facebooklogocolour

Banting stir ke kiri, banting stir ke kanan; inilah karakter utama dari Stalin dan para pengikut dan pemujanya. Tidak terkecuali Pablo Neruda, tidak terkecuali Ragil Nugroho. Pada masa kejayaan Stalin, Neruda menghamba-hamba pada Stalin. Setelah Krushchev mengutuk Stalin, ia pun segera berayun ke mana angin menghembus. Ia campakkan fanatismenya terhadap Stalin, dan dengan menyesal mengatakan bahwa ia juga telah memainkan peran dalam membangun kultus individu Stalin.

Tetapi berbahagialah Stalin di liang kuburnya ketika, jauh dari Kremlin, di Lereng Merapi ada seorang yang sampai hari ini masih menjunjungnya begitu tinggi. Tahun 2012 ditutupnya dengan persembahan untuk Stalin: “Ode untuk Stalin”.

Aksi perampokan bank Stalin digambarkan oleh Ragil sebagai peran besarnya dalam Bolshevik, dan dipertentangkan dengan “Trotsky [yang] masih berkutat dengan teori-teorinya yang mandul itu.” Tidakkah Ragil tahu bahwa dua tahun sebelum perampokan bank oleh Stalin itu, yakni pada 1905, meledak sebuah Revolusi penting dimana Trotsky dipilih menjadi Presiden Soviet pertama oleh buruh-buruh St. Petersburg, yakni batalion utama proletar Rusia? Sedangkal itulah pemahaman Ragil mengenai revolusi, yang membatasi pertempuran revolusi pada perampokan bank oleh segelintir orang, sementara Trotsky dengan “teori-teorinya yang mandul itu” memimpin Soviet pertama dalam sejarah Rusia lewat pertempuran aksi massa buruh. Fakta penting yang belakangan ini luput dari perhatian Ragil, karena pada akhirnya Ragil sudah tidak tertarik lagi pada masalah revolusi tetapi tampaknya hanya tertarik pada penyerangan membabi-buta terhadap Trotsky dan pemikirannya.

Tampaknya heroisme Stalin dalam perampokan bank tidak cukup memberinya kualifikasi untuk menjadi Pendiri dan Pemimpin Tentara Merah pertama di dunia, yang diberi tanggungjawab mempertahankan Uni Soviet yang masih muda ini dari Tentara Putih dan kepungan 16 pasukan imperialis. Sementara “teori-teorinya yang mandul itu” justru memberi Trotsky kualifikasi dan kemampuan untuk memimpin Tentara Merah pada momen yang paling krusial ini. Inilah yang gagal dipahami oleh Ragil dan para Stalinis, bahwa bukan mesiu dan heroisme yang diperlukan untuk memimpin revolusi, tetapi pemahaman teori dan politik. Tetapi inilah karakter kaum birokrat Stalinis dan para pemujanya, yang pada dasarnya membenci teori. Bagi mereka Marxisme bukanlah teori pemandu aksi, tetapi dogma yang dapat dipelintir sesuka hati untuk membenarkan prasangka-prasangka dangkal mereka, untuk membenarkan berbagai manuver oportunis mereka.

Kisah-kisah kepahlawanan Trotsky dalam memimpin Perang Sipil sudah tidak perlu diulang-ulang lagi. Bahkan agak memalukan kalau mau dibandingkan dengan heroisme perampokan bank, yang tampaknya adalah aktivitas yang lebih digemari oleh Ragil dan para pemuja Stalin lainnya. Tetapi mari kita kisahkan satu episode pada 1919 ketika Petrograd sudah terkepung oleh Tentara Putih. Dalam situasi ini, ada dua pilihan: mengevakuasi Petrograd atau mempertahankannya mati-matian. Keduanya adalah pilihan yang valid. Lenin ingin agar Petrograd dievakuasi karena lebih penting untuk mempertahankan Moskow. Usaha mempertahankan Petrograd akan melemahkan front-front lain. Trotsky, sebaliknya, mengatakan bahwa Petrograd harus dipertahankan, karena kalau Tentara Putih menguasai Petrograd maka ini akan memberikan mereka posisi yang kuat untuk menyerang Moskow. Petrograd, sebagai kota industri utama Rusia, punya banyak pabrik, yang lalu akan memberikan Tentara Putih sumberdaya yang besar untuk menangkap Moskow. Trotsky menyerang Lenin dalam hal ini, dan ini ia akui dalam buku otobiografinya. Trotsky tidak takut mengakui kalau ia bertentangan dengan Lenin. Lenin pun akhirnya setuju dengan Trotsky.

Trotsky secara pribadi mengorganisir pertahanan kota Petrograd. Ketika ia tiba di Petrograd, hampir semua tentara ada dalam keadaan panik dan demoralisasi karena kepungan Tentara Putih yang tampaknya tidak akan bisa mereka kalahkan. Trotsky lalu ‘blusukan’ ke lapangan, ke pabrik-pabrik, ke barak-barak, ke daerah-daerah tempat tinggal buruh. Dengan lantang ia berseru kepada para buruh dan penduduk Petrograd: “Kita tidak akan menyerahkan Petrograd, kamerad!” Mengetahui bahwa sang Pemimpin Tentara Merah sendiri ada bersama mereka dan tidak akan meninggalkan Petrograd, massa pun menjadi berani. “Tidak, kita tidak akan serahkan Petrograd,” pekik para perempuan Petrograd dengan mata yang membara. Mereka segera mengorganisir pertahanan kota. Tiap-tiap jalan di barikade; senapan mesin ditempatkan di alun-alun kota; parit-parit digali; tiap-tiap jalan dan rumah menjadi perangkap; semangat yang baru membakar semua massa rakyat dan tentara. Lewat pertempuran-pertempuran sengit akhirnya Tentara Putih berhasil dipukul mundur dan Petrograd selamat. Ketua Komite Eksekutif Komunis Internasional lalu mengirimkan pesan ini kepada Trotsky: “Penyelamatan Petrograd Merah adalah pelayanan yang tak ternilai untuk proletariat sedunia, dan untuk Komunis Internasional. Kepadamu, Kamerad Trotsky, yang paling bertanggungjawab dalam perjuangan Petrograd.”

Stalin sang perampok bank versus Trotsky Pendiri dan Pemimpin Tentara Merah, apa lagi yang perlu dibandingkan?

Pada tahun yang sama [1919], Anatole Lunacharsky, Komisar Kebudayaan Soviet, menulis ini mengenai Lenin dan Trotsky:

“Akan tetapi, akan salah kalau kita bayangkan pemimpin besar kedua Revolusi Rusia [Trotsky] lebih inferior dibandingkan koleganya [Lenin] dalam berbagai hal. Ada beberapa hal yang mana Trotsky jauh melampaui Lenin – dia lebih brilian, dia lebih jelas, dia lebih aktif. Tidak ada yang bisa menggantikan Lenin sebagai ketua Dewan Komisar Rakyat dan dalam memimpin revolusi dunia dengan kejeniusannya, tetapi dia tidak akan pernah bisa memenuhi misi raksasa yang dipanggul oleh Trotsky sendiri di pundaknya, yang dengan cepat bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dengan pidato-pidatonya yang luar biasa, dengan perintah-perintahnya langsung di lapangan, perannya yang terus memberikan semangat kepada pasukan tentara yang lemah, hari ini di satu front esok hari di front lain. Tidak ada satu orangpun di muka bumi yang bisa menggantikan Trotsky dalam hal ini.” (Anatole Lunarchasky, “Revolutionary Silhouettes”, 1919)

Puji-pujian semacam ini banyak sekali dilontarkan kepada Trotsky dan pada saat itu tidak ada satupun orang yang membantahnya. Para periode itu (sampai sebelum kematian Lenin pada 1924) akan sulit sekali menemukan puji-pujian untuk Stalin. Berbagai macam “Ode untuk Stalin” hanya akan kita temui setelah naiknya kaum birokrasi kontra-revolusioner yang dipimpin oleh Stalin ke tampuk kekuasaan. Lenin harus mati dahulu sebelum berbagai ode murahan seperti yang ditulis Ragil dapat kita temui.

Banyak pencibir Trotsky yang selalu menyerang kalau Trotsky dan pengikutnya tidak lebih dari sekte kecil yang tidak punya pengaruh. Namun sungguh sebuah kontradiksi kalau Montefiore, sang penulis anti-komunis, mengatakan bahwa: “Kita sudah terlalu lama bergantung pada prasangka Trotsky.” Bagaimana mungkin sebuah sekte kecil tanpa pengaruh ini – yang kata Ragil “cuman nyempil di pojok” – dapat menebarkan prasangka yang begitu luas? Yang tidak dipahami oleh Ragil adalah bahwa yang dilakukan oleh Montefiore adalah menyerang Trotsky yang merupakan alternatif revolusioner dari Stalinisme. Montefiore harus menghancurkan alternatif revolusioner dari Stalinisme, dan menunjukkan kepada para pembacanya kalau satu-satunya alternatif dari Komunisme “Stalin” adalah kapitalisme. Tidak heran kalau setiap buku anti-Stalin selalu ditulis dengan skenario seperti ini: peran Stalin dalam Partai Bolshevik dibesar-besarkan sehingga Bolshevisme dan Stalinisme menjadi identik, sementara musuh bebuyutannya, Trotsky, diremehkan agar para pembaca tidak lantas mencoba mempelajari “teori-teorinya yang mandul itu” dan menemukan Bolshevisme yang sesungguhnya. Yang ingin dikatakan oleh Montefiore adalah: jangan bergantung pada prasangka Trotsky, tetapi bergantunglah pada prasangka borjuis.

Kalau Lenin dan para Bolshevik saat itu memberikan Trotsky tanggungjawab untuk mendirikan dan memimpin Tentara Merah, tentu ini bukan karena Trotsky yang “lembek dan manja” – seperti yang dituduhkan oleh Ragil. Ketegasan – dan bahkan kekejaman dalam tingkat tertentu – diperlukan dalam perang sipil yang paling menentukan keberlangsungan Uni Soviet. Dalam propaganda Tentara Putih, Trotsky digambarkan sebagai iblis jahat yang kejam, yang berdiri di atas tulang belulang ratusan ribu rakyat.

Mengenai masalah kolektivisasi, kalau saja Ragil peduli membaca sejarah ia akan tahu kalau justru awalnya dari 1925-27 Stalin dan Bukharin membentuk blok dengan program pertumbuhan ekonomi Soviet dengan “tempo kura-kura”. Blok Stalin-Bukharin ini juga bersandar pada tani kaya (kulak) dan menyerukan kepada mereka “Jadilah kaya”. Sementara Trotsky menyerukan agar Uni Soviet segera melaksanakan program industrialisasi yang cepat dengan program ekonomi terencana dan kolektivisasi sukarela. Oleh sebabnya Trotsky dan Oposisi Kiri dituduh oleh Stalin sebagai “super-industrializer”. Tetapi fakta sangatlah keraskepala. Peringatan Trotsky akhirnya terbukti. Pada musim semi 1926, hampir 60 persen penjualan gandum ada di tangan 6% kulak. Para kulak mulai menggunakan kekuatan ekonominya untuk melemahkan Uni Soviet. Pada 1927-28, akibat kebijakan pro-kulak dan “tempo kura-kura” Stalin-Bukharin membawa bencana krisis. Stalin lalu banting stir dan melakukan kolektivisasi paksa dan industrialisasi pesat, yakni meminjam program Trotsky tetapi dengan kegilaan. Berayun pesat dari oportunisme ke ultra-kiri, zigzag dari kanan ke kiri, inilah karakter Stalinisme, dan akan kita temui juga karakter ini di antara para penyair “Ode untuk Stalin” dan plagiat-plagiat murahannya.

Jadi sungguh konyol kalau menuduh Trotsky “lembek dan manja”. Dia sejak awal sudah mendorong program industrialisasi pesat dan kolektivisasi (sukarela). Sementara Stalin hanya merangkul program ini – dengan kepanikan – setelah program pro-kulak dan “tempo kura-kura”nya membawa bencana.

Pada akhirnya, tidak ada satupun pelajaran yang dapat kita peroleh dari ocehan “oase” Ragil. Akan berbeda kalau sang pemuja Stalin ini berusaha dengan serius membangun kembali organisasi Stalinis dan pemikiran-pemikiran Stalin di Indonesia. Tetapi tidak, simpatinya ada pada PKS, sebuah partai borjuasi. Yang sebenarnya berbahaya adalah pemikiran Trotsky, maka dari itu Ragil sangat sibuk sekali menyerang Trotsky. Ia persembahkan karya penutup tahunnya tidak hanya untuk Stalin tetapi juga untuk mendiskreditkan Trotsky. Kaum Trotskis Indonesia perlu merasa tersanjung oleh perhatian yang diberikan oleh Ragil kepada “sekte kiri” yang “cuman nyempil di pojok gelanggang”. Ia mewanti-wanti agar Kiri Indonesia tidak terperosok pada Trotskisme, tetapi apa yang ditawarkannya? Ini tidak pernah jelas. Apa ia tawarkan Stalinisme? Leninisme ala PKS? Ragil-isme yang merupakan eklektisme dan pragmatisme paling vulgar, dengan aksiom “Persoalan yang sepele: mana bertahan dan mana tersungkur”? Atau apapun asal bukan Trotskisme?

Pada saat yang sama ketika Ragil menyelesaikan Odanya untuk Stalin, saya menyelesaikan revisi terjemahan buku Revolusi Permanen yang akan diterbitkan ulang dalam waktu dekat ini. Sebuah kebetulan yang cukup menarik, dimana buku tersebut dapat menjawab semua pelintiran murahan dan tar hitam yang masih sampai saat ini dilemparkan oleh banyak orang terhadap gagasan Trotsky, dan pada saat yang sama akan mempersenjatai kaum revolusioner Indonesia dengan ideologi yang dapat membawanya ke gerbang sosialisme. Puncak dari semua perdebatan ini, bila kita telanjangi dari semua serangan murahan remeh-temeh, adalah gagasan Revolusi Permanen yang merupakan antitesa dari “teori dua tahap” dan “sosialisme di satu negeri”.

Revolusi Permanen secara garis besar mengatakan bahwa hanya kelas buruhlah yang dapat memimpin revolusi, guna menyelesaikan tugas-tugas demokratik nasional yang belum terselesaikan karena keimpotenan kaum borjuasi nasional. Tetapi dalam usahanya untuk menyelesaikan tugas-tugas demokratik nasional, karena logika situasi revolusi, kaum buruh akan terpaksa melangkah ke revolusi sosialis. Di sinilah letak ke-permanen-an dari revolusi hari ini, yang tidak terinterupsi tetapi mengalir, dari revolusi borjuis-demokratik ke revolusi sosialis.

Sampai hari ini, belum ada satupun tulisan dari sang ‘penyair’ Ode untuk Stalin ini yang menyentuh dengan serius esensi gagasan Revolusi Permanen. Hari ini dengan sudah diterbitkannya terjemahan karya-karya utama Leon Trotsky – sesuatu yang tidak dapat diakses oleh Ragil pada masa mudanya bersama PRD dimana ia dan banyak kawan-kawannya dicekoki anti-Trotskisme tanpa pernah membaca karya Trotsky – mestinya tidak sulit untuk menulis sebuah polemik serius terhadap Revolusi Permanen. Mungkin pada akhir tahun 2013, Ragil akan menyanjung kita dengan tulisan ini.