukan di Inggris atau Pakistan atau Rusia dengan seribu kader. Ini adalah perbedaan kualitatif!

Pembangunan kader harus disertai dengan pertumbuhan. Tidak ada kontradiksi di sini. Organisasi harus berkembang seturut dengan perubahan situasi. Dan organisasi harus menjadi semakin profesional, semakin disiplin, dan semakin dewasa.

Kita memiliki gagasan, metode, dan perspektif yang tepat. Akan tetapi, kita membutuhkan lebih dari ini. Tugas kita sekarang adalah mengubah gagasan ini menjadi pertumbuhan, dan membangun pasukan kader profesional yang tangguh. Kita telah mengambil langkah-langkah besar ke arah ini.

Awalnya, tampaknya pandemi ini akan menjadi halangan besar bagi kaum Marxis. Yang jelas, pandemi ini telah mengandaskan banyak sekte-sekte Marxis yang mendasarkan diri mereka pada aktivisme buta. Tetapi angin berhembus di layar perahu kita, yang memenangkan 1.000 anggota baru selama 1 tahun terakhir. Dan ini hanya permulaan saja.

Kamerad-kamerad Internasional! Kita sedang berpacu dengan waktu. Tugas kita dapat diringkas seperti ini: membuat sadar kehendak tidak-sadar (atau semi-sadar) kelas buruh untuk mengubah masyarakat.

Peristiwa-peristiwa besar tengah dipersiapkan. Untuk bisa memenuhi tugas-tugas besar yang ada di hadapan kita, kita memerlukan sebuah revolusi internal, dimulai dengan revolusi dalam mentalitas kita. Kita tidak bisa lagi berpikir seperti di masa lalu. Semua sisa-sisa mentalitas lingkaran kecil dan rutinitas harus dicabut sampai ke akar-akarnya. Yang diperlukan adalah pendekatan profesional dalam membangun partai. Tidak ada yang lebih penting dalam kehidupan kita. Dan bila kita terus memegang teguh gagasan, taktik, dan metode yang tepat, kita bisa mencapainya.

Bergabunglah dengan kami untuk berjuang mengakhiri kapitalisme!

Form Pendaftaran

Form by ChronoForms - ChronoEngine.com